Kartini dipingit, sudah luas diketahui. Beliau berkebaya, sudah pula diikuti. Dijadikan ikon oleh gerakan feminisme di Indonesia, bisa dianggap demikian. Lagu perihal "putri sejati" itu pun sering dinyanyikan anak TK dan SD. Buku kumpulan surat-suratnya, Habis Gelap Terbitlah Terang, boleh jadi tiada yang tak tahu. Tapi pernahkah kita membacanya atau minimal melihat bukunya?
Ada satu hal lagi. Populerkah sisi lain Kartini di mata khalayak? Faktanya, sisi lain ini belum banyak diketahui, malah cenderung dientaskan. Tarung ideologis yang terus membebani psikisnya tak banyak diungkap. Ia menangis menatap kehidupan kaumnya yang ditindas penjajah. Adat Jawa pemasung wanita sebagai dampak buruk kolonial Belanda terus meluas. Sampai-sampai ia dibujuk untuk pindah agama oleh Ny. van Kol. Tegaslah jawabnya, ”Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami, patut disukai (21 Juli 1902).
Ada satu hal lagi. Populerkah sisi lain Kartini di mata khalayak? Faktanya, sisi lain ini belum banyak diketahui, malah cenderung dientaskan. Tarung ideologis yang terus membebani psikisnya tak banyak diungkap. Ia menangis menatap kehidupan kaumnya yang ditindas penjajah. Adat Jawa pemasung wanita sebagai dampak buruk kolonial Belanda terus meluas. Sampai-sampai ia dibujuk untuk pindah agama oleh Ny. van Kol. Tegaslah jawabnya, ”Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami, patut disukai (21 Juli 1902).
Hal kedua yang nyaris tak
bergema ialah semangat menulisnya. Kepandaiannya dalam olah kata ini
jarang dipaparkan. Ketika jutaan orang Indonesia buta huruf pada akhir
abad ke-19 itu, Kartini justru mampu menulis. Tak tanggung-tanggung,
selain Zeehandelaar, sahabat penanya adalah keluarga J. H. Abendanon,
M.C.E. Ovink Soer, T. H. van Kol, dll. Nilai plusnya kian bertambah lagi
lantaran tak semua orang yang (sering) membaca akan mampu pula menulis
(dalam arti mengarang) pada zamannya. Lantas, kenapa kepioniran Kartini
dalam berkorespondensi tak dijadikan pemicu kemampuan baca-tulis kaum
wanita khususnya dan masyarakat umumnya?
Aneh, memang! Padahal sepuluh
hari setelah Hari Kartini, yaitu 2 Mei kita memperingati Hari Pendidikan
Nasional. Tiga pekan berikutnya sudah pula disambut Hari Kebangkitan
Nasional, 20 Mei. Terlebih lagi dimaklumi bersama, hanya lewat
pendidikanlah kita bisa bangkit menjadi negara yang tekno-sainstifik.
Hanya orang yang melek huruflah yang bakal berkembang ilmunya. Tapi
nyatanya pejabat di Depdiknas dan Disdik belum juga optimal menumbuhkan
spirit belajar, baik di kalangan guru maupun muridnya. Program yang
dirilisnya terbukti sekadar politis dan lips service belaka. Sekali jadi lalu mati.
Yang juga salah kaprah dan
masih terkait dengan Hardiknas dan Harkitnas itu ialah bahwa bangsa ini
“bangkit” lantaran kehadiran pergerakan Budi Utomo. Menurut sejarawan
George McTuman Kahin, penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia,
bukan Budi Utomo pelopor pembaruan pendidikan di Indonesia, melainkan
Kartini. Alasannya, terang Prof. Ahmad M. Suryanegara dalam buku Menemukan Sejarah,
Kartini tak hanya berjuang untuk perempuan, tetapi juga untuk
membangkitkan bangsanya dari kehinaan. Jika ditilik dari waktunya,
periode hidupnya memang mendahului periode Budi Utomo.
Namun sayangnya, spirit
“pergerakan” Kartini hanya dimaknai secara selintas. Pola peringatannya
sama dengan pola puluhan tahun lalu. Tiada kebaruan dalam upaya
menghargai perjuangan Kartini. Yang banyak dipublikasikan justru hal
remeh seperti kebaya, kain, sanggul dan konde. Anak-anak disuruh
mengenakan kebaya sambil melenggang-lenggok. Parahnya lagi, murid
lelakinya disuruh mengenakan baju perempuan dan berperilaku seperti
perempuan. Lucu memang lucu, tetapi pola didik seperti itu
mendekatkannya pada penyimpangan seksual kelak. Lomba itu pun isinya
hura-hura, lepas dari aspek kognitif yang menjadi inti perjuangan
Kartini.
Dari sisi sosiologis juga
terjadi pemarjinalan spirit Kartini yang jauh dari pola pikir kaum
feminis sekarang. Mengatasnamakan pembelaan hak-hak perempuan mereka
memlintir hakikat perjuangan Kartini. Di antaranya soal poligami. Tak
pernah sekali pun digembar-gemborkan oleh sejumlah kalangan bahwa Kartini ketika menikah berstatus menjadi istri
keempat. Djojoadiningrat, suaminya itu, sudah beristri tiga dengan tujuh
anak ketika menikahi Kartini. Putri tertua suaminya terpaut
delapan tahun dengannya. Perkawinan itu berlangsung pada 8 November
1903. Perkawinan ini praktis
menyudahi perlawanannya terhadap praktik poligami di masyarakat Jawa.
Setelah diboyong ke Rembang menjadi raden ayu di kabupaten, Kartini
tidak lagi bicara soal kedudukan perempuan atau menyerang poligami,
bahkan juga cita-citanya mengenai pendidikan. Sangat boleh jadi ia sudah
berdamai dengan lingkungannya. (Majalah Tempo, 17 April 2006).
Patut diakui, sebelumnya
Kartini menentang praktik poligami. Tapi yang dicercanya ialah raja atau
susuhunan yang istrinya puluhan. (NB:
Amangkurat I menanggalkan gelar Sultan lalu menyandang gelar Susuhunan
sebagai ekspresi penolakan atas pengaruh ulama yang bergelar Suhunan.
Dia menambah suku kata “su” sehingga menjadi dua kali, yaitu Susuhunan
sekaligus menolak syariat Islam termasuk hukum pernikahan: maksimum
empat istri. Maka terjadilah perkawinan tanpa batas. Tak dapat dimungkiri,
raja-raja itu memang memiliki berhektar-hektar tanah dan menerima
“upeti” dari “rakyatnya” setiap panen. Kekayaannya, untuk lingkup lokal
memang luar biasa. Membiayai 30 anak pun mereka mampu dan tanpa masalah!)
Kembali ke soal Kartini.
Justru di situlah letak masalahnya, yaitu fenomena yang menyeruak ke
masyarakat dan dengan gegabah mengganti hukum syariat Islam dengan hukum
adat yang mengizinkan lelaki menikahi perempuan sebanyak-banyaknya.
Oleh sebab itu, ia menulis surat kepada Zeehandelaar yang isinya kisah
nestapa perempuan Surakarta pada masa itu. Katanya,” Di
sana hampir tiada seorang juga laki-laki yang perempuannya hanya
seorang, dalam kalangan bangsawan, terutama lingkungan susuhunan seorang
laki-laki sampai 26 orang perempuannya.” Ini
ditulisnya pada 23 Agustus 1900, tiga tahun sebelum ia menikah.
Demikian tulis sejarawan Ahmad M. Suryanegara dalam buku tersebut.
Kegeramannya melihat jahiliah sosial itu akhirnya diabadikan dalam suratnya kepada Stella. “Aku
hendak, aku mesti menuntut kebebasanku. Stella, aku hendak perdengarkan
kepadamu. Manakah aku akan menang bila tiada berjuang. Manakah aku akan
mendapatkan bila aku tiada mencari. Tiada perjuangan, tiada kemenangan;
aku berjuang Stella, aku akan merebut kemerdekaanku. Aku tidak gentar
karena keberatan dan kesukaran, perasaanku aku cukup kuat mengalahkan
semuanya itu”.
Curahan hatinya itu menjadi penguat betapa Kartini, waktu itu usianya
21 tahun (1879 – 1900), membenci hukum adat. Ia melawan dengan sekuat
tenaga justru ketika perempuan lain sezamannya nrimo-nrimo saja dan terseret arus kebelanda-belandaan.
Patutlah dikedepankan, sikap
renaisans pemahaman Kartini itu dipicu oleh Qur’an. Ia menulis surat
kepada anak Abendanon yang bernama E. C. Abendanon,” Alangkah
bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa
sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami. Kartini telah
mengikrarkan kitab suci agamanya sebagai gunung kekayaan (ilmu).” Kemudian hadirlah deretan kata yang “abadi” dan selalu dikutip pada Hari Kartini. Ini terjadi pada 17 Agustus 1902,” Sekarang
ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang
teguh-teguh di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang,
dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.” Kata-kata “habis gelap terbitlah terang” itu bersumber pada Al Qur’an: minazh zhulumati ilan nur.
Akhirnya,
mari peringati Hari Kartini dengan cara yang mendidik, tak sekadar
berkebaya, bersanggul-konde dan berjalan pelan bak siput. Jangan
“racuni” anak TK dan SD dengan model jahiliah lantaran Kartini membenci
kejahiliahan itu. Beliau justru ingin menerangi, agar habislah kegelapan
ini menjadi keterangan. Gantilah pola perayaannya dengan lomba yang
meningkatkan kualitas pikiran seperti lomba menulis (surat, cerpen,
novel, artikel, pidato, dll) agar mampu menulis seperti Kartini. *
Daftar Pustaka
1. Pane, Armijn, Habis Gelap Terbitlah Terang, Balai Pustaka, Djakarta, 1951.
2. Suryanegara, A. M, Menemukan Sejarah, Mizan, Bandung, 1995.
3. Majalah Tempo, 17 April 2006
4. Foto, Wikipedia, April 2012.
Sambutlah Hari Kartini. *
Ohh ternyata begitu tah..!!
BalasHapusijin copas mas.
BalasHapusMw bgi2 ma yg lain.
:)
Betul sekali, lomba menulis akan membuat anak2 lebih kreatif...
BalasHapus