• L3
  • Email :
  • Search :

5 Juli 2006

Waste to Energy: Wasted Energy!


Waste to energy. Inilah slogan yang sering dikutip media massa cetak, baik yang terbit di Bandung maupun Jakarta. Televisi lokal Bandung pun ikut-ikutan mengampanyekannya. Kian terkenal lagi setelah walikota Bandung terang-terangan mengatakan bahwa waste to energy adalah final, tak bisa ditawar-tawar lagi. Mutlak harus dibangun, katanya. Betulkah demikian?

Kaji Banding
Dalam filsafat ilmu telah jamak diterapkan uji-kaji banding demi hasil optimal tanpa harus membuang-buang waktu, tenaga, daya dan uang apalagi sesal. Jika ada dua atau lebih opsi, maka biasa diterapkan analisis alternatif untuk mencapai hasil terbaik yang layak dengan beragam metode statistik. Yang layaklah yang akan diambil lalu digunakan sebagai acuan perancangan dan berujung pada rencana anggaran biaya yang boleh jadi murah tapi bisa juga mahal nilainya. Sebab, tak selamanya kelayakan teknologi berkorelasi linier dengan kelayakan investasinya.

Bagaimana dengan sampah Bandung? Betulkah telah ada kaji banding atas sejumlah opsi teknologi persampahan? Tentu bukan jalan-jalan ke luar negeri: ke Cina, ke Australia yang dimaksud di sini. Itu bukanlah kaji banding melainkan tandang muhibah, untuk tidak menyebut tamasya, ke negara maju yang karakter sampahnya berbeda dengan Bandung. Keduanya di atas Indonesia dalam hal kelompok negara "maju dan berkembang". Apalagi dalam ranah filsafat ilmu, kaji banding selalu menyertakan aspek kelayakan sainstek dengan mengetengahkan sejumlah aspek seperti lingkungan (environment), ekologi (ecology), ekonomi, demografi, klimatologi, topografi, geologi, politik dan budaya setempat (sosiologi).

Sudahkah hal tersebut dilaksanakan? Bagaimanapun, teknologi masif yang sifatnya massal akan melibatkan semua penduduk kota (sebab semua orang menimbulkan sampah) sehingga besar pula dampak buruknya. Karena itulah kaji banding menjadi kemestian sebagai rambu dalam mengambil keputusan agar tidak keliru. Salah satu dari deretan kajian itu adalah jenis sampah, apakah termasuk yang sulit ataukah mudah terbakar. Inilah salah satu faktor penentu keberhasilan waste to energy yang notabene adalah insinerator. Mungkinkah 100% sampah Bandung tergolong mudah terbakar? Tak mungkin! Sejumlah riset di beberapa kota besar di Indonesia yang berlokasi di pantai menghasilkan angka 70% - 80% berwujud sampah basah, sulit terbakar. Di pinggir pantai saja demikian, apatah lagi di kota pegunungan seperti Bandung. Akan tambah parah lagi kondisinya selama musim hujan, insinerator akan berubah menjadi panci perebus air.

Jika demikian, layakkah (baca: efisienkah) sampah basah dibakar? Ilustrasinya sederhana. Mana yang lebih mudah, membakar daun yang baru saja dipetik dari ranting ataukah membakar daun rontok yang kering? Bandingkan lagi dengan kertas kering dan plastik, mana yang paling sulit terbakar? Kita tahu jawabnya. Daun segar hijau sangat sulit dibakar. Habis sebungkus korek api pun belum tentu terbakar. Andaipun terbakar, pada tahap awal, airnyalah yang menguap. Baru setelah itu, setelah daunnya kering, api melalapnya pelan-pelan. Hal yang sama berlaku untuk sampah basah, baik dari rumah maupun pasar. Pada saat yang sama, semua sampah keringnya seperti kertas, karton, kardus, botol plastik dll sudah diambil pemulung. Seolah-olah insinerator rebutan sampah dengan pemulung. Kecuali pemerintah tega melarang dan menangkap pemulung yang mereduksi sampah di sumbernya. Mungkinkah? Bijakkah kebijakan ini andaikata terjadi?

Dengan kata lain, jenis dan komposisi sampah memegang kunci cocok tidaknya diinsinerasi. Ia adalah elemen penting dalam memilih teknologi pengelolaan dan pengolahannya sekaligus menentukan manajemennya mulai dari sumber, pengumpulan, transportasi, dan di TPA (tempat pengolahan akhir). Semuanya harus memenuhi syarat kesehatan, konservasi lingkungan, teknologi, dan ekonomi. Segmen kesehatan dan konservasi belum mendapat porsi perhatian di Bandung. Aspek teknologi pun belum apa-apa, semuanya menerapkan sistem buang bebas atau open dumping. Syarat ekonomi apalagi, tak semua orang dipungut retribusinya yang berarti terjadi ketidakadilan di masyarakat. Yang membayar rekening listriknya di bank terhindar dari retribusi. Padahal sangat boleh jadi mereka menghasilkan jenis dan jumlah sampah yang lebih besar.

Dengan demikian, waste to energy hanyalah slogan yang tidak responsif atas aspirasi mayoritas orang Bandung dan berbau janji-janji, terbuai oleh istilah Inggris yang terasa gagah. Slogan itu seolah-olah “membodohi” orang Bandung, baik kalangan tak terdidik maupun terdidik karena belum paham cara penanganan sampah. Seorang keluaran sekolah S3 pun belum tentu paham persampahan. Apalagi perilaku membuang sampah tidak linier dengan tingkat pendidikan. Banyak kalangan terdidik, baik pensiunan maupun yang masih aktif bekerja, membuang sampah sembarangan sekehendak hatinya, tak hanya di rumahnya tapi juga di tempat-tempat umum. Itu sebabnya, pendidikan (intelectual intelligent) dan pembangunan etika (emotional intelligent) menjadi porsi penting dalam penanganan sampah.

Pola didik itulah yang mesti digencarkan oleh pemerintah lewat publikasi berupa buku, poster dan pelatihan di tingkat akar rumput RT-RW. Hasilnya memang tak akan tampak dalam setahun dua tahun. Boleh jadi setelah satu generasi barulah tampak hasilnya jika programnya berkesinambungan dan meluas. Alih-alih waste to energy, pemberdayaan masyarakat dalam hal persampahan lebih kena lewat program 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible) yang dikelola terpadu. Termasuk menyajikan materi lingkungan di sejumlah kurikulum SD, SMP, SMA dan PT sesuai porsinya masing-masing. Bantuan dari penggerak sektor informal pun bisa ditempuh lewat pondok pesantren, madrasah, kelompok pengajian dan ketua adat setempat.

Wasted Energy
Waste to energy bagi sampah Bandung secara lugas bisa dikatakan sebagai “perjudian” yang taruhannya milyaran. Besar sekali unsur coba-cobanya, diintai oleh untung-buntung alias gambling. Sebelum terlambat, hendaklah niat itu diurungkan saja agar waste to energy tidak berubah menjadi wasted energy, yaitu energi habis sia-sia. Semua energi dalam bentuk tenaga kerja, olah pikir, dana masyarakat, dan insvestasi yang ditanam menjadi nirguna. Kalau pun ada gunanya, itu hanyalah berguna bagi investornya. Selebihnya adalah derita masyarakat. Selain tak cocok untuk sampah Bandung, insinerasi juga menyisakan abu yang potensial mencemari air tanah. Di dalamnya kaya akan garam-garam anorganik sehingga dampak polusinya lebih parah ketimbang lindi sanitary landfill (sanfil).

Potensi energinya juga dipertanyakan, belum lagi keterangkutannya. Betulkah dari 7.000 m3 per hari sampah Bandung akan mampu diangkut ke insinerator? Taruhlah daya angkut per truk kira-kira 10 m3; berarti dibutuhkan 700 truk. Andaikata setiap truk bisa tiga rit sehari maka dibutuhkan tak kurang dari 233 truk termasuk supirnya. Ditambah sepuluh persen truk dan sopir cadangan, total kebutuhannya minimal 250-an truk. Sekian juga jumlah sopirnya yang harus bekerja setiap hari. Ini sangat berat dan membutuhkan manajemen yang andal. Sopir angkot saja tidak setiap hari bertugas tapi berselang-seling. Jika demikian, akan dibutuhkan 500 orang atau lebih sopir truk. Potensi lapangan kerja bagi sopir memang ada namun dampak buruknya jauh lebih mahal daripada itu, yaitu kemacetan.

Macet adalah keseharian kota Bandung. Apalagi kalau sampah di luar Bandung dikirim ke Bandung, kemacetan pasti menjadi-jadi. Orang-orang makin stres karena bau busuk sampah terhirup siang malam selama 24 jam. Tak ada waktu istirahat bagi truk kalau tidak mau telat mengirimkan umpan sampah ke insinerator. Telat sedikit saja dapat membuyarkan operasi insinerasi sehingga daya listriknya fluktuatif. Belum lagi problem lingkungan, terutama pencemar berupa partikulat dan gas CO2, SOx. Parahnya lagi, Bandung raya berada di cekungan yang mirip wajan sehingga angin yang lewat di atasnya bisa menghalangi pencemar untuk lepas ke atmosfer. Polutannya malah berputar-putar ke sana-sini meskipun efisiensi penyisihan abunya sangat tinggi, misalnya 99%. Sisa satu persen saja akan menjadi tinggi setelah sekian lama terakumulasi di udara Bandung.

Belum lagi problem kebutuhan airnya untuk membersihkan kerak dan cuci-cuci. Sangat boleh jadi ada rebutan sumber air dengan PDAM, pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan keperluan binis perdagangan. Sortasi sampah pun menimbulkan masalah tersendiri, yaitu pemilahan sampah tak terbakar agar tak masuk ke insinerator. Berangkal, batu, bata, pasir, dan logam-logam, meskipun ada magnetic separator atau ferrous metal recovery tetap saja penimbul masalah. Selain milyaran investasinya, ongkos operasi-rawatnya pun melebihi negara maju yang sampahnya berkalori tinggi, misalnya rerata 12.000 kJ per kg. Berapa kalori sampah Bandung? Di negara itu pun kegagalan operasi insinerator banyak terjadi lantaran terbentur masalah biaya dan teknis. Biaya hendaklah tidak membebani masyarakat tapi tidak berarti dibebaskan dari biaya. Warga tetap harus berkontribusi demi kenyamanan hidupnya, bebas sampah dan penyakit.

Akhir kata, sebelum terlambat, urungkanlah upaya membangun "pabrik" waste to energy yang business oriented lalu gantilah dengan "pabrik" yang community oriented, yaitu pengomposan (composting) secara personal, komunal, dan regional. Atau, pilihlah sanitary landfill (sanfil) terkendali dan taat asas. Semoga waste to energy tidak menjadi wasted energy, energi yang habis sia-sia dan mubazir. *


Gede H. Cahyana

1 komentar:

  1. Maaf rda gak nyambung. Cuman saya mau tanya nih. Krn katanya webnya ttg limbah. Limbah B3 itu apa ya? Kmaren UAS keluar saya bingung. Eheheheh

    Saya liat blog Anda dr Blogger Awards 2006. Smoga sukses ^^

    BalasHapus