Di Australia, menurut berita radio ABC Senin, 11 Juli 2006 lalu, ada dua buku yang dilarang beredar, bahkan di-sweeping lantaran diduga berbau jihad. Bagi pemerintah negeri kanguru itu, jihad identik dengan teroris. Padahal jihad punya banyak arti, termasuk dalam arti bersungguh-sungguh dalam suatu pekerjaan. Serius bekerja, serius berbagi kebaikan-kebenaran pun adalah suatu bentuk jihad. Salah persepsi, salah tanggap atau paranoid dalam memandang Islam berdampak pada peminggiran Islam. Pemarjinalan pun terjadi dalam bidang akademik dengan cara memperalat orang Indonesia yang studi di sana, baik S1, S2, maupun S3. Tak sedikit didikan mereka justru akhirnya mencabik-cabik Islam, bak menggunting dalam lipatan, menohok kawan seiring, ular berkepala dua.
Kasus pelarangan buku memang sering terjadi dan kebanyakan subjektif, termasuk di Indonesia. Bagaimana kasus pelarangan buku dan sweeping di negara kita? Di negara nyiur melambai ini kerapkali sweeping dan pembakaran buku itu langsung menjurus ke toko dan pedagangnya. Dari sudut pandang pedagang, kalau buku-buku yang diduga bermisi jihad itu DIBELI kemudian dibakar oleh pembelinya karena menderita bibliophobia - takut pada isi dan misi buku-, atau bibliocast - sangat puas setelah memberangus buku -, tentu tidak masalah karena labanya sudah di tangan. Namun demikian, ada juga yang tidak setuju atas cara tindak seperti itu karena cintanya begitu besar pada buku, tak sekadar jadi jembatan jual-beli, tak sekadar uang. Mereka baru akan memasalahkannya kalau terjadi perampasan hak milik tanpa transaksi jual-beli yang adil.
Selanjutnya.
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar