• L3
  • Email :
  • Search :

28 Februari 2008

Kutulis, Aku Eksis

Awalnya aku bukanlah penulis. Sekarang pun aku belum pantas disebut penulis, belum layak menyandang predikat penulis. Tetapi, apa pun istilahnya, apakah penulis atau pembelajar menulis, aku terima saja. Yang penting bagiku, aku sudah menuliskan kata, frase, kalimat, paragraf dan untaian alinea yang akhirnya berupa tulisan. Entah apa namanya, aku tak peduli. Barangkali ada yang bernama eksposisi, ada deskripsi, ada yang argumentasi, ada juga yang narasi. Pokoknya EDAN (Eksposisi, Deskripsi, Argumentasi, Narasi). Jadi, bagiku, yang terpenting adalah menulis dan... menulis.

Ada sebabnya aku menulis. Ini lantaran aku menjadi pengajar dan wajib membuat tulisan ilmiah, populer, atau minimal berbentuk diktat. Terpaksalah aku menulis dan akhirnya... ketagihan. Andaikata aku tetap bekerja di sektor lain, aku yakin, aku takkan bisa menulis. Kalaupun mampu menulis, mungkin wujudnya hanya laporan teknik yang kaku dan “tak bersahabat” karena bab, subbab, dan poin-poin kupasannya sudah dibakukan oleh departemen atau dinas. Tak ada kebebasan dalam kreasi tatatulis, wajib mengikuti alur yang mereka buat, meniru laporan sebelumnya, dikekang oleh kungkungan pola pikir kalangan statis, status quo.

Seiring putaran waktu, akhirnya aku peroleh juga kenikmatan menulis, apalagi ada honornya. Ada tulisan yang betul-betul kurahapkan honornya, ada juga yang sekadar sumbangan untuk pengelola tabloid dan majalah kampus. Ada juga tulisan yang kuharapkan diterbitkan di suatu koran tanpa peduli sekecil apapun honornya lantaran ada misi yang dipikulnya. Banyak juga yang kugunakan sebagai pelepas penatku karena melihat ketakadilan di masyarakat lalu kurilis di dunia maya lewat blog sehingga orang lain dapat mengetahui kejadiannya, minimal ikut merenungkannya sejenak. Mudah-mudahan lewat renungan sekejap itulah pembaca memperoleh hikmah.

Patut diakui, renungan itu ibarat kuntum, wangi bunga yang memotret fakta harian lalu melahirkan semangat untuk meniti kehidupan. Ia serupa dengan parabola: lahir, batita, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, paruh baya, tua awal, lansia, lalu... mati. Itu sebabnya, kelebat renungan hendaklah digemakan lewat tulisan agar “abadi” dalam fana. Relakah kita menjadi “sekali jadi lalu mati, tak berarti?” Goresan pena, ketikan tuts komputer dapat “mengekalkan” manusia. Karya unggul (masterpiece) ulama salaf (lampau), sastrawan klasik, saintis dan teknolog tetap abadi dikaji beragam kalangan sampai sekarang. Inilah yang “memperpanjang” usia, “menambah” jatah hidup bagi penulis.

Meyakini “keabadian” itu dan karena hidup ini singkat, aku lantas berupaya menulis yang tak sekadar tulisan tetapi yang berguna buat pembaca. Kutulislah tapak-jejak hidupku agar tak mudah dihempas masa, tak dilupakan zaman, tak diburu waktu, tak dideru debu, dan tak digadai badai. Lewat untai tulisanlah aku berharap dikenang anak-anakku, cucuku, dan buyutku nanti. Harapanku, lewat tulisanlah spirit hidup kutanamkan kepada zuriatku, termasuk spirit membaca dan menulis. Hendak pula kutegaskan, bahwa eksistensi manusia bisa diraih lewat menulis. Maka, hadirlah mottoku dalam tatatulis, yaitu Kutulis, Aku Eksis. Kian banyak menulis, kian eksislah manusia di depan khalayak, lepas dari kerumunan manusia awam, menjadi manusia spesial, yaitu penulis!

Hanya saja, dalam pandanganku, tak ada batas statistik seseorang pantas disebut penulis besar. Semasih hidup, belumlah ada karyanya yang dapat disebut besar apalagi terbesar. Proses menulis, bagiku, baru berhenti ketika jasad berkalang tanah, bercampur lapukan daun, ditemani cacing, belatung, dan bakteri. Dari titik mati inilah para pemerhati dan kritikus tulisan bisa menyigi warisan tulisan seseorang lantas menobatkan satu atau beberapa karya tulisnya sebagai karya baik dan terbaik. Lewat warisan tulisan itulah orang lantas menjadi “abadi” dan panjang umur, mengisi khazanah ilmu selama bertahun-tahun. Ia kekal dalam edaran waktu. Sekadar contoh, betapa “abadi” buku karya Isaac Newton (1642-1727), yaitu Philosophiae Naturalis Principia Mathematica atau Dasar Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, terbit tahun 1686-1687.

Waktu, kata orang bijak, bagaikan pedang (sword). Yang gagal mengelolanya akan dipenggal oleh kelebatnya, tanpa pemberitahuan, tanpa ultimatum. Desir tebasannya segera memenggal kehidupan manusia. Sungguh, aku tak mau menjadi korbannya. Kuupayakan mengubah sword, sang pedang itu, menjadi words: kata-kata. Kulawan sword dengan words: dengan kata, frase, kalimat, paragraf, dan... tulisan. Itu sebabnya, aku bersuluk-suluk mencari waktu agar bisa menumpahkan lika-liku hidupku. Ditemani buku, dikawani penganan, dan ditingkah tak-tik tuts komputerku, aku menata huruf, kata, dan kalimat. Kuuntai menjadi jalinan yang mudah-mudahan membuahkan hikmah. Ketika tuntas satu tulisan, legalah hatiku, terbanglah aku. Kuterbang diiringi gemerincing tari sufi, fly di awan ilmu, di langit buku, di atmosfer kalbu.

Sejujurnya, aku ingin masuk ke dalam grup orang berilmu, menjadi orang ‘alim. Tapi aku sadar sesadar-sadarnya, tak banyak ilmu yang bisa kuserap selama ini. Yang kutekuni saja hanya secuil yang kudapat. Sebagian besar sisanya tak kuketahui, apalagi kukuasai. Malah setahuku, orang jenius pun tak bisa menguasai semua ilmu di jagat ini. Dia hanya jenius di bidang tertentu. Dulu, tahun 1990 atau 1991, aku lupa tahun berapa pastinya, aku menonton film Rainman. Ceritanya tentang orang idiot tapi jenius dalam hal tertentu atau idiot savant. Aku tentu saja tak ingin seperti Rainman. Aku ingin otakku mampu berpikir dan menghasilkan hal-hal positif bagiku dan buat lingkunganku. Atau, suatu saat kelak bermanfaat untuk keturunannku.

Otak, bagaimanapun, adalah suvenir fisiologis terbesar bagiku. Tuhan Sang Kreator menitipkan si kelabu kembar itu demi pembedaku dengan hewan. Ketika kera diberi insting, aku tak hanya diberi naluri dan otak tapi juga akal. Dengan otak dan akal itulah aku memilah lalu memilih yang baik, yang benar. Ini sebabnya aku tak setuju pada ungkapan Charles Darwin yang meyakini bahwa kera dan manusia berhulu pada nenek moyang yang sama. Dia memang tidak eksplisit menyatakan manusia berasal dari kera tapi aku tak setuju pada ungkapannya bahwa kera dan manusia ber-evolusi dari nenek moyang yang sama. Kera adalah kera, golongan hewan, sedangkan manusia adalah insan yang diciptakan dari tanah lalu diberi bentuk. Namun aku sadar, manusia bisa jauh lebih hina ketimbang binatang.

Yang terakhir, aku ingin mempraktikkan iqra dan kalam, baca dan tulis dalam hidupku. Aku begitu terkesan ketika tahu ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah tentang membaca. Bahkan kata iqra itu diulang dua kali dalam surat al ‘Alaq. Setelah itu barulah diperintahkan kalam, yaitu menulis. Logis! Dalam pembelajaran, anak kelas satu SD pasti disuruh membaca dulu baru menulis. Orang yang menulis tak mungkin tanpa didahului aktivitas membaca. Membaca dulu, barulah menulis. Yang juga hebat bagiku, Allah memilih orang yang tak bisa baca-tulis sebagai penerima risalah-Nya.
Akhir kata, sekali lagi, inilah deklarasiku: Kutulis, Aku Eksis. *
Gede H. Cahyana.

1 komentar:

  1. semangat anda sungguh luar biasa sekali
    dalam hal tulis menulis. menyadari bahwa menulis itu penting bagi kehidupan. menulis itu memberikan makna hidup ini.
    saya begitu tergugah dengan pengalaman anda dan saya sadar bahwa saya juga mempunyai keyakinan yang sama mengenai penulisan. bagiku menulis itu menyenangkan, seaindainya saya jadi seorang petani atau pekerjaan apa pun maka saya juga ingin tetap menulis.
    link saya ya, di www.sondangm.blogspot.com
    trimakasih dan ijinkan saya me-link anda

    BalasHapus