Tersedia di Majalah Air Minum, Agustus 2009
ReadMore »
Artikel sainstek yang berjudul Sedimentasi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari dua artikel sebelumnya yang berjudul Rapid Mixing (MAM 163, April 2009) dan Slow Mixing (MAM 164, Mei 2009). Tema utama, lebih khusus lagi adalah judul sedimentasi dalam IPAM, seperti halnya filtrasi, merupakan unit inti dalam satuan operasi (unit operation) di bidang teknologi pengolahan air, baik air minum maupun air limbah. Bisa dipastikan, kalau ada unit koagulasi dan flokulasi, maka pasti ada juga unit sedimentasi. Tidak mungkin seorang desainer IPAM yang menyediakan fasilitas koagulasi - flokulasi tanpa membuat sedimentasi. Begitu pula, secara teoretis, tidaklah tepat apabila efluen koagulasi - flokulasi dialirkan langsung ke unit filter karena dapat segera menyumbat filter sehingga biaya operasionalnya menjadi tinggi.
Fenomena dan karakteristik sedimentasi yang dikaitkan dengan Camp Test, khususnya tipe 1 (partikel diskrit) sudah ditulis di MAM edisi 145, Oktober 2007. Dalam terapannya di PDAM, unit tersebut dinamai Prasedimentasi yang difungsikan sebagai penyisih partikel semacam pasir, grit, dan kerikil kecil. Namun unit yang digunakan sebagai penyisih partikel flok, yakni partikel yang terbentuk setelah air berkoloid mendapat perlakuan koagulasi plus koagulannya kemudian dilanjutkan dengan unit flokulasi, biasanya disebut sedimentasi atau klarifikasi. Fenomena yang kedua ini mengacu pada Camp Test tipe 2 (flocculent particle) yang berbeda karakteristiknya dengan tipe 1. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan mendasar pada jumlah sampling port-nya pada tabung Camp di laboratorium dan cara perhitungan efisiensi teoretisnya.
Di dalam tulisan kali ini, titik fokus bahasannya adalah sedimentasi tipe 2 yang airnya sudah melalui unit koagulasi dan flokulasi, mendapat perlakuan fisikokimia. Lebih fokus lagi adalah tentang variasi teknologi yang diterapkan untuk meningkatkan kinerja atau efisiensi unit sedimentasi konvensional. Yang biasa diterapkan adalah (1) pelaminer aliran agar aliran airnya mendekati kondisi aliran ideal, (2) solid-contact, agar terjadi flokulasi yang lebih mantap dan pelekatan flok dari air umpan (air baku), dan (3) varian teknologi ”lanjut” yang berlisensi, proprietary, semacam ide atau gabungan beberapa mode operasi tetapi belum tentu cocok untuk kondisi air tertentu dan perlu berbagai pertimbangan.
Kriteria Desain
Apapun jenis barang yang dibuat, sebaiknya mengacu pada aturan yang sudah baku atau aturan inovatif – kreatif yang diperkirakan akan menghasilkan produk yang memuaskan. Berbagai macam pengalaman di berbagai tempat berkaitan dengan satu jenis bangunan misalnya, dapat dihimpun lalu dianalisis dan dibuatkan sebuah daftar tentang tatacara membuat atau membangunnya. Di bidang teknologi pengolahan air minum dan air limbah juga demikian. Kumpulan data, biasanya dalam suatu rentang, yang berpengaruh atas desain dan produknya ini biasa disebut kriteria desain (design criteria). Sebuah unit operasi – proses dapat memiliki belasan jenis kriteria desain, ada yang menjadi kriteria utama, ada juga sebagai kriteria pelengkap.
Dalam perancangan unit sedimentasi, parameter penting dalam desainnya adalah bentuk bak (geometri), beban permukaan, waktu tinggal, zone inlet – outlet, beban pelimpah, dan zone lumpur dan sistem pembuangannya. Bentuk bak yang sama dapat berbeda rentang kriteria desainnya kalau mengolah air yang mendapat perlakuan (treatment) berbeda. Misalnya, bak berbentuk persegi panjang akan berbeda nilai kriteria desainnya kalau yang satu memiliki unit koagulasi, satunya lagi pelunakan (softening). Begitu pula, kerapkali kinerja unit sedimentasi memburuk akibat perubahan kualitas air baku atau terjadi aliran singkat (short-circuiting). Penyebabnya antara lain aliran atau kecepatan influen di zone inlet, gradien temperatur dan stratifikasi densitasnya, hembusan angin, dan pelimpah efluen. Di dalam sedimentor yang tepat desainnya juga berpotensi terjadi aliran singkat. Kondisi buruk juga dapat diakibatkan oleh turbulensi ketika air mengalir dari flokulator ke sedimentor sehingga flok-floknya pecah.
Peningkatan Kinerja
Berbagai ”ancaman” buruk atas kinerja unit sedimentasi di atas tidaklah menjadi kata akhir yang tak dapat diperbaiki. Berikut ini disampaikan beberapa teknologi dan modifikasi yang dibuat dan telah diterapkan baik dalam skala laboratorium maupun lapangan untuk meningkatkan kinerja sedimentor.
Pelaminer Aliran. Inilah metode paling populer untuk meningkatkan kinerja unit sedimentasi dan banyak diterapkan pada unit baru maupun lama. Kalau dipasang di unit lama biasanya disebut uprating, yakni penambahan debit tanpa mengubah struktur bangunan. Tentu saja debit tambahan itu bergantung pada kelonggaran kriteria desain yang diterapkan pada masa awal desain dan konstruksinya dan juga ada tidaknya perubahan kualitas air baku. Perubahan kualitas kekeruhan misalnya, apalagi kalau terlampau tinggi, akan tetap menyulitkan uprating, tetapi masih mungkin ditingkatkan kinerjanya tanpa penambahan debit.
Sebagai pelaminer aliran, karena pengendapan sangat baik pada kondisi laminer, alat ini dirancang sedemikian rupa sehingga ”garis-garis aliran” di dalam masa air seolah-olah menjadi lapisan-lapisan air yang tenang dan mampu melepaskan padatan akibat tarikan gravitasi Bumi. Prinsipnya adalah menyediakan banyak ruang pengendapan, baik berupa pelat (plate settler) maupun tabung (tube settler) dan biasanya dipasang miring antara 45 s.d 60 derajat terhadap horizontal, dipasang di zone endap dekat dengan bagian outletnya. Semua massa air yang berisi flok harus melewati ruang endap mikro ini (microsettler) yang bentuknya serupa dengan tabung atau kanal. Konfigurasi ini dapat meningkatkan penyisihan flok karena (1) jarak tempuh pengendapan flok ke zone sedimentasinya menjadi pendek, akibatnya beban permukaannya pun berkurang, (2) aliran air menjadi makin laminer di dalam tabung/kanal, (3) pengaruh pelapisan (stratifikasi) densitas, temperatur, dan hembusan angin menjadi tidak berarti terhadap proses sedimentasi.
Dalam terapannya di lapangan, pelaminer aliran ini memang berhasil menjernihkan air dari sungai yang sangat keruh sehingga sering dijadikan opsi dalam perbaikan kinerja unit sedimentasi eksisting. Keputusan untuk meng-uprating instalasi ditentukan di unit ini, tentu saja dengan tetap mempertimbangkan unit operasi – proses lainnya dan kualitas air bakunya. Yang paling sulit modifikasinya adalah perubahan elevasi muka air akibat perubahan kedalaman unit pengolah yang diakibatkan oleh penambahan kapasitasnya, terutama kalau lahan kosong di instalasinya terbatas. Mau tak mau, bangunan eksisting harus dibongkar total, lalu diganti dengan bangunan baru. Pada instalasi yang sudah berumur lebih dari 20 tahun, sesuai dengan periode perancangannya, tentu bukan beban berat bagi PDAM karena memang sudah waktunya dievaluasi dan diganti dengan unit dan modifikasi teknologi untuk menambah kapasitas pengolahannya.
Solid-Contact System. Modifikasi sedimentasi konvensional juga berhasil memperbaiki kinerja pengolahannya dengan terapan solid-contact system. Dalam sistem ini, upaya maksimal diarahkan untuk menghasilkan lapisan atau selimut lumpur (sludge blanket) di zone bawah bak. Zone ini merupakan perpaduan antara lapisan bawah zone sedimentasi dan lapisan atas zone lumpur. Lapisan lumpur inilah yang menjaring flok sambil mengikat mikroflok sehingga membesar dan memberat lalu mengendap. Pertumbuhan mikroflok yang kecepatan endapnya masih lebih kecil daripada kecepatan ke atas aliran air (upflow velocity) mengganti makroflok yang mengendap sehingga terjadi kesetimbangan antara flok yang mengendap dan flok yang melayang sebagai selimut lumpur. Fenomena ini terjadi terus menerus sampai tiba saatnya lumpur dibuang. Pembuangan lumpur ini harus dilakukan hati-hati agar selimut lumpur tidak terlampau rusak lantaran membutuhkan waktu lama untuk menumbuhkannya kembali. (Hal serupa terjadi pada pengolahan air limbah organik dengan teknologi UASB, upflow anaerobic sludge blanket, di mana efisiensi pengolahan terbesarnya terjadi di zone bawah reaktor karena biofloknya sangat banyak dan aktif di zone ini. Bedanya, di dalam bioreaktor ini terjadi fenomena bioproses sedangkan di dalam solid-contact terjadi proses fisikokimia).
Multitray System. Secara teoretis, multitray atau multiplate mudah diterapkan pada unit prasedimentasi untuk menyisihkan pasir, grit, dan kerikil kecil. Konsep plate settler dan tube settler diawali oleh penerapan pelat ganda ini. Apabila dianalisis secara matematis fenomena pengendapannya, akan diperoleh bahwa kedalaman bak sedimentasi tidak berpengaruh pada efisiensinya. Hanya saja, keleluasaan pemasangan banyak pelat ini dipengaruhi juga oleh kecepatan aliran airnya dan kesulitan pengurasan lumpurnya sehingga penambahan jumlah pelat tidak bisa tak terbatas. Jangankan banyak pelat, dua pelat saja (two tray) sudah menimbulkan kerumitan dalam pengurasan lumpurnya.
Begitu pula, terapan yang sama tidak menghasilkan kinerja optimal pada partikel flok (pengendapan tipe 2). Oleh sebab itu, unit two tray system bagi partikel flok diterapkan untuk meningkatkan kinerjanya dalam dua tingkat sedimentasi. Mekanismenya, air masuk melewati dinding berlubang-lubang lalu mengalir horizontal sepanjang zone sedimentasi di kompartemen bawah kemudian naik ke zone atas, mengalir berlawanan arah dengan zone kompartemen bawah menuju outlet. Sistem pembuangan lumpurnya berupa rantai scraper yang mengeruk endapan flok di kompartemen atas lalu dijatuhkan di dasar kompartemen bawah yang akhirnya disedot dengan pompa lumpur untuk dibuang ke tempat pembuangan (sludge drying bed).
Proprietary System. Model unit yang satu ini merupakan modifikasi dari solid-contact system yang banyak dijual di pasar dengan lisensi dari pembuatnya yang dilengkapi klaim sebagai unit berkinerja tinggi. Modifikasi utamanya adalah pada upaya pembentukan lapisan lumpur yang efektif dalam menjerat flok dan bertahan lama serta mudah atau cepat dibentuk kembali setelah unit dibersihkan total atau dibuang lumpurnya. Hanya saja, karena karakteristik air bakunya bersifat variabel, maka model paket atau berlisensi ini tidak serta merta dapat diterapkan di semua sumber air baku. Pengaturan pH air, alkalinitas, dosis koagulan, kadar kekeruhan, jenis warna air (true ataukah apparent color) tetap wajib dipertimbangkan. Di sinilah kelihatan bahwa mengolah air bisa menjadi sangat mudah tetapi pada saat dan kondisi yang lain bisa menjadi sangat sulit karena floknya tidak bisa mengendap tetapi justru mengambang.
Apapun bentuk dan jenis unit proses-operasi yang diterapkan, percobaan dalam skala laboratorium perlu dilakukan untuk lebih meyakinkan para pembuat keputusan (desainer) dalam menerapkan unit di atas. Cara yang dapat ditempuh adalah lewat kerjasama dengan perguruan tinggi sehingga rencana unit pengolah air minum diteliti dulu dalam skala laboratorium.*