Hutan Penyangga Kehidupan
Oleh Gede H. Cahyana
-----------------------------------------------------------------
Tema peringatan Hari Lingkungan Dunia (World Environment Day) pada Juni 2011 ini adalah Forests: Nature at Your Service dengan dukungan dari UN International Year of Forests. Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup merilis tema turunan dari UNEP, yaitu Hutan Penyangga Kehidupan. Karena sifatnya menyangga (buffer) maka perannya menjadi penting ketika terjadi perubahan lingkungan yang dimulai dari pergeseran dan gesekan antarspesies di dalam komunitas hutan. Pertanyaannya, cukupkah hutan di Bumi ini untuk menyangga dan memberikan layanan sinambung kepada manusia dan hewan? Mari disimak dulu komentar Persson (1974), “Banyak orang tahu tentang bulan tapi tak tahu luas hutan di bumi. Intinya, the world (forest) is not enough.
Tidak bisa disangkal, hutan adalah areal penting dalam hidup manusia dan hewan yang perannya dapat dipahami dari siklus hidrologi. Esensi hutan ialah penjaga kesetimbangan antarnusia dan makhluk hidup lainnya yang juga dipengaruhi oleh makhluk takhidup (abiotik). Fungsi itu dapat tercapai apabila hutan tetap terjaga kelestariannya. Wajarlah ada ungkapan di Tatar Sunda, yaitu Leuweng ruksak, cai beak, manusa balangsak: hutan gundul, air habis, manusia menderita. Penderitaan manusia ini sudah terbukti dalam skala global.
Fakta lainnya, menurut The World Bank, 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah desertifikasi (penggurunan hutan) disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor fisika, biologi, politik, sosial, budaya dan faktor ekonomi dengan kerugian mencapai US $42,3 miliar per tahun. Disinyalir, tahun 2025 nanti desertifikasi akan dirasakan oleh 1,8 milyar orang. Karena sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan tropis hilang dan laju kehilangan hutan tropis pada dekade 1970 sebesar 11,3 juta ha per tahun meningkat menjadi 15,4 juta ha per tahun pada dekade 1980-an. Di Indonesia, menurut International Union Concervation for Natural (IUCN), kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,4 juta ha/tahun dan kini tinggal 70 juta ha atau hanya 50%-nya.
Selanjutnya, keragaman hayati (biodiversity) daratan yang punah mencapai lebih dari 80% akibat pembukaan hutan dan pembakaran/kebakaran yang menyumbang 30% sumber emisi karbon atmosfer. Hal itu terjadi karena siklus bakar selalu terjadi di semua belahan Bumi. Di Indonesia, bencana nasional dengan taraf siaga satu telah mengganggu kenyamanan hidup 20 juta orang dengan taksiran kerugian 4,4 miliar dollar AS. Pertanyaan menggelitik lainnya, setelah sadar hutan sebagai penyangga kehidupan, lantas apa dan bagaimana tindakan pemerintah dan masyarakat (dunia bisnis hutan) agar hutan tidak drastis berkurang? Kebakaran dan pembakaran hutan tetap saja terjadi dan ini mengancam ekosistem hutan hujan tropis yang kaya dengan keragaman hayatinya. Kebakaran (pembakaran) hutan layak dimasukkan ke dalam skandal nasional, menjadi cause celebre, karena tindakannya tak bertanggung jawab, melawan konsep ecodevelopment, merugikan ekonomi dan kesehatan rakyat. Juga mempercepat pemanasan global akibat gas CO2. Karena itu, pelakunya dikategorikan sebagai teroris lingkungan.
Penyiksaan Hutan
Hutan yang dalam dunia pewayangan diekspresikan sebagai “gunungan” adalah lambang kemakmuran, gemah ripah loh jinawi. Fungsi estetika, dekoratif dan sosioekologinya mempengaruhi eksistensi manusia. Sebaliknya, manusia pun mempengaruhi kondisi lingkungan hutan, ada saling kebergantungan. Di antara manfaat hutan yang paling terasa adalah sebagai sumber pangan dan papan (perumahan). Visualisasi keindahannya dipertegas lagi oleh keajaiban mekanisme reproduksi hewan-hewannya yang berpasangan jantan-betina.
Interaksi historis hutan, bagai baju dan ornamen bumi, kaya dengan dinamika populasi, sangat kompleks bahkan acap bertentangan (ambivalen). Di satu sisi, perannya sebagai sumber daya kehidupan (resources) tetapi di lain sisi sering dianggap perintang (obstacle), dikhawatirkan menjadi kendala dalam kesejahteraan. Pembabatan hutan untuk pertanian, perkebunan dan permukiman adalah beberapa contohnya. Juga sering muncul konflik antara pemanfaatan hasil hutan dengan fungsi konservasi flora- fauna untuk riset obat-obatan dan rekreasi.
“Penyiksaan” hutan dalam wujud deforestasi, sebuah trend dominan di hutan tropis, sudah berjalan ribuan tahun sejak ditemukannya cara bertani dan berkebun. Sekelompok masyarakat yang homogen dalam perilaku sosial budaya, memiliki perspektif khas terhadap hutan. Model peladangan berpindah adalah satu fenomena yang masih berlangsung, dianut taat oleh sebagian suku di Indonesia. Cara pandangnya berasumsi bahwa hutan, sebagai bagian kehidupan, menjadi milik bersama dalam tradisi komunal kesukuan (tribalisme). Warga boleh mengambil manfaat dari semua komponennya tetapi dilarang keras merusaknya.
Secara temurun, para peladang berpindah itu memiliki kearifan yang tinggi, tidak serakah dan hanya untuk kebutuhan primer (subsistence goals). Selain itu, persepsi terhadap animisme dan dinamisme atau pada kalangan beragama yang percaya pada kekuatan supranatural atau mistik ikut melestarikan fungsi hutan. Mereka takut menjamah (apalagi merusak) daerah yang dianggap keramat berpohon besar atau ada satwa yang dianggap titisan dewa. Beberapa karakter itulah yang mendukung mereka dalam pemulihan (recovery) hutan.
Selanjutnya, perkembangan populasi manusia memperberat “penyiksaan” terhadap hutan. Itu terjadi karena manusia memerlukan lahan dan fasilitas perekonomian. Di antaranya berupa kebutuhan permukiman (daerah transmigrasi), perkebunan (sawit, karet) dan industri kayu (timber) dan yang berbasis kayu. Juga perubahan struktur sosial, pergeseran nilai budaya dan gaya hidup peladang yang terimbas westernisasi adalah kontributor peladangan yang destruktif.
Satu dampak perubahan pola peladangan dan konsep kepemilikan hutan yang menjadi causa prima kerusakan hutan dan lahan adalah pembakaran hutan. Awalnya hanyalah untuk membuka areal pinggiran hutan. Namun kondisi cuaca dan hembusan angin mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah bakar. Faktor pendukung yang lain adalah kondisi geologi hutan (batubara), gunungapi dan peristiwa alam (jarang terjadi di daerah tropis) seperti kilat. Juga gesekan ranting dan daun kering saat kemarau. Tentu penyebab terbesar adalah pembukaan lahan dengan pembakaran.
Kepemilikan Hutan
Tentang kepemilikan ini (ownership), ada baiknya kembali ke spirit yang diilustrasikan oleh pasal 33 UUD 1945 ayat 3. Bahwa negara, empunya hutan, wajib memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan gamblang tanpa perlu penafsiran panjang dinyatakan bahwa hutan adalah milik negara (state ownership). Seperti tambang, dalam pemanfaatannya negara boleh melakukan kerjasama dengan perusahaan swasta (domestik atau asing) yang punya modal dan teknologi. Sebetulnya, spirit pasal ekologi di atas adalah menjadikan hutan sebagai milik bersama (common property). Kepemilikan komunal dengan kepemilikan negara seperti dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan. Walaupun dari sisi historis, objek kepemilikan tersebut berbeda. Tujuan kepemilikan komunal atau kesukuan yang sudah berlangsung berabad-abad hanyalah konsumtif belaka sedangkan orientasi negara (state ownership) lebih luas lagi meliputi ekonomi global, proteksi lingkungan, riset dan preservasi.
Dari sisi peraturan, sebenarnya pemerintah telah memiliki perangkat hukum yang cukup. Paling tidak, sejak Konferensi Stockholm tersebut, produktivitas pemerintah pusat dan daerah sangat tinggi dalam merilis peraturan. Namun kesulitan penegakannya mungkin karena ada tarik ulur berbagai kepentingan. Saling lempar tanggung jawab. Bahkan diisukan justru aparat penegak hukumnya yang lemah. Mereka melecehkan etika lingkungan dan menganggap sepi bahaya yang akan muncul. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi, tindakan hukum terhadap pelanggaran dinomorduakan. Penegakan hukum berada di simpang jalan, ragu mengambil arah pasti.
Sekali lagi, survivalitas hutan sangat bergantung pada kontrol dan regulasi. Berbagai kebijakan yang tertuang di dalam perundang-undangan harus dijamah dan ditegakkan (enforcement) untuk mewujudkan pentaatan hukum (compliance). Diperlukan penaatan hukum yang kredibilitasnya tinggi dengan peraturan yang jelas dan tegas. Ada konsistensi sanksi, adil dan ada kemauan politik penguasa dan pengusaha. Setiap keputusan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosioekologi karena masyarakat selalu terpojok menderita social cost yang besar termasuk kenyamanan hidup.
Akhir kata, setiap orang punya hak atas hutan. Ia boleh dieksploitasi namun harus tetap berada di dalam daya dukungnya agar mampu menyangga kehidupan. Fungsi kontrol dan manajemen sumber daya dijalankan dengan pendekatan integratif multidisiplin sehingga eksploitasinya tidak destruktif. Masyarakat dilibatkan dalam fungsi kontrol karena ia menjadi subjek sekaligus objek. Maka, setujukah Anda jika hutan adalah titipan dari anak-cucu kita?*
Penulis, dosen Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan, Bandung.
ReadMore »
Oleh Gede H. Cahyana
-----------------------------------------------------------------
Tema peringatan Hari Lingkungan Dunia (World Environment Day) pada Juni 2011 ini adalah Forests: Nature at Your Service dengan dukungan dari UN International Year of Forests. Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup merilis tema turunan dari UNEP, yaitu Hutan Penyangga Kehidupan. Karena sifatnya menyangga (buffer) maka perannya menjadi penting ketika terjadi perubahan lingkungan yang dimulai dari pergeseran dan gesekan antarspesies di dalam komunitas hutan. Pertanyaannya, cukupkah hutan di Bumi ini untuk menyangga dan memberikan layanan sinambung kepada manusia dan hewan? Mari disimak dulu komentar Persson (1974), “Banyak orang tahu tentang bulan tapi tak tahu luas hutan di bumi. Intinya, the world (forest) is not enough.
Tidak bisa disangkal, hutan adalah areal penting dalam hidup manusia dan hewan yang perannya dapat dipahami dari siklus hidrologi. Esensi hutan ialah penjaga kesetimbangan antarnusia dan makhluk hidup lainnya yang juga dipengaruhi oleh makhluk takhidup (abiotik). Fungsi itu dapat tercapai apabila hutan tetap terjaga kelestariannya. Wajarlah ada ungkapan di Tatar Sunda, yaitu Leuweng ruksak, cai beak, manusa balangsak: hutan gundul, air habis, manusia menderita. Penderitaan manusia ini sudah terbukti dalam skala global.
Fakta lainnya, menurut The World Bank, 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah desertifikasi (penggurunan hutan) disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor fisika, biologi, politik, sosial, budaya dan faktor ekonomi dengan kerugian mencapai US $42,3 miliar per tahun. Disinyalir, tahun 2025 nanti desertifikasi akan dirasakan oleh 1,8 milyar orang. Karena sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan tropis hilang dan laju kehilangan hutan tropis pada dekade 1970 sebesar 11,3 juta ha per tahun meningkat menjadi 15,4 juta ha per tahun pada dekade 1980-an. Di Indonesia, menurut International Union Concervation for Natural (IUCN), kerusakan hutan di Indonesia mencapai 2,4 juta ha/tahun dan kini tinggal 70 juta ha atau hanya 50%-nya.
Selanjutnya, keragaman hayati (biodiversity) daratan yang punah mencapai lebih dari 80% akibat pembukaan hutan dan pembakaran/kebakaran yang menyumbang 30% sumber emisi karbon atmosfer. Hal itu terjadi karena siklus bakar selalu terjadi di semua belahan Bumi. Di Indonesia, bencana nasional dengan taraf siaga satu telah mengganggu kenyamanan hidup 20 juta orang dengan taksiran kerugian 4,4 miliar dollar AS. Pertanyaan menggelitik lainnya, setelah sadar hutan sebagai penyangga kehidupan, lantas apa dan bagaimana tindakan pemerintah dan masyarakat (dunia bisnis hutan) agar hutan tidak drastis berkurang? Kebakaran dan pembakaran hutan tetap saja terjadi dan ini mengancam ekosistem hutan hujan tropis yang kaya dengan keragaman hayatinya. Kebakaran (pembakaran) hutan layak dimasukkan ke dalam skandal nasional, menjadi cause celebre, karena tindakannya tak bertanggung jawab, melawan konsep ecodevelopment, merugikan ekonomi dan kesehatan rakyat. Juga mempercepat pemanasan global akibat gas CO2. Karena itu, pelakunya dikategorikan sebagai teroris lingkungan.
Penyiksaan Hutan
Hutan yang dalam dunia pewayangan diekspresikan sebagai “gunungan” adalah lambang kemakmuran, gemah ripah loh jinawi. Fungsi estetika, dekoratif dan sosioekologinya mempengaruhi eksistensi manusia. Sebaliknya, manusia pun mempengaruhi kondisi lingkungan hutan, ada saling kebergantungan. Di antara manfaat hutan yang paling terasa adalah sebagai sumber pangan dan papan (perumahan). Visualisasi keindahannya dipertegas lagi oleh keajaiban mekanisme reproduksi hewan-hewannya yang berpasangan jantan-betina.
Interaksi historis hutan, bagai baju dan ornamen bumi, kaya dengan dinamika populasi, sangat kompleks bahkan acap bertentangan (ambivalen). Di satu sisi, perannya sebagai sumber daya kehidupan (resources) tetapi di lain sisi sering dianggap perintang (obstacle), dikhawatirkan menjadi kendala dalam kesejahteraan. Pembabatan hutan untuk pertanian, perkebunan dan permukiman adalah beberapa contohnya. Juga sering muncul konflik antara pemanfaatan hasil hutan dengan fungsi konservasi flora- fauna untuk riset obat-obatan dan rekreasi.
“Penyiksaan” hutan dalam wujud deforestasi, sebuah trend dominan di hutan tropis, sudah berjalan ribuan tahun sejak ditemukannya cara bertani dan berkebun. Sekelompok masyarakat yang homogen dalam perilaku sosial budaya, memiliki perspektif khas terhadap hutan. Model peladangan berpindah adalah satu fenomena yang masih berlangsung, dianut taat oleh sebagian suku di Indonesia. Cara pandangnya berasumsi bahwa hutan, sebagai bagian kehidupan, menjadi milik bersama dalam tradisi komunal kesukuan (tribalisme). Warga boleh mengambil manfaat dari semua komponennya tetapi dilarang keras merusaknya.
Secara temurun, para peladang berpindah itu memiliki kearifan yang tinggi, tidak serakah dan hanya untuk kebutuhan primer (subsistence goals). Selain itu, persepsi terhadap animisme dan dinamisme atau pada kalangan beragama yang percaya pada kekuatan supranatural atau mistik ikut melestarikan fungsi hutan. Mereka takut menjamah (apalagi merusak) daerah yang dianggap keramat berpohon besar atau ada satwa yang dianggap titisan dewa. Beberapa karakter itulah yang mendukung mereka dalam pemulihan (recovery) hutan.
Selanjutnya, perkembangan populasi manusia memperberat “penyiksaan” terhadap hutan. Itu terjadi karena manusia memerlukan lahan dan fasilitas perekonomian. Di antaranya berupa kebutuhan permukiman (daerah transmigrasi), perkebunan (sawit, karet) dan industri kayu (timber) dan yang berbasis kayu. Juga perubahan struktur sosial, pergeseran nilai budaya dan gaya hidup peladang yang terimbas westernisasi adalah kontributor peladangan yang destruktif.
Satu dampak perubahan pola peladangan dan konsep kepemilikan hutan yang menjadi causa prima kerusakan hutan dan lahan adalah pembakaran hutan. Awalnya hanyalah untuk membuka areal pinggiran hutan. Namun kondisi cuaca dan hembusan angin mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah bakar. Faktor pendukung yang lain adalah kondisi geologi hutan (batubara), gunungapi dan peristiwa alam (jarang terjadi di daerah tropis) seperti kilat. Juga gesekan ranting dan daun kering saat kemarau. Tentu penyebab terbesar adalah pembukaan lahan dengan pembakaran.
Kepemilikan Hutan
Tentang kepemilikan ini (ownership), ada baiknya kembali ke spirit yang diilustrasikan oleh pasal 33 UUD 1945 ayat 3. Bahwa negara, empunya hutan, wajib memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan gamblang tanpa perlu penafsiran panjang dinyatakan bahwa hutan adalah milik negara (state ownership). Seperti tambang, dalam pemanfaatannya negara boleh melakukan kerjasama dengan perusahaan swasta (domestik atau asing) yang punya modal dan teknologi. Sebetulnya, spirit pasal ekologi di atas adalah menjadikan hutan sebagai milik bersama (common property). Kepemilikan komunal dengan kepemilikan negara seperti dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan. Walaupun dari sisi historis, objek kepemilikan tersebut berbeda. Tujuan kepemilikan komunal atau kesukuan yang sudah berlangsung berabad-abad hanyalah konsumtif belaka sedangkan orientasi negara (state ownership) lebih luas lagi meliputi ekonomi global, proteksi lingkungan, riset dan preservasi.
Dari sisi peraturan, sebenarnya pemerintah telah memiliki perangkat hukum yang cukup. Paling tidak, sejak Konferensi Stockholm tersebut, produktivitas pemerintah pusat dan daerah sangat tinggi dalam merilis peraturan. Namun kesulitan penegakannya mungkin karena ada tarik ulur berbagai kepentingan. Saling lempar tanggung jawab. Bahkan diisukan justru aparat penegak hukumnya yang lemah. Mereka melecehkan etika lingkungan dan menganggap sepi bahaya yang akan muncul. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi, tindakan hukum terhadap pelanggaran dinomorduakan. Penegakan hukum berada di simpang jalan, ragu mengambil arah pasti.
Sekali lagi, survivalitas hutan sangat bergantung pada kontrol dan regulasi. Berbagai kebijakan yang tertuang di dalam perundang-undangan harus dijamah dan ditegakkan (enforcement) untuk mewujudkan pentaatan hukum (compliance). Diperlukan penaatan hukum yang kredibilitasnya tinggi dengan peraturan yang jelas dan tegas. Ada konsistensi sanksi, adil dan ada kemauan politik penguasa dan pengusaha. Setiap keputusan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosioekologi karena masyarakat selalu terpojok menderita social cost yang besar termasuk kenyamanan hidup.
Akhir kata, setiap orang punya hak atas hutan. Ia boleh dieksploitasi namun harus tetap berada di dalam daya dukungnya agar mampu menyangga kehidupan. Fungsi kontrol dan manajemen sumber daya dijalankan dengan pendekatan integratif multidisiplin sehingga eksploitasinya tidak destruktif. Masyarakat dilibatkan dalam fungsi kontrol karena ia menjadi subjek sekaligus objek. Maka, setujukah Anda jika hutan adalah titipan dari anak-cucu kita?*
Penulis, dosen Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan, Bandung.