Sejak dicanangkan
tahun 1980, setiap tanggal 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Ini
bertepatan dengan peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta. Bagaimana peran
buku bagi perkembangan masyarakat?
Buku itu pintu
ilmu; jendela dunia. Membaca buku sama dengan membuka tirai dunia, membawa
dunia lebih dekat dengan kita. Malah ada di tangan kita, dalam lembaran kertas berisi tulisan bermakna,
kalimat- nya tertata dengan struktur tertentu yang bervariasi. Inilah makna buku secara klasik konvensional.
Buku itu
gudang ilmu. Yang lebih tepat, menurut saya, buku adalah ladang ilmu. Ladang tempat menyemaikan benih. Benih
yang unggul akan bagus hasilnya. Benih buruk, buruklah buahnya. Tak heran ada
buku yang menjadi ladang maksiat, mengubah pikiran orang menjadi marxis dan
melekatkan ateisme di selaput kelabu otaknya. Bersamaan dengan itu, ada buku
yang menjadi ladang kebaikan, menggiring orang pada kebenaran dan hiburan bagi
kalbu.
Kekuatan
Buku
Lewat buku kita
menjadi makin tahu. Orang yang belum pernah ke Alaska menjadi tahu kondisi di
sana lewat koran, majalah, tabloid atau buku. Buku-buku tentang kedigjayaan
bangsa dan budaya Mesopotamia di Irak zaman dahulu bisa kita ketahui lewat buku
juga. Yang belum pernah mendaki Himalaya di India menjadi tahu cerita tentang
makhluk Yeti yang misterius itu, juga dari buku. Tentang jagat raya atau
makrokosmos seperti planet, bintang-gemintang, asteroid, komet, matahari hingga
galaksi, alam renik semisal bakteri-kuman, juga bisa didapat di buku. Sejarah
tentang kertas atau papirus dan riwayat mesin cetak Gutenberg juga dapat
ditelusuri di buku-buku.
Pendeknya, semua
ilmu dan teknologi mulai dari ajaran agama, sekte kepercayaan, teknologi lama
dan baru, sejarah dan situs purbakala hingga Zaman Dinosaurus bisa diretas
lewat buku. Tak berlebihan jika buku disebut penyambung lidah sejarah. Ia
meniti dan melintasi zaman sambil mendata pernak-pernik adat dan budaya di
setiap daerah. Sebagai penyambung kebudayaan, buku begitu penting bagi
masyarakat beradab yang selalu berpikir maju. Catatan ilmu dan teknologi dari
sejumlah buku dipelajari oleh ilmuwan dan teknolog, lalu diuji coba di
laboratorium kemudian hasilnya dituangkan di dalam buku juga. Bagaimanapun,
buku adalah salah satu alat komunikasi antarilmuwan lintas agama, lintas
budaya, lintas negara, dan..., ini yang penting: lintas masa.
Itulah kekuatan
buku. Banyak yang percaya pada kemampuan buku untuk menyebarkan sainstek di
tengah perkembangan radio, televisi, komputer, internet (blog, FB, Twitter) atau
apa saja pada masa depan. Bahkan kehadiran ponsel dengan SMS-nya justru makin
membiasakan orang menulis catatan singkat. Ini bisa menjadi cikal-bakal
munculnya penulis-penulis buku di kalangan remaja, terlepas dari SMS itu
yang—kata pakar bahasa—merusak bahasa kita. Facebook juga sama, dapat
membiasakan Fbers menulis apa saja, meskipun sekadar satu-dua kata, baik
dianggap penting maupun tidak oleh Fbers lainnya. Yang penting...., menulis.
Yang pasti, baik
SMS, e-mail, Fb, Twitter, maupun surat biasa lewat pos adalah sarana
pembiasaan menulis dan mengemukakan pendapat secara tertulis yang tertata. Pasti
ada sisi positifnya, sekecil apapun ia. Untuk tahap awal, amat prematur kalau
kita langsung bicara soal mutu tulisan. Semua orang silakan saja menulis: mau menulis
cerita fakta, silakan. Mau fiksi, boleh-boleh saja. Mau novel pop, novel picisan, atau novel
sastra, semuanya sah-sah saja. Nanti masyarakat yang menilai. Pokoknya..,
tulis!
Kembali ke
soal buku. Buku nyaman dijinjing ke mana saja. Praktis dan mudah diakses. Kapan
mau dibuka, saat itu juga
bisa dilakukan. Tak perlu listrik, tanpa baterei, dan ringan. Sambil santai di
kursi, sembari berbaring atau lesehan, waktu berjemur di pantai, mudah
dilakoni. Bahkan, untuk mengirim surat ke pacar zaman cinta monyet di SMP-SMA
dulu banyak yang diselipkan di dalam buku cerita seperti Lima Sekawan, Sapta
Siaga, novel pop, atau buku-buku paket mafikibi (matematika, fisika, kimia,
biologi).
Selamat
menulis, selamat memperingati Hari Buku Nasional, 17 Mei 2012.*
Salam Buku
Gede H. Cahyana
Gede H. Cahyana
Foto: Solopos
Mantap artikelnya Pak . . .
BalasHapus