Bulan ini, yaitu Mei, empat belas tahun lalu, Indonesia sedang genting-gentingnya.
Pada pekan itu Presiden Soeharto sedang berada di luar negeri. Salah satu
negara yang didatanginya adalah Mesir. Sementara itu, di dalam negeri kegawatan
terus berubah dari detik ke detik. Percepatannya sangat terasa. Sejumlah aksi
demo kian marak. Mahasiswa dari 99,99% perguruan tinggi bergerak. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di Bandung,
di Yogya, Solo, Semarang, Surabaya,
Makasar, Medan, Padang, dll. Semuanya bersatu menyerukan
perlawanan terhadap status quo yang dilakoni Orde Baru.
Bulan ini, yaitu Mei, empat belas tahun lalu, seorang dosen UGM, Amien Rais
namanya, diisukan akan ditangkap. Orang Jawa ini memang sedang merancang
pertemuan besar di Monas. Itu sebabnya, bala tentara telah disiapkan untuk
menggagalkan acara itu dan bila perlu menindaknya secara tegas. Isu ini terus
meletus dan sampai juga ke telinga rakyat kecil. Mereka tak rela pemimpinnya
dinista seperti itu dan bersama mahasiswa mereka ikut bergerak. Gedung MPR-DPR
dijejali ratusan ribu manusia, bahkan sampai sesak hingga radius satu
kilometer. Luar-dalam gedung milik rakyat itu sarat rakyat. Mereka menagih
miliknya kepada wakil-wakilnya yang tetap bersikukuh atas pilihan mereka.
Bulan ini, yaitu 21 Mei, empat belas tahun lalu, terjadi peristiwa sejarah
yang abadi selamanya. Soeharto, presiden yang berkuasa nyaris 32 tahun,
akhirnya turun. Lengser keprabon, tanpa mandeg pandhito. Kulihat
semua orang yang ada di gedung DPR-MPR itu menangis. Menangis sejadi-jadinya. Kulihat
mereka saling berpelukan, berbaur. Tua muda, anggota dewan dan mahasiswa,
semuanya kulihat mengusap air mata. Bahagia tak terkira. Satu tahap
perjuangannya telah berbuah. Mereka tahu, banyak pengorbanan yang telah keluar.
Tak hanya tenaga, uang, pikiran, perasaan, tapi juga nyawa kawan mereka.
Peristiwa Semanggi dan sederetan lagi peristiwa lainnya. Entah berapa banyak
orang yang hilang dan tak diketahui kabarnya sampai sekarang.
Bulan ini, yaitu Mei, empat belas tahun lalu, Prof. Dr. Habibie mulai
menjalankan tugasnya sebagai presiden. Pertentangan terjadi. Mekanismenya
dianggap salah. Runyamlah lagi suasana. Namun akhirnya para politisi dan ekonom
Indonesia
dapat memberikan pengertian kepada mayoritas pihak bahwa Habibie hanya
sementara. Ia menjadi presiden sampai jangka waktu tertentu, yaitu sampai
Pemilu. Ini sudah dilaksanakannya. Pemilu multipartai. Tapi sayang, satu
kesalahan terbesar Habibie adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI. Tragis
memang. Setelah puluhan ribu nyawa melayang, Timtim akhirnya bukan milik kita
lagi. Ia menjadi negara baru bernama Timor Leste dan Xanana Gusmao menjadi
presiden.
Kembali ke sosok Amien Rais. Dialah orang pertama yang berani menyuarakan
isu suksesi tanpa huru-hara. Itu dilontarkannya tahun 1993, ketika baru saja
Soeharto terpilih kembali menjadi presiden. Dalam rentang waktu lima tahun itu, yaitu
dari 1993 sampai 1998, Amien Rais selalu berada di garda depan. Ia bahkan
dicerca oleh semua lawan kampus dan lawan politiknya. Bahkan di PP Muhammadiyah
pun ia dilawan, ketika ia menjadi ketuanya. Dari sekian poin kasusnya, artikel
berjudul Inkonstitusional di
Republika inilah yang melambungkan namanya dan dianggap kontra-Orde Baru
padahal dia seorang PNS. Bagi Orde baru, PNS adalah Golkar, sebuah organisasi
yang tak mau mengaku sebagai partai tapi selalu berpolitik. Aneh memang. ABRI
pun masuk ke Golkar. Tak heran Golkar menang dengan suara telak pada masa itu.
Bulan ini, yaitu Mei, empat belas tahun lalu, Amien Rais berhasil membawa lokomotif
yang menarik gerbong berisi 180 juta orang waktu itu. Ia antarkan sampai
stasiun untuk kemudian berganti masinis dan melanjutkan perjalanan lagi. Mau ke
mana? Tentu saja arahnya bergantung pada mayoritas rakyat Indonesia,
lewat mekanisme Pemilu. Jika masih terus saja mau bodoh dan rela diperbodoh,
maka hasilnya takkan lebih baik daripada masa Orde Baru dulu. Cuma akal dan
pikir inilah yang mampu melepaskan diri kita dari kungkungan kebodohan,
ketidakadilan, dan kenistaan. Bayangkan, sekarang kita sudah 235 juta orang!
Sangat potensial untuk melawan kesialan selama ini, bukan?
Bulan ini, yaitu Mei, empat belas tahun lalu, Amien Rais membuktikan satu
perkara penting, yaitu: tetap berada di jalur kebenaran, sekuat apa pun badai
menerjang. Ujungnya, semua berakhir. Mau sebagai pecundang atau pemenang? Itu
semua adalah opsi kita. Bagai angsa yang memilih tumpahan susu di kolam berlumpur.
Akal sehat adalah kuncinya.*
Artikel ini sekadar kilas-balik, refleksi atas reformasi yang diawali oleh seorang dosen bernama Amien Rais.
Foto: Vivanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar