Ke Bali, Kunjungilah Museum Subak
Oleh Gede H. Cahyana
Dimuat di Merpati Archipelago, Inflight Magazine, Edisi 14, Juli 2012
Dulu, pada waktu Gede Ardika
menjadi Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, beliau men- cetuskan eco-tourism dan sawah dijadikan salah
satu objek unggulannya. Secara harfiah, ecotourism
tak sekadar menjual lingkungan (environment),
bukan envitourism, tetapi lebih luas
lagi, yaitu budaya khas daerah. Di Bali, apabila kita bicara tentang sawah maka
produk budaya lokalnya, yaitu subak, tak bisa dilepaskan. Di St. Petersburg,
Rusia, pada 20 Juni 2012, Unesco (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) resmi
menetapkan Subak menjadi warisan budaya dunia setelah pemerintah Indonesia
mem- perjuangkannya selama 12 tahun.
Menurut sejarah, subak atau suba krama (kerukunan yang baik), seperti
tertulis pada lontar pajangan di museum itu, sudah ada pada abad ke-14 M. Ada
juga yang mengatakan bahwa subak mulai eksis pada abad ke-7 Masehi, merujuk ke
tulisan Nyoman S. Pendit di dalam buku “Membangun Bali” (Pustaka Bali Post,
2001) yang dikutipnya dari hasil riset tim Universitas Udayana. Menurut Dr.
Goris, di buku tersebut, sudah ada sejak 600-an Masehi. Sekarang, khazanah khas
yang terdiri atas 1.193 subak seluas 98.679.915 ha itu (akurasi angka ini
diragukan sebab luas Bali lebih-kurang 5.633 km2 (Jensen dan Suryani di dalam
buku “Orang Bali”, Penerbit ITB, Bandung, 1996), kata Pendit, telah ditiru oleh
berbagai daerah: di Jawa Tengah bernama Darmatirta, di Jawa Barat jadi Mitracai
dan Tolai di Sulawesi Tengah.
Situs Langka
Menyambut ketetapan Unesco ini,
hendaklah Pemkab Tabanan membuat brosur yang baik kualitasnya, isinya tentang
riwayat subak, sejarah museum, latar belakang pendirian, kapan, dan biayanya.
Yang juga penting adalah uraian tentang maksud, manfaat, dan isu transenden yang
terkandung di dalam “pusaka-pusaka” itu, selain, mengapa situsnya dibangun di
Tabanan. Hal-hal seperti itu masih banyak yang belum tahu. Diharapkan Museum
Subak bisa menetas menjadi opsi baru objek wisata unggulan di Tabanan. Apalagi
“museum” lapangannya sudah ada, yaitu di Jatiluwih, di lereng Gunung Batukaru.
Teraseringnya tiada tara. Meski sama-sama dingin-berkabut, panoramanya lebih
spektakuler dibandingkan dengan Batu di Malang, Puncak di Cianjur, maupun
Tangkubanparahu di Bandung. Didukung lagi oleh kondisi keamanannya yang
kondusif bagi investasi di sektor wisata. Sungguh bernas.
Yang diperlukan setelah
penghargaan dari Unesco adalah upaya Pemkab Tabanan untuk mengenal- kannya ke
seluruh Indonesia dan dunia. Ada harapan, jumlah turis asing yang ke Indonesia
akan terus meningkat, mencapai 3 - 4 juta orang. Apabila separuhnya landing di Bandara Ngurah Rai, lalu
setengahnya berhasil digaet ke museum itu, bisalah dihitung berapa besar PAD
Kabupaten Tabanan. Undanglah investor untuk membuat sinetron atau film, seperti
film-filmnya Garin Nugroho, yang ber-setting
subak dan lokasi shooting-nya di
Museum Subak, Jatiluwih, dan sekitarnya. Terbitkan juga buku yang berisi usulan
pakar dan praktisi wisata di Bali agar lebih realistis.
Terakhir,
himbauan untuk Pemprov Bali, Pemkab Tabanan dan anggota dewan, agar makin
peduli pada aset dunia ini. Pada saatnya kelak, bukan Tanah Lot, Beratan, dan
Bedugul saja yang menjadi unggulan sumber PAD Tabanan, tapi juga Museum Subak.
Apalagi lokasinya strategis, di pinggir jalan Denpasar-Gilimanuk, 20 km ke arah
barat Denpasar dan 100 km dari Gilimanuk, ke arah timur. Kalau ini terwujud,
bakal banyak turis yang wisata ke Sangulan, tempat yang pernah diplesetkan
menjadi Song of land-nya Bali; Gita
tatar (Gitar) Bali. Good luck. *
Foto: baliwisata