Antara NU - Muhammadiyah, Saya Pilih …
Oleh Gede H. Cahyana
Awal Agustus 2015 ini, dua ormas
besar menggelar muktamar. Yang kesatu NU, yang kedua Muhammadiyah. Yang satu di
Jombang, yang kedua di Makassar. Kata kabar di koran dan medsos, ada ricuh di
NU, tertib di Muhammadiyah. Pelibatan jin (makhluk gaib) terbetik di Jombang,
nihil makhluk halus di Makassar. Sejumlah tokoh NU sarat dengan label JIN
(Jaringan Islam Nusantara), tokoh Muhammadiyah nihil. Politisi dari partai
tertentu disinyalir bermain, nihil di
Muhammadiyah. Uang bicara, di Muhammadiyah tidak. Begitulah sejumlah saripati
yang saya baca di media massa dan medsos. Pembaca bisa menambah hal-hal
lainnya.
Namun demikian, intisari dari NU
pada masa awal dahulu, sama dengan Muhammadiyah. Simpangan di NU berlangsung
sedikit demi sedikit, dan tahun 2015 ini tampaknya akan menjadi bukit. Apalagi
kalau tokoh JIL, JIN dan lain-lain ikut berkuasa di NU dan PKB. Masyarakat
grassroot NU adalah mayoritas kalangan awam dan sangat patuh pada kyai. Mereka
terbiasa mencium tangan kyai sebagai simbol penghormatan atas ilmu yang
dimiliki dan disebarkan oleh kyai. Namun sekarang, apalagi masalah itu justru
muncul dari para tokoh NU maka bisa merunyamkan kalangan grassroot ini. Solusinya,
pemimpin NU hendaklah yang sesuai dengan spirit KH. Hasyim Asy’ari, pendirinya.
Mempelajari lagi catatan, tulisan, ceramah dan dakwah beliau, apakah deviasinya
saat ini sudah jauh ataukah dekat, lantas pemimpin ini dengan ikhlas berupaya
mengembalikannya ke spirit awal tersebut.
Ada kejadian yang ingin saya
bagikan. Suatu masa, saya naik kereta api, Kereta api terus melaju ke Surabaya. Bising. Tak hanya suara kereta yang
terdengar, tangis anak-anak pun bercampur dengan desiran angin lewat celah
jendela bagian atas. Tubuh terus bergoyang-goyang. Agak pegal ini badan, tulang
terasa kaku. Saya menggeliat. Supaya nyaman saya berdiri, melihat-lihat ke
depan ke belakang. Pandangan saya lepaskan juga ke samping kanan dan kiri,
menembus jendela kereta. Agak gelap. Lampu rumah tepi rel masih menyala, ada
yang terayun-ayun.
Saya teguk air kemasan yang saya beli di stasiun Bandung; masih sisa
setengah botol ukuran 1,5 liter. Segar menjalar-jalar di kerongkongan. Nikmat.
Tak lama lagi Mutiara Selatan tiba
di stasiun Gubeng. Nanti saya mau mandi dulu, sebelum naik Mutiara Timur,
pikiran saya membayangkan kesegaran air di kamar mandi stasiun. Sejurus kemudian
seorang penumpang di kiri, di sebelah jok saya buka suara berbasa-basi. Saya
menimpali. Setelah ngobrol ini-itu dia bertanya.
“Mas ini aliran apa?”
Saya kaget. Tak bisa langsung menjawabnya. Aliran, kata inilah yang
membingungkan saya.
“Mas ini NU apa Muhammadiyah?”
Setelah diam sejenak saya menjawab, “Saya Islam, Pak.” Suara saya
datar-datar saja.
“Lha, iya. Tapi apa Mas ini NU?”
“Saya tidak NU, Pak,” sambil menggeleng.
Dia mengangguk-anggukan kepalanya. Sulit saya tafsirkan apa yang ada dalam
benaknya. Kepalanya disandarkan, matanya agak terpejam. Saya meneguk air lagi,
segar menjalar.
“Saya juga tidak Muhammadiyah, Pak.”
Dia kaget dan dengan serius dia bertanya.
“Jadi Mas ini aliran apa?”
Saya agak rikuh menjawabnya. Saya baru kenal bapak ini di sini, di kereta
api ini dan sepagi ini sudah ditanya soal aliran dalam agama. Saya sendiri
sejujurnya bukanlah NU, bukan Muhammadiyah, bukan Persis.
Petugas restorka mendekat. Tangan kirinya dengan setimbang mengusung nampan
minuman. Saya membeli teh panas setelah berbasa-basi dengan teman ngobrol saya.
Dia tidak membeli apa-apa. Dikeluarkannya botol plastik yang berisi minuman
kuning-coklat dari tasnya.
“Saya Islam saja, Pak.” Teh pun saya seruput, terasa panas di lidah sambil
otak terus berpikir-pikir apa pertanyaan bapak ini selanjutnya. Di kejauhan di
ufuk timur, di atas bukit itu, sinar kemerahan mulai tampak. Suasana tambah
ramai. “Ular baja” yang saya tumpangi berguncang-guncang dan terompetnya sesekali
memekik.
“Mas, kita harus punya aliran. Supaya jelas agama kita,” katanya.
“Ooo...,” cuma itu yang keluar dari mulut saya. Tak kuasa saya melanjutkan
obrolan itu. Saya memilih mengagumi lembayung di ufuk yang mulai bercahaya.
Kami diam. Saya diam, bapak itu membaca korannya. Tapi pikiran saya ramai, jauh
lebih ramai ketimbang deru kereta. “Apakah harus saya jawab,” batin saya.
Lantas, pilih yang mana?
Selamat bermuktamar NU dan
Muhammadiyah. Dua ormas yang berperan besar dalam kemerdekaan Indonesia, lewat
tokoh-tokohnya. Pada masa itu, ulama juga menjadi politisi. Tetapi, mereka
benar dalam berpolitik. Lurus di pentas pengaturan negara. Tidak ada dikotomi
dalam seorang manusia yang menjadi ulama (berilmu agama) dan menjadi politisi.
Mereka bagai uang bersisi dua. Idealnya, ulama adalah politisi, politisi pun hendaklah
berilmu agama. Ulama yang intelek, intelek yang ulama, bukan intelek yang sekadar
tahu ilmu agama.
I
love you, NU, love you Muhammadiyah. May Allah bless and save you. *
Tampak, betapa kedua tokoh pendiri Muhammadiyah dan NU di atas adalah bersaudara. Keduanya belajar pada Kyai Cholil di Bangkalan, Madura.