Pamali Untuk Restorasi Ekosistem
Koran Pikiran Rakyat, 4 Juni 2021
https://osf.io/psdvq/
Restorasi Ekosistem (Ecosystem Restoration) adalah tema
peringatan Hari Lingkungan Sedunia 5 Juni 2021. Ekosistem adalah sistem
ekologi, yaitu hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup
lainnya dan dengan makhluk tak hidup (abiotik). Restorasi memiliki makna pemulihan,
perbaikan, menjadikan seperti sedia kala. Restorasi ekosistem adalah upaya
memulihkan kerusakan tempat hidup tumbuhan, hewan, manusia dan saling
kebergantungannya menjadi lebih baik (seperti semula).
Kerusakan tersebut terjadi karena eksploitasi
air, tanah, pasir, batu, batubara, minyak, gas sehingga berdampak pada kerusakan
ekosistem hutan, sungai, danau, laut. Dari mana restorasi dimulai? Restorasi
dimulai dari tataruang dengan dua pendekatan, yaitu kultur dan struktur. Kultur
mengacu pada tataruang berbasis budaya, adat istiadat. Struktur mengacu pada
tataruang yang dikemas oleh pemerintah dan DPR(D) di dalam undang-undang atau
peraturan daerah.
Kultur
Menurut Murtiyoso (1994) yang dikutip
oleh Johan Iskandar di dalam buku Manusia dan Lingkungan (2014), masyarakat
Sunda mengenal tataruang yang dilarang dijadikan permukiman, yaitu lahan sarongge (lahan angker), lemah sahar (tanah sangar), sema (kuburan), catang ronggeng (lahan curam), garenggengan
(lahan kering berlumpur), dangdang
wariyan (lahan cekung), lemah laki
(lahan tandus), kebakan badak
(kubangan), hunyur (bukit kecil), pitunahan celeng (habitat babi), kalomberan (comberan), jarian (tempat sampah).
Begitu pula kearifan lokal seperti gunung
kaian, yaitu biarkan gunung ditumbuhi
oleh pepohonan agar oksigen semakin banyak dan air hujan diresapkan ke dalam
tanah untuk cadangan air pada musim kemarau dan mencegah banjir-erosi pada
musim hujan. Gawir awian bermakna tanami
tebing dengan bambu, bagai aur dengan tebing, agar tidak longsor. Daratan imahan, manfaatkan lahan datar untuk
permukiman. Susukan caian, parit dan
selokan sebagai penyalur air hujan. Sungai pun dirawat, walungan rawateun, seperti upaya restorasi Citarum sekarang. Legok balongan, lahan cekung (rendah) sebagai
kolam retensi atau wetland, bukan
permukiman. Jika tidak demikian maka penduduk yang tinggal di daerah cekung akan
rutin kena banjir setiap musim hujan.
Selain tataruang menurut kultur,
masyarakat Sunda juga mengenal istilah tabu atau pamali. Pamali adalah
pantangan bagi setiap orang untuk berbuat buruk kepada lingkungan. Contoh,
pamali makan burung yang ngagaludra,
yaitu burung yang dua jari kakinya ke depan dan dua ke belakang pada waktu
bertengger di ranting pohon, seperti elang dan alap-alap. Burung ini menjaga
kesetimbangan ekosistem karena sebagai predator tertinggi di dalam rantai
makanan. Apabila burung ini punah maka hama tikus dan bajing semakin banyak di
lahan pertanian.
Ada juga pamali menebang pohon beringin,
kiara, dan teureup. Pamali ini terbukti
mampu melindungi berjenis burung, serangga, dan mamalia kecil sehingga
berkembang biak. Pohon tersebut pun dapat meresapkan air hujan dan mengeluarkan
air sedikit demi sedikit sepanjang tahun yang disebut mata air (cai nyusu).
Tentu saja tafsir atas pamali tersebut
tidak bisa dipahami secara harfiah. Perlu dikaitkan dengan adat istiadat,
budaya, dan kepercayaan pada masanya. Yang diambil dari pamali adalah spiritnya
dalam melestarikan fungsi lingkungan sebagai tempat hidup, sumber makanan,
minuman, pekerjaan, dan hubungan sosial kemanusiaan.
Namun demikian, pada zaman 4.0 ini masyarakat
tidak mudah percaya pada pamali. Oleh sebab itu, perlu disandingkan dengan kajian
ilmiah dan peraturan pemerintah. Bisa juga dikaitkan dengan ayat-ayat di dalam
kitab suci agama perihal kerusakan lingkungan.
Struktur
Upaya restorasi tidak akan optimal tanpa
peran pemerintah dalam hal pelaksanaan, pengawasan dan pendanaan. Gerakan
Citarum Harum misalnya, upaya sekarang ini lebih berhasil daripada dulu pada
masa gerakan Masyarakat Cinta Citarum dan Program Kali Bersih (Prokasih). Memang
restorasi bisa saja dilaksanakan oleh ormas, parpol, kampus, bahkan oleh
individu seperti Mak Eroh dan para penerima hadiah Kalpataru. Tetapi hasilnya
tidak sinambung. Biaya, ilmu dan teknologi, serta keamanan menjadi kendala.
Hanya gerakan resmi pemerintah saja yang
berpeluang besar pada keberhasilan restorasi. Ada peraturan dan ada penegakan
hukum. Sudah banyak ada undang-undang dan peraturan daerah. Sudah banyak kasus
hukum disidangkan di pengadilan. Tetapi penegakan hukum lingkungan belum
sepenuhnya terwujud. Belum muncul efek jera. Pelanggaran hukum dan kerusakan
lingkungan terus terjadi. Sebagai contoh dalam gerakan Citarum Harum, tim
satgas seperti kucing-kucingan dengan pemilik pabrik yang air limbahnya
mencemari sungai.
Pendekatan stuktur berbasis peraturan
pemerintah tersebut akan optimal apabila harmonis dengan kultur kearifan lokal
seperti slogan mipit kudu amit jeung
ngala kudu menta: memungut, meramu, mengubah, memanfaatkan alam harus
meminta izin kepada pemerintah berdasarkan hukum positif. Adapun selama ini pembangunan
kurang menghargai kultur kearifan lokal. Misalnya, lahan yang pamali dibangun
justru oleh pemerintah diberi izin lingkungan dan izin mendirikan bangunan.
Akibatnya terjadi rebutan membangun permukiman dan kawasan komersial di lahan
kritis. Bahkan sampai ke lahan curam (catang
ronggeng), sempadan sungai, empang, dan situ habis dijadikan daratan.
Agar program pemulihan ekosistem ini berhasil
maka harus ada senyawa antara pendekatan kultur dan struktur sehingga ekosistem
bisa diperbaiki sedikit demi sedikit sampai akhirnya pulih atau mencapai batas
maksimal yang mampu diperbaiki. Teoretisnya, semua ekosistem bisa dipulihkan
asalkan optimal dalam memanfaatkan kearifan lokal yang disertai kajian ilmiah dan
bersanding harmonis dengan pendekatan struktural yang sesuai dengan prinsip
konservasi dan restorasi ekosistem.*