• L3
  • Email :
  • Search :

23 Agustus 2025

Pengelolaan Air Limbah Domestik Tantangan dan Peluang

Pengelolaan Air Limbah Domestik: Tantangan dan Peluang

Oleh Gede H. Cahyana

Dosen Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan RI

Kapasitas sedia (idle capacity) Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Indonesia adalah 89%. Kapasitas sedia Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) domestik adalah 51%. Data tersebut merujuk pada program hibah sanitasi 2023 Kementerian PPN/Bappenas. Dengan kata lain, hanya 11% kapasitas IPLT dan 49% kapasitas IPAL domestik yang sudah dimanfaatkan.

Data lain menyatakan bahwa akses sanitasi layak pada akhir 2023 adalah 82,36% (Bappenas, 2024). Sedangkan akses sanitasi aman 10,25% (BPS, 2024). Target RPJMN sanitasi layak tahun 2030 adalah 100% dan sanitasi aman 53,7%. Disebut aman (safely managed) apabila sudah menggunakan alat plambing kloset leher angsa, tangki septik yang rutin disedot kemudian diolah di IPLT atau kloset yang bersambung ke pipa riol menuju IPAL.

Analisis data kapasitas sedia IPLT dan IPAL dengan akses sanitasi aman menyimpulkan bahwa persentase riil sanitasi aman sesungguhnya lebih kecil daripada 10,25%. Besarnya kapasitas sedia menjadi indikasi bahwa sedikit sekali rumah (gedung) yang menyedot tangki septiknya untuk diolah di IPLT. Atau periode riil penyedotannya jauh lebih lama daripada periode desainnya. Juga sedikit rumah (gedung) yang menyalurkan air limbahnya ke riol untuk diolah di IPAL. Kedua kondisi tersebut adalah tantangan untuk meningkatkan persentase layanan sanitasi aman.

Tantangan

Kapasitas sedia yang besar dan akses sanitasi aman yang kecil berkaitan dengan sejumlah sebab seperti kecermatan desain, karakteristik sosial, budaya, ekonomi masyarakat. Sebab-musabab ini adalah tantangan untuk dioptimalkan.

Sebab pertama, metode proyeksi jumlah penduduk tidak absah (valid) pada waktu mendesain IPLT atau IPAL. Hal ini terjadi karena variasi pertambahan jumlah penduduk duapuluh tahun terakhir tidak menghasilkan metode proyeksi yang tepat. Alternatif metode di antaranya adalah aritmetika, geometri, eksponensial, logaritmik, least square, decreasing rate of increase, logistic.

Sebab kedua, hanya sedikit tambahan pelanggan baru yang berhasil diraih. Masyarakat tidak berminat berlangganan koneksi air limbah karena merasa lebih murah menggunakan tangki septik. Masyarakat juga tidak rutin menyedot tangki septiknya sehingga mengurangi ritasi truk tinja ke IPLT. Juga karena masih ada rumah yang menggunakan pipa “bazoka” untuk membuang air limbah klosetnya ke sungai atau selokan.

Sebab ketiga, zone pelanggan potensial air limbah perpipaan sedikit sehingga tidak menguntungkan apabila dibangun jaringan riol. Zone potensial ini adalah kawasan perdagangan, perkantoran, wisata, hotel, dan perumahan (mewah). Bisa juga karena pelanggan potensial tersebar berjauhan sehingga pipa riolnya menjadi panjang dan mahal. Akibatnya, banyak pelanggan potensial tidak bisa dilayani.

Sebab keempat, pembangunan perumahan, perdagangan, perkantoran tidak selaras dengan RTRW dan tidak memperhatikan topografi. Lokasi IPAL haruslah di elevasi rendah di dekat sungai sedangkan lokasi IPLT bisa lebih fleksibel. Sebuah kota bisa memiliki lebih dari satu IPLT dan IPAL. Daerah yang relatif datar membutuhkan banyak pompa sehingga biaya pembangunan, operasional dan pemeliharaannya menjadi lebih mahal.

Sebab kelima, biaya pembangunan prasarana dan sarana air limbah domestik jauh lebih mahal dibandingkan dengan air minum per kapasitas yang sama. Selain pipa riolnya yang besar juga perlu bangunan seperti manhole, drop manhole, ventilator, terminal clean out, siphonage (sifon), bak gelontor, dll. Sebagai contoh, jembatan pipa air limbah harus diubah menjadi sifon apabila melintasi sungai atau rel kereta api.

Selain kapasitas aspek penting lainnya adalah kualitas air limbah. Kualitas memerlukan unit proses dan operasi yang tepat terutama untuk mengolah air limbah yang banyak berisi zat kimia untuk bebersih kamar mandi dan kloset. Mayoritas IPAL lebih fokus pada reduksi senyawa karbon yang diukur dengan angka BOD atau COD. Sedangkan pencemar nitrogen dan fosfat belum menjadi perhatian untuk diolah secara khusus.

Di tengah beratnya tantangan membangun dan mengelola air limbah domestik tentu ada peluang pemanfaatan hasil olahan IPLT dan IPAL.

Peluang

Dua singkatan IPLT dan IPAL menunjukkan bahwa ada dua jenis air limbah domestik. Acuannya adalah MCK (mandi, cuci, kakus). Air limbah mandi, wudhu, cuci tangan, piring, baju, beras dan sayur disebut air bekas-guna (grey water). Air limbah kakus dan air seni (urin atau air kencing) disebut air kotor (black water). Kedua jenis air limbah tersebut adalah peluang ekonomi.

Peluang bisa diperoleh dari tantangan dengan cara mempelajari ilmu, teknologi, dan pengalaman negara lain. Praktik mengubah limbah menjadi bernilai tambah sudah dilakukan. Waste for one is added value for another. Limbah kakus misalnya, merujuk pada buku Guidelines for the safe use of wastewater and excreta in agriculture and aquaculture, ditulis oleh Duncan Mara dan Sandy Cairncross (WHO, 1989) dapat dijadikan pupuk pertanian dan kolam ikan.

Pada masa Edo di Jepang (1600–1868) limbah kakus didaur ulang untuk pupuk padi dan sayur. Merujuk pada Night Soil in Edo: Ingenious Recycling of Human Waste oleh Eisuke Ishikawa (1998) ada 3K, yaitu kusai, kitanai, kitsui: stinky, dirty, severe atau bau, kotor, parah/berat yang menantang penduduk Edo. Jumlah penduduk Edo pada akhir abad ke-18 antara 1–1,2 juta orang. Setiap orang membuang 600 liter tinja/tahun sehingga menjadi 600.000 – 700.000 kiloliter/tahun atau setara dengan 70.000 truk berkapasitas 10 ton. Jual beli tinja di Edo berlangsung hingga akhir Perang Dunia II. Demikian juga di China, India, Meksiko, Tunisia, Guatemala, Amerika Serikat, dan Jerman.

Fakta tersebut sebagai informasi bahwa tinja sudah lama dimanfaatkan untuk pertanian, perkebunan, perikanan. Identifikasi masalah yang muncul adalah penyakit akibat bakteri dan cacing. Infeksi patogen bisa dikurangi apabila yang digunakan adalah lumpur olahan IPLT atau IPAL. Artinya, cara lama di Edo diubah dengan cara baru yang lebih higienis dan saniter.

Sepatutnya setiap kabupaten/kota memiliki IPLT dan IPAL dan menyiapkan organisasi pengelolanya. Sekarang ada 13,4% pemerintah daerah yang sudah memiliki lembaga layanan air limbah domestik dalam bentuk UPTD, PD atau BUMD. Yang sudah memiliki operator adalah DKI Jakarta, Kota Bandung, Kota Surakarta, Kota Denpasar dan kabupaten/kota lainnya. Sebagai contoh praktik baik adalah Perumda Paljaya di DKI Jakarta.

Paljaya rutin menambah peluang pendapatannya. Daerah layanannya diperluas ke kawasan perdagangan dan perkantoran. Paljaya sudah memiliki jaringan pipa riol dan IPAL Krukut dan Setiabudi. Paljaya juga menambah peluang pasarnya ke kawasan wisata Ancol. Dengan pelanggan hampir 500 tenant, Ancol bisa menjadi sumber pendapatan. IPAL Ancol khusus mengolah air limbah dari semua penyewa (tenant) dengan kapasitas 4.000 m3/hari. Praktik tersebut bisa diikuti oleh daerah lain dengan menyasar perdagangan, perkantoran dan daerah wisata.

Akhir kata, air dan sanitasi (sampah dan air limbah) adalah hak asasi manusia. Tidak hanya sebagai kewajiban, pemerintah daerah juga bisa memperoleh pupuk dari olahan IPLT dan IPAL. Sudah waktunya mengubah tantangan air limbah menjadi peluang ekonomi. Apakah pemerintah pusat dan daerah berminat menciptakan wirausaha sanitasi dan menaikkan citra lumpur olahan IPLT dan IPAL?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar