Bandung sedang ramai. Tak hanya orang luar Bandung yang meramaikannya ketika libur panjang, tapi juga kalangan pemerintah. Betul-betul “ramai”. Riuh rendah dalam keheningan, tak ada “debat” terbuka secara langsung. Tetapi itulah “etika” (mungkin) sebagai sesama “orang Timur”.
Pikiran Rakyat, dua pekan terakhir ini, memuat “debat senyap” itu. Dilatari itulah lantas muncul tulisan ini, dimuat di PR pada Selasa, 22 Mei 2007. Semoga bermanfaat.
***
Di tengah “perdebatan hening” antara Pemkot Bandung dan Pemprov. Jawa Barat tentang penanganan sampah Bandung, tampaklah selisih persepsi dalam menyikapi soal sampah. Yang satu ingin menerapkan idenya berupa Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS, atau sekarang ditambah subscript a, menjadi PLTSa, mungkin sebagai pembeda dengan PLT Surya yang lebih dulu hadir di Indonesia) sedangkan pihak satunya lagi ingin segera menuntaskan masalah sampah yang terus berlarut-larut itu. Pihak kedua memilih metode konvensional yang relatif ramah lingkungan, yaitu Sanitary Landfill (sanfil) dengan cara revitalisasi Leuwigajah dan hendaklah didukung oleh jejaring atau sistem dekonsentrasi composting (spread composting system).
Telisikan menegaskan, kedua pihak memiliki tujuan yang sama, yaitu menyelesaikan masalah sampah Bandung. Hanya saja, ada beda pandangan dan juga (barangkali) beda kepentingan terhadap sampah jika dilihat dari sudut investasi, putaran uang, dan projek serta upaya pemberdayaan masyarakat, dalam hal ini warga yang terkait dengan sampah seperti pemulung, kolektor, dan petugas kebersihan. Di satu sisi juga muncul dugaan sebagai projek mercusuar demi harapan politis yang dijadikan posisi tawar pada pesta demokrasi kelak. Tak bisa dimungkiri, dugaan seperti itu memang diperbincangkan di kalangan aktivis lingkungan dan juga di dunia akademis.
Berapa pun jumlah pihak yang “bertikai” dalam cara pandang atas masalah sampah di Bandung Raya, sebetulnya akan menjadi sepaham dan setujuan jika berpijak di lantai yang sama, yaitu Trilogi dan Kuadran PLTSa. Dua kompartemen ini tak bisa dinafikan begitu saja kalau membicarakan masalah sampah. Yang pertama ialah Trilogi Pendidikan yang terdiri atas sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment). Apalagi sudah sangat jelas Pemkot Bandung merilis program Mulok Pendidikan Lingkungan Hidup. Jangan sampai terjadi kontradiksi dan kontradidaktik pada kedua program tersebut. Jika tidak, anggapan munafik akan lantang ditiupkan oleh berbagai pihak di tatar Bandung ini.
Trilogi tersebut serupa dengan segitiga sama sisi. Sisi pertama adalah sains yang menjadi “sumber air” imajinasi. Imajinasi harus dilatari oleh riset yang independen dan ini biasa dilaksanakan di kalangan kampus (tapi faktanya, tidak semua riset akhirnya independen karena ada “sesuatu” yang menyebabkan periset “manaati” alur pemberi dana hibah). Dengan acuan ini, kebijakan persampahan pun wajiblah mengikuti pola dan hasil riset dari kampus atau lembaga riset lainnya. Sisi kedua ialah teknologi. Teknologi tanpa sains seperti pohon tanpa akar. Ia tumbang, umurnya tak lama karena lemah pondasinya. Menangani sampah pun hendaklah didasarkan pada aspek teknologi yang berbasiskan kekuatan sains. Tak hanya itu, aspek ketiga yaitu lingkungan justru menjadi mata rantai penyambung apakah suatu teknologi yang dilatari sains itu layak direalisasikan ataukah berhenti di tataran teoretis saja.
Oleh sebab itu, andaikata Pemkot Bandung memandang sampah dari sisi sains, maka semua kajian tentang sampah dari berbagai sudut ilmu harus dibuat komprehensif, tak tergesa-gesa. Pertimbangan kedua, aspek teknologi. Betulkah teknologi yang akan diterapkan itu menjadi pilihan terbaik (tertepat) di antara opsi teknologi yang tersedia? Suatu teknologi yang layak di sebuah daerah belum tentu layak di daerah lain. Yang sukses di negeri manca belum tentu sukses jika diaplikasikan di negara kita. Banyak aspek perbedaan dan studi komparasi yang harus dilaksanakan sebelum sampai pada kesimpulan pilihan teknologi. Makanya, diharamkan sifat egosentris individual maupun kelompok dan sebaliknya mendukung kemaslahatan bersama, kebaikan untuk semua orang, tak hanya orang per orang dalam lingkaran grup dan projek tersebut.
Pertimbangan lingkungan adalah aspek ketiga. Mau tak mau, ketika slogan peduli lingkungan ditiupkan di mana-mana, ketika pejabat Pemkot Bandung meneriakkan semboyan cinta lingkungan, tetapi kalau praktiknya justru sebaliknya, pasti menurunkan kepercayaan masyarakat atas niat baik Pemkot Bandung. Apalagi Bandung, seperti diungkap di atas, menjadi pionir pendidikan lingkungan hidup yang sekarang sudah pula dijadikan muatan lokal oleh Pemprov. Jawa Barat. Tepat pada Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2007 lalu, gubernurnya meresmikan pemberlakuan Mulok PLH di seluruh sekolah dalam wilayah geopolitiknya.
Lantas, mengapa Pemkot Bandung bergeming, malah berprinsip the show must go on? Kenapa harus demikian? Padahal PLTS (atau PLTSa) betul-betul tidak bersahabat dengan lingkungan. Antilingkungan. Antiekologi. Ada banyak hal negatif dalam jangka panjang, bahwa PLTS (PLTSa) akan membahayakan populasi, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Tak hanya itu, kerusakan material seperti properti, rumah, kendaraan, dll pun terjadi. Deraan psikologis pun bisa menjalar ke semua orang ketika “pabrik” pengolah sampah itu beroperasi.
Ada pertanyaan besar, mengapa dukungan Bappenas dijadikan alasan untuk mewujudkan PLTS (PLTSa) itu? Apakah mereka kompeten menilai sisi potensi bahayanya ataukah sekadar donatur konstruksinya saja? Yakinkah mereka bahwa PLTS atau PLTSa itu bersahabat dengan lingkungan (enviro-friendly)? Anak SD pun tahu, membakar sampah bukanlah tindakan yang baik. Selain bahaya, juga polusi. Pencemaran udara! Apalagi membakar sampah sekota, satu kota besar, selama 24 jam nonstop selama bertahun-tahun. Bisakah ini disebut peduli lingkungan? Terang bak mentari siang, PLTSa berlawanan dengan tujuan Mulok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH). Secara detil hal tersebut sudah dikupas dalam artikel berjudul “PLTS versus PLH” (PR, 10/2/07).
Kuadran PLTSa
Sudah rahasia umum, dalam setiap projek selalu dibuat analisis dan evaluasi atas dampaknya terhadap manusia dan lingkungan. Itu sebabnya, muncullah konsep Amdal. Setuju tak setuju, manusia pasti dipengaruhi oleh lingkungan dan lingkungan pun dipengaruhi oleh manusia. Begitu pula PLTS (PLTSa), ia bisa dikaji dari sudut ini, yang disebut Kuadran PLTSa. Ada empat kuadran yang mesti dievalusi sebelum implementasi sebuah teknologi. Yang pertama ialah kuadran P (People), berkaitan dengan manusia sebagai makhluk utama di planet ini. Berkaitan juga dengan makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan sehingga disebut juga kuadran P (Population). Sudahkah ini dipertimbangkan secara sosial, budaya, habitasi, geologi, geografi, ekonomi dan ekologi?
Kuadran berikutnya ialah L atau Landfill. Poin ini termasuk sebagian dari konsep Cradle to Grave, lahir ke kubur. Merujuk pada istilah ini, semua sampah hendaklah dialihkan ke asalnya lagi, yaitu tanah. Malah semua makhluk hidup berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tentu saja pada beberapa jenis sampah harus didahului oleh proses awal (pretreatment), perlu penanganan spesifik sebelum layak dibenamkan di dalam tanah, seperti sampah berbahaya-beracun (hazardous wastes). Peraturan atau aspek legal jenis sampah ini pun sudah kita miliki dan bisa dinilai secara sainstifik. Singkatnya, kembalikanlah sampah ke asal-muasalnya, yaitu ke landfill dan composting yang juga berujung di tanah (pupuk tanah).
Yang ketiga, kuadran T, yakni Treatment, berkaitan dengan jenis pengolahan yang sebaiknya diakomodasi. Runtutannya menuju sisi sains dan lingkungan dari Trilogi Pendidikan di atas dan harus dikembalikan ke spirit asal pembelajaran (khususnya di kampus atau universitas). Treatment atau kuadran pengolahan ini banyak variasinya, malah tak terhitung jika setiap variasi dan modifikasi teknologinya diperhitungkan sebagai sebuah peluang pengolahan.
Untungnya, ada kuadran terakhir yang justru menjadi acuan dalam memutuskan jenis pengolahan atau teknologi yang diadopsi itu, yaitu kuadran S atau Sa (Safety). Keamanan menjadi poin terpenting dalam hidup manusia. Tak seorang manusia pun ingin ancaman. Seorang pendaki tebing, seorang peterjun payung, seorang penyelam samudra dll pasti ingin aman ketika beraktivitas. Sebahaya apapun suatu aktivitas, maka aspek keamanan menjadi nomor wahid. Jika demikian, sudahkah teknologi yang bakal diterapkan itu tinggi keamanannya? Bersahabatkah dengan lingkungan dan mengedepankan kemaslahatan bersama?
Wajib diingat, tak ada satu teknologi pun yang layak disebut “kecap nomor satu di dunia”. Semuanya punya kelemahan. Tak ada satu pun cara instan yang bisa menyelesaikan sampah Bandung. Semuanya berproses secara alami, perlu waktu. Justru ketika “times series”-nya dilanggar, misalnya dipercepat, maka hasilnya adalah “perkosaan” atas fungsi lingkungan. PLTSa pun menjadi upaya “perkosaan” atas fungsi lingkungan karena aksi membakar sampah kota. Instan, memang. Namun budaya dan teknologi instan itu bakal menyesatkan target solusi, seperti orang yang tersesat ketika mengambil jalan bypass di hutan rimba, tak hendak menuruti jalan setapak yang biasa dilalui orang. Ingin sesuatu yang lain tetapi menjerumuskan. Indah dalam imajinasi tetapi penuh belukar onak duri saat dilewati.
Akhir kata, penerapan teknologi tanpa kajian sains yang mendalam alias instan akan menjadi perusak lingkungan. Dari tiga sisi segitiga dalam trilogi tersebut dan empat Kuadran PLTSa itu, semuanya harus dipedulikan. Terlebih lagi manusia hidup di tengah perkembangan sains, teknologi dan lingkungan. Kita betul-betul bergantung pada sains, pada teknologi, dan pasti... pada lingkungan. Maka, akankah tetap meneruskan rencana PLTS atau PLTSa itu?
Mari jadikan Bandung dan khususnya Pemkot Bandung sebagai kota dan pemerintah daerah yang enviro-friendly. Sekarang juga, sebelum terlambat! *
Gede H. Cahyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar