• L3
  • Email :
  • Search :

23 Agustus 2008

Untuk Walikota "Baru"

Tribun Jabar


Usai sudah hajatan pemilihan langsung walikota Bandung. Pasangan Dada Rosada dan Ayi Vivananda hadir sebagai pemenang. Ucapan selamat sekaligus “wanti-wanti” dan kehati-hatian dalam melaksanakan amanah warga Bandung patutlah diberikan. Apa yang akan terjadi lima tahun ke depan di tatar Bandung, hanya Sang Mahatahu yang paham. Rencana pembangunan lima tahun ke depan memang bisa dikonsepkan oleh walikota “baru” dibantu timnya. Namun demikian, prediksi perubahan sosial, ekonomi, lingkungan, dan politik, termasuk geliat agama bersifat cair dan labil sehingga beragam perubahan kondisi mungkin saja terjadi pada pra dan pasca pemilu 2009.

Lepas dari semua itu, sebagai pasangan yang diberikan kepercayaan lebih banyak oleh warga Bandung ketimbang dua pasangan lainnya, wajarlah diapresiasi. Patut pula dicermati, dari sekian persen pemilihnya, tentu dilatari oleh maksud dan tujuan yang berbeda. Begitu pun pemilih pasangan kedua dan ketiga, pasti bermaksud dan tujuan yang khas masing-masing. Ada yang memilih lantaran keterikatan keluarga, keterkaitan partai politik, kesukuan, agama, ke-PNS-an, keormasan, keolahragaan, ekonomi, bantuan program pemerintah dan banyak lagi alasan lainnya. Bahkan ada yang memilih karena walikota punya program PLTSa, terutama orang yang terkait dengan projek ini seperti pengusaha, tim ahli, desainer, supplier, vendor, calon karyawan, dll.

Berkaitan dengan poin terakhir itu, saya menyarankan walikota untuk mengurungkan niatnya membuat PLTSa. Orang terawam sekalipun pasti tahu bahwa membakar sampah lebih bahaya daripada mengurugnya. Sampah karet, ban, plastik, logam bercat warna-warni dan beracun akan menguap dan mencemari udara Bandung. Tetapi kalau diurug, polusinya tak terjadi. Polusi akibat urugan sampah hanya pada aspek dekomposisi anaerobik yang melepaskan CO2 dan CH4. Namun kalau dibakar, selain timbulan CO2, semua plastik, kaleng, cat, batere, aki, karet, ban, dan logam lainnya berubah menjadi gas dan partikulat kemudian mencemari udara Bandung selama-lamanya.

Kepulan pencemar itu mengancam kesehatan fisik warga Bandung, juga mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan kejiwaannya. Polusi memicu sakit kejiwaan dan sosial lantaran ekses lingkungan, perubahan perilaku, pelayanan kesehatan yang belum optimal, dan faktor bawaan (keturunan). Di antara faktor ini, lingkunganlah yang terbesar efeknya pada kesehatan. Relasi lingkungan dan manusia intensif terjadi dan saling mempengaruhi. Kalau tak terkendali, perusakan lingkungan akibat polusi air, tanah, dan udara otomatis menurunkan kesehatan, menghilangkan kenyamanan hidup, memperluas tekanan sosial dan ekonomi.

Satu contoh tekanan ekonomi dan sosial ialah krisis air minum. PLTSa rakus menyedot air dan banyak membuang limbah padat sisa bakaran, lantas merusak stabilitas udara dan mencemarinya dengan SOx, NOx, CO2, dioksin, uap logam, dan gas lainnya. SOx dan NOx melecut hujan asam, merusak bangunan, mengorosi logam, pagar, mobil, ekosistem, pertanian dan hutan. Kepulan asap PLTSa mengandung bahan berbahaya – beracun, kuat toksiknya dan terjadi bioakumulasi di tubuh hewan dan manusia. Sebaran lewat udara cepat meluas akibat tiupan angin, menjangkau seluruh cekungan Bandung. Akibatnya, warga Bandung yang golput dan yang tidak, semuanya menghirup zat beracun, memakan makanan dan meminum air yang terkontaminasi, terpapar lewat pernapasan, mulut dan kulit.

Dampak terburuknya berupa cacat fisik dan kematian, bergantung pada dosis pencemar dan waktu pajanannya. Penyakit non-infeksi yang terjadi ialah cacat organ, kanker, darah tinggi, asma, cacat bayi, lemah mental, gangguan pertumbuhan fisik dan psikis, lemah intelegensi (idiot). Semuanya bisa bersifat permanen, tak dapat disembuhkan seperti sedia kala sehingga muncullah generasi tak produktif, depresi, bertekanan mental. Kepulan asap rokok saja dapat merugikan kesehatan sehingga Komnas HAM pun sampai meminta fatwa haram atas rokok kepada MUI, apalagi asap PLTSa yang jauh lebih bahaya dan beracun, bahkan bisa “dirokok” oleh bayi yang baru lahir lewat hidung mungilnya.

Kalau dikaitkan dengan pilwalkot, bisa diduga sedikit warga yang memilih walikota “baru” karena alasan akan membuat PLTSa. Andaikata pemilih “jenis ini” tahu dampak buruk PLTSa, bisa dipastikan mereka tak bakal memilihnya. Mereka memilih karena ada kepentingan bisnis, projek, supplier, desainer, calon karyawan, dll. Juga patut dicatat, Bandung berbeda dengan Singapura. Di negara pulau ini polusi udara akibat PLTSa tidak mengambang di langit Singapura tetapi menyebar ke Indonesia dan Malaysia akibat hembusan angin. Di Bandung tidak demikian, kepulan gas beracun lepasan PLTSa terus berputar-putar di udara Bandung sambil menebar maut. Hewan liar, ternak, sayur, padi, cabe, cengek, kol, buncis, jambu, pepaya dan semuanya terpolusi lalu polutannya masuk ke tubuh orang Bandung.

Lewat tulisan ini semoga walikota “baru” memperbarui niatnya demi kesehatan fisik, psikis, ekonomi, dan sosial warga Bandung dengan cara mengalihkan rencana PLTSa ke program lainnya, yakni 7R (reduce, reuse, recycle, replace, recovery, relocation, dan responsible) dan pengomposan dengan hati lapang dan sabar. Pembiasaan tak bisa instan. Orang yang biasa merokok dan membuang puntungnya sembarangan tentu butuh waktu agar terbiasa tidak merokok. Kalaupun ia merokok, terbiasa meletakkan puntungnya di asbak setelah baranya dimatikan pun perlu pembiasaan.

Akhir kata, selamat melaksanakan amanah sebagai walikota. Menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, hendaklah pejabat (pemimpin) menjadi the servant leader, pemimpin (pejabat) pengabdi (pada warganya, khususnya kelompok lemah, miskin, dan marjinal). Ulama sering berkata, pintar-pintarlah meniti buih agar selamat badan sampai ke seberang. Diawali oleh bahagia, semoga diakhiri juga oleh bahagia, meskipun ujungnya, dan ini berlaku bagi semua orang, adalah berkalang tanah. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar