Konon, senyum permaisuri nan cantik amat menawan, bak untaian zamrud khatulistiwa. Memukau Sang Raja, hulubalang dan rakyatnya. Sayangnya, ia hanya tersenyum sekali saja, yakni saat penobatan suaminya menjadi raja. Agar tersenyum lagi, Sang Raja dibantu oleh hulubalang dan penasihatnya mencari akal. Keputusannya, bunyikan genderang perang di tengah sunyi malam. Benarlah, Sang Permaisuri tersenyum manis melihat kehebohan rakyat menyambut bunyi genderang perang. Sebaliknya, rakyat bersungut-sungut sembari masuk serambi rumahnya ketika menyadari genderang itu hanya untuk memuaskan keinginan Raja, hulubalang dan penasihatnya.
Sekian bulan kemudian, ketika benar ada serbuan musuh dari delapan penjuru angin, genderang perang pun ditabuh. Bertalu-talu. Istana dikepung. Namun terlambat. Tak ada rakyat yang bangun karena pertahanan berbasis massa telah sirna. “Pasti Raja ingin melihat senyum manis permaisuri lagi,” bisik para suami kepada istrinya sambil menggeliat di atas dipan. Kemudian..., kata sahibul hikayat, kerajaan itu - esoknya - telah dikuasai musuh. Pedihnya lagi, musuh itu ternyata kalangan yang berkedok membantu dana pembangunan istana. Rupanya, telah lama dan dengan sabar mereka mengintai aktivitas istana dari rumah-rumah sewaan kecil di sekitarnya.
-*-
Situs jual – rental pulau muncul di internet. Beberapa pulau di NTB, NTT telah beralih kepemilikan, begitu kabar tersiar. Di Mentawai, meskipun dikatakan oleh pemerintah hanya iklan resort, dan Karimun, juga sama. Berita ini sudah lama diketahui media massa, tetapi masih abu-abu, belum jelas kebetulannya, betul atau salah. Dulu pun ada niat pemerintah untuk menyewakan pulau-pulau kecil di nusantara. Yang mengagetkan waktu itu adalah pernyataan pemerintah bahwa “Penyewaan Pulau Akan Buka Lapangan Kerja”. Dengan jumlah, konon 13.677 pulau atau 17.000-an pulau menurut pendapat lain, tersirat keinginan pemerintah untuk menarik investor asing.
Jika lapangan kerja dan uang tolokukurnya, rental pulau ada sisi baiknya, yakni penghasil devisa dan lapangan kerja. Namun potensi buruknya juga muncul. Pernyataan yang menganggap mubazir gugusan nusa kecil itu sungguh keliru karena menyewakannya justru akan memubazirkan dimensi ekologinya pada masa depan. Kendati peruntukannya hanya untuk empat macam kegiatan, yakni sebagai lahan konservasi, budidaya laut, wisata dan perikanan tangkap, namun pengalaman membuktikan lain. Secara teoretis, pembatasan 40% luas pulau yang boleh dibangun dan sisanya untuk kawasan lindung, memang memungkinkan. Tapi siapa yang menggaransinya? Pembabatan hutan di pulau-pulau besar saja sulit dicegah meskipun diawasi ketat apalagi di pulau terpencil.
Jual - rental pulau juga berisiko secara politis, pertahanan keamanan karena memberikan koridor kepada kolonialisme. Tiga aspek signifikan di atas mempengaruhi “ijab - kabul” sewa-menyewa yang melibatkan institusi kenegaraan bilateral. Taruhannya adalah harga diri sebagai negara berdaulat karena sekarang, spionase melintas jelas di depan mata. Bagaimana menjamin keamanan (kamtibmas), mencegah perampokan, pembabatan lahan konservasi dan perompakan? Gerombolan perompak makin leluasa berkelit di antara pulau dan pencuri ikan menghilang di antara seliweran kapal. Saat ini, berapa banyak pencuri ikan yang menggunakan pukat harimau (trawl) di perairan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan lolos begitu saja. Mereka bahkan merambah ke Laut Jawa, laut Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat - Timur. Mungkin kasus yang lebih parah terjadi di Kep. Maluku. Mampukah polisi perairan dan angkatan laut melakukan pengawasan melekat? Terlebih jika kalangan pabean, keamanan dan petugas terkait teledor atau mampu disusupi isu KKN. Jadi, takkan ada sabuk keamanan (security belt).
Jual – rental pulau pun akan membangkitkan pencurian harta karun seperti keramik, arca dan material dari kapal kandas ratusan tahun silam. Siapa penjamin bahwa tidak ada kegiatan ilegal? Di pulau besar yang ramai saja kegiatan ilegal dan asusila sangat marak. Logikanya, di pulau kecil terpencil tentu lebih bebas, lepas dari pantauan polisi dan masyarakat. Berikutnya, kerusakan budaya plus warga setempat menjadi keniscayaan. Di kota saja, tak terhitung jumlah kaum terdidik yang mengadopsi mentah-mentah budaya asing tanpa memilah dan memilih secara selektif. Apatah lagi suku asli yang masih miskin ilmu di pulau itu. Imbas budaya asing yang represif dan akulturasi yang amat kuat bertentangan dengan tradisinya. Selain itu, warga asli hanya akan menjadi buruh dari majikan asingnya, membangun ironi di tanah leluhur. Sepatutnya, mereka diberi ruang hidup merdeka, tak dieksploitasi keterasingannya, dipinggirkan dan dijadikan komoditas wisata belaka. Akan tiba waktunya, budaya asing menjelma menjadi racun lewat perubahan gaya hidup. Warga mengalami gegar budaya (cultural shock) sehingga tak ada cultural belt ataupun cagar budaya seperti yang diharapkan.
Dampaknya akan lebih buruk lagi jika dihubungkan dengan otonomi daerah. Bukan tidak mungkin konflik dapat terjadi antara dua atau lebih kabupaten akibat rebutan pulau. Contohnya, Kep. Seribu dimasukkan ke mana? Apakah ke salah satu kabupaten di Provinsi Jabar, Banten, Lampung ataukah Jakarta? Daerah yang punya pulau kecil akan berusaha “menjualnya” kepada asing dengan selektivitas rendah demi pendapatan asli daerah (baca: kantong orang daerah). Kemudian muncullah “raja-raja” kecil di setiap pulau itu yang jumlahnya ribuan. Malah pada saatnya kelak, rental pulau bergeser menjadi Hak Milik Pulau (jual-beli) seperti disinyalir di internet. Tentu ini menyulitkan pemantauan aktivitas “Sang Raja” di pulaunya. Salah-salah, justru kitalah yang dituduh memata-matai mereka. Berabe banget lah.
Semoga kisah rekaan yang mengawali tulisan ini tidak mewujud di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar