• L3
  • Email :
  • Search :

14 Desember 2009

KTT Perubahan Iklim, Denmark

Di tengah gempuran kasus Bank Century, Presiden SBY muhibah ke Eropa, melawat sepekan, 13 - 20 Desember 2009, dan ikut dalam KTT Perubahan Iklim. Jika buntu, RI berharap menjadi bagian solusi.

Apa yang terjadi di sekitar gedung parlemen Denmark? Panas…, sepanas temperatur politik di Indonesia. Seratusan ribu orang, termasuk aktivis lingkungan, menggelar aksi "Global Day of Climate Action" dengan tujuan mendesak para pemimpin KTT ke-15 Perubahan Iklim agar segera membuat keputusan dalam menangani perubahan iklim. Ini terjadi dua hari lalu di Kopenhagen. Mereka berduyun-duyun dari semua penjuru dunia untuk menyelamatkan Bumi, kalau masih ada waktu, demi tujuh milyar manusia.

Dahsyat. Inilah kata yang pas untuk menilai pertambahan jumlah manusia. Betapa pesatnya perkembangan penduduk Bumi ini bisa dilihat pada jumlah penduduk tahun 1950 yang berjumlah 2,5 miliar. Dalam tempo 55 tahun, yaitu tahun 2005 jumlahnya sudah 6,2 miliar. Dan sekarang, akhir 2009 ini, mendekati kira-kira 7 milyar orang. Kemudian, pada saat yang sama, greenhouse gases seperti karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya terus meningkat lantaran peningkatan penggunaan BBM, zat kimia dan penebangan hutan. Dampaknya adalah kenaikan temperatur rerata Bumi. Ini terbukti. Dekade terpanas di Bumi terjadi pada akhir abad ke-20, yaitu tahun 1990-an. Dan tahun terpanas satu dekade terakhir ini adalah tahun 1998, 2001, dan 2005. Kondisi panas ini akan ajek naik jika tren sekarang terus bertahan atau malah kian parah. Inilah yang akan menimbulkan Global Warming, pemanasan global.

Apa dampak Global Warming itu? Yang sudah diyakini adalah kenaikan muka laut sehingga pulau-pulau kecil terendam bahkan tenggelam, pantai menyempit, intrusi air laut sehingga mengurangi suplai air bersih. Terjadi reduksi luas pulau yang dapat memunculkan masalah kependudukan dan gangguan kesehatan masyarakat karena memicu gelombang panas yang kian parah dan lama paparannya. Pola hujan dan salju pun ikut berubah yang otomatis mengganggu pola suplai air bersih, terutama di daerah yang krisis air. Global Warming dan ledakan jumlah penduduk juga mengancam kekurangan pangan sehingga terjadi eksploitasi lahan baru di gunung, bukit, dan hutan, di dataran banjir, dan di lahan basah. Semuanya terpaksa dieksploitasi demi penyediaan kebutuhan pangan.

Siapa yang bertanggung jawab? Semua orang di Bumilah yang bertanggung jawab. Sebab, setiap orang pasti mengeluarkan CO2 selama hidupnya. Tetapi secara khusus, orang-orang yang hidup di negara-negara industrilah yang sangat banyak menggunakan bahan bakar fosil. Sebetulnya emisi CO2 dari manusia relatif konstan selama 30 tahun terakhir ini. Namun demikian, ada data bahwa emisi orang Amerika Serikat lima kali lebih besar daripada orang Meksiko dan bahkan 19 kali lebih besar daripada orang India. Malah ada data lain yang mengatakan bahwa 20% manusia Bumi yang berada di negara maju justru kontribusinya mencapai 63% dari total emisi. Jika dihitung berdasarkan negara maka Cina memang pengemisi terbesar lantaran jumlah penduduknya terbanyak, walaupun faktanya emisi tujuh orang Cina itu setara dengan satu orang Amerika Serikat. Tujuh orang setara dengan satu orang!

Itulah faktanya sekarang. Barangkali kita tak pernah peduli akan hal itu. Kita acuh tak acuh dan bersikap bahwa itu bukan urusanku. Urusanku sudah banyak dan sudah memumetkan kepalaku. Boleh-boleh saja dan mungkin sangat-sangat banyak yang berpikir demikian. Bumi tenggelam atau tidak, itu bukan urusanku! Urusanku cuma satu, yaitu hidup senang dan gembira selamanya. Andai Bumi ini tenggelam, aku mungkin sudah lama mati dan mungkin cucu-cicitku pun sudah lama pula mati. Buat apa aku stres sekarang? Itu kan masih lama. Demikianlah ungkapan orang-orang yang pernah berdiskusi perihal Global Warming yang saya dengar.

Water World
Bumi tenggelam? Kapan Bumi ini tenggelam? Mari kita kilas balik sebentar ke sinema layar lebar masa lalu, yaitu Water World. Pemeran utamanya adalah Kevin Kostner. Dalam film itu dia dan teman-temannya kehilangan rumah, tanah dan air. Mereka hidup di atas kapal seperti Nabi Nuh. Mereka bertarung melawan kelompok lain untuk mendapatkan sejengkal tanah dan air tawar. Ini terjadi lantaran es di kutub mencair akibat pemanasan global dan air lautnya meluap. Hanya air asin yang ada di mana-mana sehingga sang “Dances With Wolves” itu harus mendaur ulang air kencingnya untuk sekadar minum. Dulu, film buatan tahun 1995 ini mencatat box office, termasuk di Indonesia.

Dari data ilmiah didapat bahwa telah terjadi peningkatan temperatur troposfer (atmosfer lapisan terbawah) sejak awal abad lalu. Lantas hadir sejumlah teori tentang kenaikan muka air laut seperti Teori Lebur (Melting Theory), yakni pencairan “pulau” es di kutub. Data pasang surut di sejumlah negara memberikan gambaran bahwa fenomena itu betul-betul terjadi. Tapi data tersebut hanya memberikan gambaran kondisi setempat yang cenderung bersifat lokal. Ini perlu dicermati karena ada dua perubahan penting yang mungkin terjadi, yaitu perubahan ketinggian muka air laut karena daratan bergerak relatif terhadap lautan (perubahan isostatik) dan perubahan karena penambahan volume air laut dari pencairan es dan salju (perubahan eustatik) yang ada di daratan atau kontinental (benua).

Kalau demikian, akan mencairkah es di Kutub Utara dan Kutub Selatan? Sementara kalangan meyakini bahwa es di kedua kutub itu akan mencair jika temperatur global atmosfer terus naik. Es yang berubah menjadi air lalu masuk ke laut sehingga permukaannya naik dan membanjiri daratan, bahkan menelan pulau-pulau kecil seperti disebut di atas. Tapi ada pendapat lain, yaitu ada beda karakter antara Kutub Utara (Artik) dan Kutub Selatan (Antartika). Kutub Selatan adalah daratan yang dilapisi es. Jadi berupa landas kontinen/benua yang tertutup es. Sebaliknya Kutub Utara adalah air laut yang membeku membentuk “pulau” dan gunung-gunung es. Dengan demikian disimpulkan bahwa Kutub Utara, selain Greenland, adalah bongkahan es yang terapung-apung di laut.

Jika temperatur global betul-betul naik ekstrim, apa yang akan dialami oleh lempeng atau bukit-bukit es di kedua kutub tersebut? Jika “pulau-pulau terapung” di Artik mencair maka tak akan banyak mempengaruhi ketinggian muka air laut! Kenapa? Analoginya adalah gelas yang penuh air berisi sepotong es yang menyembul di permukaannya. Walaupun es itu habis mencair tetapi air di gelas tidak akan tumpah. Ini mengikuti prinsip hukum Archimedes. Pencairan es di Artik hanya mengubah wujudnya saja menjadi cair tetapi tidak punya efek yang cukup untuk menaikkan permukaan air laut! Jadi... kita bisa sedikit lega.

Namun hal sebaliknya bisa terjadi di Antartika. Gunung es dapat mempengaruhi ketinggian muka air laut. Volume total esnya cukup besar untuk menambah volume air laut. Tapi perlu dicatat bahwa karakter sistem lingkungan Antartika sangat, sangat dingin. Temperaturnya jauh di bawah titik nol sehingga esnya tidak akan mencair! Jadi pemanasan global takkan mampu mencairkan es di Antartika karena temperaturnya akan tetap berada di bawah nol. Jika panas global mengakibatkan temperatur di kutub dapat mendekati nol sehingga es mulai mencair maka dipastikan semua manusia di Bumi sudah mati akibat heat stroke sebelum berdampak pada kenaikan muka air laut. Dan ini tak kalah mengerikan jika dibandingkan dengan banjir sejagat itu.

Akan tetapi, kontradiksi saja dapat terjadi. Kenaikan temperatur di Kutub Selatan menyebabkan air laut di sekitarnya menguap. Hembusan angin membawa uap itu ke Kutub Selatan yang akhirnya jatuh dan membeku di daratan Antartika. Jika proses ini berlangsung terus maka sejumlah air pindah dari laut ke darat yang berarti justru terjadi penurunan muka air laut! Sekali lagi saya tulis, justru terjadi penurunan muka air laut! Artinya, pantai kita meluas sehingga meluas pula tempat untuk rekreasi dan membangun Water Front City. Namun, mungkinkah hal ini terjadi?

Salju abadi
Bagaimana dengan salju abadi? Jika pemanasan global mempunyai efek pada pencairan es di Artik dan penguapan air laut di sekitar Antartika sehingga permukaannya turun, apakah secara global air laut akan tetap naik? Sulit sekali menjawabnya dengan pasti, karena bergantung pada jumlah volume es yang mencair di Artik dan jumlah volume air laut yang menguap dan membeku di daratan Antartika. Terlihat bahwa kasus ini tidak sesederhana yang diduga sebagian kalangan bahwa jika Bumi memanas maka terjadi pencairan es yang akibatnya muka air laut ikut naik!

Di Bumi ini banyak ada es dan salju abadi seperti di Pegunungan Jaya Wijaya Papua, di Pegunungan Himalaya India dan beberapa pegunungan tinggi di Eropa. Pada akhir abad 20 lalu ada indikasi salju/es tersebut mencair. Jika pemanasan global berlanjut, boleh jadi semuanya akan cair. Bongkahan es di Greenland pun dapat menaikkan muka air laut jika mencair. Meier, peneliti gletser, menduga terjadi kenaikan 2,8 cm muka air laut selama periode 1900-1961. IPCC (Inter-governmental Panel for Climate Change) memperkirakan akan terjadi kenaikan muka air laut sampai 29 cm pada tahun 2030 dan pada tahun 2070 menjadi 71 cm atau hampir 1 meter pada akhir abad 21.

Betulkah demikian?
Pemanasan global, secara teori dan ada sejumlah fakta, dapat mencairkan salju dan es yang mengakibatkan muka air laut naik. Tetapi mungkinkah temperatur atmosfer bawah Bumi naik sekian puluh derajat sehingga semua es di Bumi mencair?

Mungkinkah pada saat itu manusia masih hidup dan hidupnya pun di atas kapal seperti Kevin Kostner dalam film Water World-nya atau seperti Nabi Nuh a.s?***
ReadMore »

10 Desember 2009

Ibnu Sina, Mutiara Kedokteran Modern

Ibnu Sina, Avicenna
Oleh Gede H. Cahyana


Semua penyakit ada obatnya dan bisa sembuh atas izin Allah! Makna teologis hadis di atas menurut Fazlur Rahman, pionir neomodernisme Islam, adalah obat akan efektif jika ada “izin Allah”. Juga berarti, Allah mewajibkan manusia berobat ke dokter bukan ke paranormal atau ke orang “pinter”. Teori dan praktik pengobatan dalam Islam berdimensi ibadah yang menuntun hubungan manusia dengan Allah. Jadi, kaum muslimin harus meletakkan profesionalisme di atas segalanya. Hal itu dicakup oleh ungkapan the right people or man on the right place.

Abad pertengahan adalah zaman zamrud dunia Islam dan zaman kegelapan bangsa Eropa. Sejarah Islam mencatat sangat banyak pakar medis, filosof dan saintis masa itu. Seorang eksponennya adalah Abu ‘Ali al-Hussain ibn Sina atau Avicenna (980-1037 M). Dia jenius dalam menyatukan teori dan praktik pengobatan menjadi sintesis yang sangat luas dan dalam. “Dokter” pertama pengguna kloroform dan sterilisasi dalam pembedahan ini menulis banyak buku dalam bidang metafisika, sains dan medis. M. S. Khan di dalam Hamdard Medicus Vol. XLI No. 4 menyatakan bahwa karya medis pemilik magnum opus untuk buku al-Qanun fit Tibb atau Canon of Medicine ini, ada sekitar 48 buah dalam bentuk buku dan risalah. Sumber lain menyatakan, karyanya mencapai ratusan judul.

Banyak buku dan risalahnya diterjemahkan oleh “orang-orang barat” seperti risalah penyakit jantung pada Kitab al-Adwiyat diterjemahkan oleh Arnold of Villanova dengan judul De Viribus Cordis di Spanyol. Sebuah manual medis, Urjuzah fit Tibb, dialihbahasakan oleh Armengaud Blasius (meninggal tahun 1312) ke Bahasa Latin dengan judul Cantica di Montpellier, Prancis. Pakar anatomi kelahiran Bukhara, Turkistan ini juga membuat risalah (artikel) dengan topik nadi, colic, diare, urine, pendarahan, pembalsaman, racun sekaligus penawarnya. Kitabnya, Qanun dalam Bahasa Arab diterbitkan di Roma, Italia tahun 1593 dengan editor Carame. Tahun 1877 diterbitkan di Kairo, Mesir, dan di Teheran tahun 1878. Publikasi selanjutnya banyak dilakukan di Beirut dan Baghdad.

Kesehatan dan Higiene
Sebagai apoteker, Ibnu Sina sangat mengerti bahwa aspek preventif lebih baik daripada kuratif. Menurutnya, faktor yang berhubungan dengan kesehatan adalah temperatur, makanan dan minuman, limbah, udara bersih, keseimbangan antara gerak dan pikiran, tidur dan kerja. Sebagai pakar lingkungan dia menjelaskan bahwa udara kotor karena terkontaminasi uap rawa, danau, saluran, dan drainase atau gas dari pabrik kimia, asap atau jelaga membahayakan kesehatan. Sekarang diketahui uap itu adalah gas seperti CH4 (metana), H2S dan NH3 hasil dari proses anaerob. Dan CH4 atau metana adalah salah satu penyebab Bumi memanas, Global Warming.

The Prince of Medicine ini menjelaskan teori kesehatan yang berhubungan dengan kondisi geografi, musim dan iklim. Sangat spektakuler pada zamannya, al-shaykh al-ra’is (the sheikh and prince of learned) ini pun membuat catatan rinci tentang penyakit pada empat musim (iklim subtropis). Musim semi (spring) disebutnya sebagai musim paling menyehatkan. Namun ada juga penyakit radang tenggorokan, radang kulit, bisul, kejang dan abses (abscesses). Penyakit demam timbul saat musim panas (summer) terutama pada orang-orang lansia (lanjut usia). Musim gugur (autumn) biasanya muncul penyakit rematik sedangkan gangguan pencernaan sering terjadi pada musim dingin (winter). Rincian penyakit tersebut masih panjang, namun hanya satu dua buah yang dituliskannya.

Ibnu Sina juga membuat dua teori segitiga dalam pengobatan Islam, yaitu Triangular Theory of Islamic Medicine yang menyatakan hubungan antara Allah, manusia dan pengobatan dan yang kedua adalah hubungan antara badan, pikiran dan semangat. Pengobatan terbaik menurutnya adalah menguatkan spiritual dan fisik pasien secara bersamaan. Pada abad kesebelas itu, dia telah menjelaskan akibat fatal dari penyakit jantung. Kitabnya yang khusus membahas ini adalah Kitab Adwiyat al-Qalbiyah (Risalah obat untuk sakit jantung). Lebih dari sembilan abad kemudian, risalah pengobatan Ibnu Sina di bidang malaria diambil oleh Prof. Wagner Von Jauregg di Vienna. Untuk “duplikatnya” ini, sang profesor itu meraih hadiah Nobel bidang fisiologi tahun 1927.

Sangat banyak sumbangan Ibnu Sina terhadap dunia kedokteran dan farmasi. Masih banyak yang belum terungkap dan masih dicari di banyak belahan dunia. Namun satu hal yang patut dicontoh dari pakar yang dimakamkan di Hamadan ini adalah keuletannya dalam menekuni ilmu. Pengaruhnya diakui pada pengembangan sains medis internasional. Akibat kejeniusannya itu, menurut Dr. R. H. Su’dan, kewarga-negaraannya diklaim oleh empat negara, yaitu Iran, Irak, Turki dan Rusia.

Itulah seorang maestro yang makamnya dikelilingi oleh puluhan makam para dokter yang meminta jasadnya dikubur di dekat Sang Father of Doctors.***

ReadMore »

2 Desember 2009

Digester Aerob

Artikel Sainstek yang berjudul Pengolahan Lumpur dalam Majalah Air Minum edisi sebelumnya merupakan bagian umum dari teknologi yang dikembangkan dalam pengolahan lumpur, baik di bidang lumpur IPAM maupun IPAL. Sejumlah unit dapat digunakan untuk kedua bidang tersebut tetapi beberapa unit yang lainnya seperti digester aerob dan anaerob difokuskan pada satu jenis sisa pengolahan (byproduct), misalnya timbulan lumpur dalam pengolahan air limbah.




Digester aerob (aerobic digester) adalah unit proses yang difokuskan pada pengolahan lumpur biologis (bioflok) yang berasal dari IPAL dan berlangsung secara aerob. Selain itu, digester (baik aerob maupun anerob) ini pun dikelompokkan ke dalam satu paket pengolah lumpur dengan Imhoff tank (MAM, edisi 114, Februari 2005). Perlu pula disampaikan, ada perbedaan pendapat dalam mengelompokan jenis-jenis digester, misalnya ada yang menyatakan bahwa digester pastilah (hanya) anaerob.

Telah berlaku umum, pengolahan zat organik terlarut di dalam air limbah secara aerob selalu menghasilkan mikroba, biomassa atau lumpur (sludge) yang sering disebut lumpur sekunder (secondary sludge). Seperti disebut dalam artikel sebelumnya, sludge yang dihasilkan harus diolah di fasilitas pengolah lumpur seperti sludge drying bed, filter press atau diolah dengan menggunakan digester aerob.

Karakteristik
Satu karakteristik utama yang membedakan lumpur dari IPAM PDAM dan lumpur dari IPAL PDAK (Perusahaan Daerah Air Kotor) adalah jenisnya. Lumpur hasil olahan prasedimentasi dan sedimentasi dari IPAM lebih banyak berupa komponen anorganik. Adapun lumpur primer (primary sludge) di IPAL selain mengandung zat organik terlarut juga mengandung atau bahkan mayoritas terdiri atas zat organik tak terlarut (insoluble) yang besar berat molekulnya.

Tujuan pengolahan dengan digester aerob adalah meniadakan zat organik tak terlarut dalam kondisi aerob yang bisa dilaksanakan di dalam tiga kondisi reaktor, yaitu reaktor teraduk sempurna (CSTR, completely stirred tank reactor) tanpa dan dengan resirkulasi dan reaktor batch. Sistem batch jarang diterapkan di lapangan tetapi sering digunakan untuk menentukan data desain di laboratorium. Kinerja CSTR tanpa resirkulasi relatif sama dengan kinerja CSTR dengan resirkulasi sehingga yang lebih banyak diterapkan adalah CSTR tanpa resirkulasi karena lebih ekonomis.

Digester aerob ini tampak atasnya berbentuk lingkaran dengan kedalaman maksimum 5 m. Pengadukan di dalam reaktor diasumsikan sempurna yang transfer oksigennya berasal dari aerator. Udara bebas juga dapat dijadikan sumber oksigen dengan cara membuka bagian atas reaktornya. Bisa juga oksigennya berupa oksigen murni sehingga bagian atas reaktornya ditutup. Pengoperasian instalasi kecil biasanya dilakukan dengan sistem batch, sedangkan di instalasi besar dilakukan dengan sistem kontinu sehingga diperlukan unit sedimentasi untuk mengendapkan sludge yang diolah.

Keunggulan
Digester aerob digunakan untuk mengolah lumpur sekunder yang dihasilkan dari proses lumpur aktif atau trickling filter yang banyak mengandung biosolid dengan reaksi dekomposisi mikrobiologi. Proses ini dapat digunakan untuk mengolah lumpur primer dengan syarat kandungan organiknya di atas 60% tetapi sebetulnya lebih ekonomis jika diolah dengan digester anaerob. Ini dilakukan karena kehadiran sejumlah besar zat organik non-mikrobial yang akan diubah menjadi biomassa sehingga membutuhkan banyak oksigen pada proses aerob dan membentuk lebih banyak sisa lumpur dibandingkan dengan digester anaerob.

Di bawah ini adalah sejumlah keutamaan digester aerob:
1. Produk akhir olahannya relatif stabil, seperti humus, tidak bau, mudah dibuang.
2. Kadar zat organik terlarut biodegradable sangat sedikit di dalam supernatan.
3. Karakteristik pengeringan lumpurnya cukup baik.
4. Biaya konstruksinya lebih murah dibandingkan dengan proses anaerob.
5. Jika yang diolah lumpur sekunder, maka efisiensi reduksi zat organik hampir sama dengan proses digester anaerob.
6. Lebih subur (pupuknya) jika dibandingkan dengan digester anaerob.
7. Konsentrasi limbahnya lebih kecil sehingga tidak perlu sludge thickening.
8. Reaktornya sederhana sehingga relatif lebih murah daripada digester anaerob.
9. Kesulitan operasinya sedikit daripada digester anaerob sehingga tenaga kerjanya boleh yang kurang terlatih.

Selain keunggulannya tersebut, ada beberapa kelemahan digester aerob:
1. Perlu energi untuk memasok oksigen sehingga biaya operasi-rawatnya lebih mahal daripada digester anaerob.
2. Reaktor tidak menghasilkan energi biogas karena tidak terbentuk metana.
3. Sludge hasil olahan tidak selalu terklarifikasi dengan baik sehingga supernatannya mungkin masih mengandung padatan tersuspensi (SS, suspended solid).
4. Jika digunakan untuk mengolah lumpur primer maka lebih banyak dihasilkan sisa sludge daripada digester anaerob.
5. Efisiensi bervariasi karena bergantung pada temperatur sehingga perlu ada kendali temperatur.

Kinerja Operasi
Hakikat digester aerob untuk lumpur sekunder adalah CSTR yang hanya menerima sel mikroba (bioflok). Karena zat organik biodegradable terlarut (soluble) di influennya sangat sedikit maka reaksi yang terjadi hanyalah celluler death dan decay (kematian dan kerusakan sel mikroba). Kerusakan sel dapat dinyatakan dengan reaksi orde pertama sehingga konsentrasi sel di dalam reaktor akan berkurang jika waktu detensi hidrolisnya bertambah.

Kinerja digester ini bergantung pada (minimal) tiga hal dan ketiganya perlu ditetapkan lebih dulu dalam mendesain digester, yaitu volume reaktor, kebutuhan oksigen, dan power input. Ketiga hal tersebut ialah:

1. Model matematis
Model ini digunakan untuk menghitung kebutuhan volume reaktor yang juga berkorelasi dengan luas lahan yang diperlukan. Pada mulanya volume reaktor dihitung dengan cara volumetric loading (massa VSS per volume harian; VSS: volatile suspended solid) tetapi dengan perkembangan kinetika proses digunakanlah rekayasa reaktor, yaitu kombinasi antara persamaan laju reaksi dan neraca massa.

2. Nilai parameter
Persamaan-persamaan desain dapat digunakan jika nilai-nilai parameter atau konstanta laju reaksi dan kebutuhan oksigennya sudah diketahui. Semua parameternya ditentukan dengan uji di laboratorium dan diharapkan sama dengan kondisinya pada skala pilot maupun skala penuh (lapangan).

3. Pengaruh kondisi lingkungan.
a. Mixing
Jika pengadukannya tidak cukup maka akan terjadi pengendapan di dalam reaktor sehingga mengurangi volume efektifnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya kondisi anaerob. Pengurangan volume dan kondisi anaerob tersebut dapat mengurangi efisiensi proses pengolahan.

b. Temperatur
Seperti pada teknologi pengolahan air limbah, pengolahan lumpur secara bioproses pun sangat bergantung pada temperatur karena melibatkan mikroba dalam pengolahannya.

c. pH
Sejumlah konstanta laju reaksi bergantung pada pH. Ada studi yang menyatakan bahwa hasil optimal pengolahan terjadi pada pH 6,5 - 8,0. Perubahan pH dapat terjadi selama proses digesi akibat nitrifikasi yang besarnya bergantung pada konsentrasi nitrogen organik dan alkalinitas di dalam sludge.

Ketiga poin yang diperlukan dalam mendesain digester aerob tersebut tidak serta merta mudah dalam penerapannya. Digester aerob masih jarang diterapkan. Sebagian besar literatur tentang digester aerob hanya menguraikan studi laboratorium dan skala pilot. Hanya sedikit yang datanya berasal dari instalasi yang fullscale. Sekadar contoh, ada instalasi digester aerob di Canada, terdiri atas tujuh unit dan bersifat CSTR dengan modus operasi fill-and-draw atau SBR (SBR: Sequencing Batch Reactor, MAM edisi 134, Oktober 2006). Waktu detensi hidrolisnya cukup panjang, yaitu 14 s.d 360 hari dengan kecepatan injeksi udara antara 8,4 s.d 30 cfm/1000 ft3 dan konsentrasi lumpur 20.000 mg/l. Masalahnya, terjadi pengendapan lumpur sehingga volume efektifnya berkurang dan menurunkan efisiensinya.

Terlepas dari kekurangan itu, ada yang menyatakan bahwa digester aerob dapat mengolah lumpur sekunder hingga konsentrasi 60.000 mg/l. Betul ataukah tidak, sebagai hasil perkembangan teknologi di bidang pengolahan lumpur, digester aerob dapat diapresiasi sebagai alternatif untuk stabilisasi lumpur biologi yang menjadi konsekuensi logis dalam pengoperasian IPAL. *
ReadMore »