Penyediaan Air Minum di Dalam Gedung
(PLUMBING, PLAMBING)
Adakah peran PDAM dalam penyediaan air minum di dalam gedung? Sebagai sebuah sistem, penyediaan air minum di dalam gedung memang bukanlah tanggung jawab PDAM. Meter air menjadi titik demarkasi atau batas tanggung jawab antara PDAM dan pelanggannya. Namun demikian, peran PDAM sesungguhnya masih ada di dalam sistem penyediaan air minum di dalam gedung, biasa disebut sistem plambing, terutama yang berkaitan dengan kuantitas air, kualitas air, dan tekanan sisa airnya.
Dalam sistem plambing, terutama bangunan publik seperti kantor, mall, hotel, dan juga rumah pribadi berlantai satu atau dua, karakteristik hidrolis di daerah distribusi PDAM berpengaruh besar terhadap sistem plambing. Dalam sistem plambing air minum, selain syarat kuantitas dan kualitas, juga ada syarat tekanan sisa (residual head), khususnya di alat plambing yang kritis tekanan sisanya. Selain air minum, ada juga instalasi air limbah dan ventilasi, air hujan, pemadam kebakaran (sprinkler system), dan air panas. Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam pemasangan atau instalasinya perlu diperhatikan agar tidak terjadi pencampuran antara pipa air minum dan air buangan (cross connection). Syarat ini diperlukan agar tercapai aspek kesehatan, kenyamanan dan menyenangkan (convenience and comfort) pelanggan dan pengguna gedung.
Identik dengan pola desain sistem PAM kota, sistem PAM dalam gedung pun mengacu pada besaran sistem yang dipengaruhi oleh populasi dan kebutuhan per kapita. Populasi dalam gedung ini dapat berupa orang, tempat tidur, luas lantai, porsi makanan, hewan, dll. Dalam praktiknya, besaran sistem bisa ditetapkan oleh pemilik gedung atas saran perencananya, dihitung berdasarkan populasinya, atau diperkirakan dari kebutuhan maksimum gedung. Biasanya, untuk keamanan sistem dan kenyamanan orang di dalam gedung, kebutuhan air dilebihkan 20% dari nilai riil perhitungan desainnya.
Pola dan Karakteristik Sistem
Seperti dalam PAM kota, plambing juga memiliki tiga komponen sistem, yaitu sumber air, transmisi, dan distribusi. Selain PDAM, sumber air bisa dari air tanah atau air permukaan dengan pengolahan terlebih dahulu. Mana yang dipilih bergantung pada kapasitas yang dibutuhkan gedung dan ada tidaknya sumber air alternatif. Dalam satu gedung boleh jadi ada lebih dari satu jenis sumber air dengan pengolahan atau tidak.
Sistem transmisi di dalam gedung biasanya pendek saja, bergantung pada tinggi-rendahnya gedung. Dihubungkan dengan peran kapasitas dan tekanan sisa air PDAM, sistem plambing ini dibedakan menjadi dua, yaitu gedung atau rumah berlantai satu dan dua serta gedung berlantai lebih dari dua. Pada rumah berlantai dua, peran PDAM dalam penyediaan tekanan air untuk menaikkan air ke lantai dua menjadi besar. Apabila tekanan air PDAM cukup tinggi, minimal 1 bar atau satu atmosfer, maka semua alat plambing seperti WC, kran, wastafel, dll di lantai dua dapat disuplai langsung. Kalau pasokan air PDAM konstan selama 24 jam sehari, maka pelanggan atau pemilik gedung tidak perlu menyediakan tangki air di atas lantai dua karena tekanannya sudah cukup. Ini tentu menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan.
Hanya saja, kondisi air bertekanan cukup ini jarang terjadi, kecuali di daerah-daerah tertentu yang dekat dengan pipa induk PDAM atau topografinya mendukung. Sering juga terjadi, tekanan airnya justru sangat tinggi sehingga airnya merembes dari sambungan pipa, bahkan merusak kran alat-alat plambing. Belum lagi masalah sisa klor (kaporit) yang bisanya relatif tinggi di daerah distribusi yang dekat dengan instalasi dan pipa induk PDAM. Opsi solusinya ialah dengan memasang filter karbon aktif. Rumah atau gedung yang kondisi seperti ini disarankan menampung airnya dulu di tangki air atas (roof tank) atau di tangki air bawah di tanah (ground tank) lalu memompanya ke alat-alat plambing atau ke roof tank. Dari tangki atas ini air lantas dialirkan secara gravitasi ke setiap alat plambing. Serupa dengan itu, PDAM pun bisa membangun beberapa tangki tinggi (elevated tank) di daerah distribusi dengan mempertimbangkan topografi dan jumlah pelanggannya serta proyeksi jumlah pelanggan pada masa depan sehingga tercapai kesetimbangan tekanan.
Pola sistem yang paling aman secara teknis bagi instalasi plambing adalah dengan menyediakan dua tangki air, yaitu tangki air bawah (ground tank) dan tangki air atas (roof tank) dengan volume total minimal 70% dari kebutuhan gedung. Volume tangki air bawah bisa 60 – 70 persen dari kebutuhan gedung, sedangkan volume tangki air atas antara 30 – 40 persen. Untuk gedung berlantai empat atau kurang, bisa saja tanpa tangki atas asalkan dipasang minimal dua pompa distribusi (1 aktif, 1 siaga) ke setiap lantai dengan tekanan sisa yang cukup untuk lantai paling atas dan tidak terlalu besar bagi lantai terbawah (basement dan lantai 1). Pemasangan seperti ini tidak membutuhkan katup pengatur tekanan (pressure regulating valve). Namun yang terbaik tentu saja dilengkapi dengan tangki atas karena secara hidrolis lebih stabil, lebih nyaman ketika listrik padam, dan lebih aman bagi lifetime kran-kran air.
Hal selanjutnya yang penting ialah headloss kritis yang terjadi di lantai teratas. Pada PAM kota, sebab utama kehilangan tekanan adalah major losses karena bentangan pipanya sangat panjang. Dalam sistem plambing, sebab utamanya ialah minor losses akibat banyak fitting dalam jarak yang pendek saja. Major losses dan minor losses di lantai teratas ini mempengaruhi ketinggian tangki atas, khususnya ketinggian permukaan air maksimum dan minimumnya. Variasi ketinggian muka air ini hendaklah mampu menyediakan tekanan sisa (residual head) di alat plambing yang paling kritis (biasanya paling jauh lokasinya dari tangki atas). Sisa tekanan di titik kritis ini tidak perlu terlalu besar, antara 2 s.d 3 meter kolom air saja sudah cukup. Kalau sisa tekanan ini sudah tercukupi maka dapat dipastikan sisa tekanan di alat plambing lainnya di lantai teratas juga tercukupi, termasuk lantai di bawahnya.
Yang juga perlu diperhatikan ialah efektivitas penempatan tangki atas agar tidak ada variasi sisa tekanan yang timpang antara satu ruang dan ruang lainnya, terutama ruang yang terjauh dari posisi tangki. Yang terbaik ialah ada kesetimbangan sisa tekanan di antara semua ruang agar semua pengguna fasilitas sanitasi di setiap ruang menjadi nyaman, sama persis dengan pola kesetimbangan sisa tekanan di sistem distribusi air PDAM. Dalam sistem PAM kota, maksud ini dapat dicapai dengan membuat elevated tank di beberapa lokasi sesuai dengan keadaan topografinya dan jumlah pelanggannya (serta proyeksinya). Bedanya, dalam sistem plambing, selain kesetimbangan horisontal, juga harus dipertimbangkan kesetimbangan vertikal antarlantai agar kenyamanan juga dinikmati oleh semua pengguna di setiap lantai. Yang sering menjadi masalah justru kesetimbangan sisa tekanan vertikal ini, terutama di gedung berlantai banyak (high rise building) sehingga harus dibuat beberapa pola sistem distribusi (zoning system) dengan perangkat mekanikal - elektrikal yang khusus untuk mengatur tekanan air.
Yang terakhir, tetapi penting, adalah menetapkan diameter pipa yang harus digunakan. Sama dengan sistem PAM kota, semua diameter yang harus dipasang hendaklah sudah dihitung dulu dengan menggunakan rumus-rumus baku dalam hidrolika, seperti formula Darcy-Weisbach, Hazen-William dengan nilai konstanta yang sesuai. Asumsi debit yang diterapkan ke dalam rumus adalah debit pada saat aliran puncak, jam puncak atau peak hour. Berbeda dengan sistem PAM kota yang biasanya menggunakan program perangkat lunak (software) seperti UNDP, Epanet atau secara manual dengan kalkulator untuk sistem distribusi yang sederhana, perhitungan diameter di dalam gedung biasanya menggunakan tabel-tabel. Tabel yang tersedia di antaranya ialah tabel beban (fixtures unit), tabel diameter yang dikaitkan dengan jumlah fixtures unit dan nomograf yang berisi informasi debit, kecepatan, headloss, dan diameter pipa. Dalam penerapannya ada sejumlah asumsi yang diambil dengan mempertimbangkan kelayakan sistem yang didasarkan pada pengalaman, baik yang ditulis di dalam buku-ajar maupun dari pengalaman pribadi perencana (konsultan).
Dalam sistem plambing ini, khususnya untuk gedung berlantai satu s.d empat, biasanya tidak membutuhkan kalkulasi yang rumit. Seorang arsitek pun bisa dengan mudah menetapkan sistem plambing tanpa bantuan sarjana teknik lingkungan, terutama yang berkaitan dengan diameter pipa. Berdasarkan pengalamannya, dalam beberapa kali pekerjaan plambing, arsitek akan dengan cepat menetapkan diameter pipa air minum. Di sisi lain, pada gedung berlantai banyak, yang sering berperan ialah sarjana teknik mesin dengan anggapan plambing adalah segmen pekerjaan M-E (mekanikal – elektrikal). Tidak salah memang, karena sarjana teknik mesin juga belajar mekanika fluida. Sebabnya, mungkin, adalah kepraktisan dalam bekerja dan ekonomis bagi konsultan dan kontraktor karena tidak perlu mempekerjakan dua orang sarjana.
Di bagian akhir tulisan ini penulis berharap agar sarjana teknik lingkungan dan jurusan teknik lingkungan di semua kampus lebih mengembangkan lagi segmen pasar kerja di bidang plambing ini. Ikatan alumninya (IATPI) juga hendaklah proaktif dan intensif menyebarkan image dan fakta bahwa anggotanya berkompeten dalam mendesain dan melaksanakan pekerjaan plambing. Alumni yang sudah punya ”nama” dan jabatan di pemerintahan, perusahaan swasta, BUMN, BUMD, janganlah diam saja apalagi acuh tak acuh pada pengembangan bidang teknik lingkungan karena eksistensi profesi ini bergantung pada peran alumninya juga. Ada tanggung jawab moral dan ilmiah di dalam sosok individu alumninya, apapun profesinya sekarang, asalkan ia adalah alumni teknik penyehatan atau teknik lingkungan.
Dengan demikian, suatu saat nanti, brand image atau persepsi orang terhadap produk plambing akan sama dengan brand image PDAM. Artinya, orang yang ingat PDAM, maka ia akan ingat pada sarjana teknik penyehatan dan lingkungan; saat ingat air limbah (pabrik, hotel, rumah sakit, dll), ia pun ingat sarjana teknik lingkungan, sama dengan orang yang ingat mobil, maka ia akan ingat sarjana teknik mesin, ingat rumah maka ia akan ingat arsitek. Semoga. *
ReadMore »
(PLUMBING, PLAMBING)
Adakah peran PDAM dalam penyediaan air minum di dalam gedung? Sebagai sebuah sistem, penyediaan air minum di dalam gedung memang bukanlah tanggung jawab PDAM. Meter air menjadi titik demarkasi atau batas tanggung jawab antara PDAM dan pelanggannya. Namun demikian, peran PDAM sesungguhnya masih ada di dalam sistem penyediaan air minum di dalam gedung, biasa disebut sistem plambing, terutama yang berkaitan dengan kuantitas air, kualitas air, dan tekanan sisa airnya.
Dalam sistem plambing, terutama bangunan publik seperti kantor, mall, hotel, dan juga rumah pribadi berlantai satu atau dua, karakteristik hidrolis di daerah distribusi PDAM berpengaruh besar terhadap sistem plambing. Dalam sistem plambing air minum, selain syarat kuantitas dan kualitas, juga ada syarat tekanan sisa (residual head), khususnya di alat plambing yang kritis tekanan sisanya. Selain air minum, ada juga instalasi air limbah dan ventilasi, air hujan, pemadam kebakaran (sprinkler system), dan air panas. Oleh sebab itu, kehati-hatian dalam pemasangan atau instalasinya perlu diperhatikan agar tidak terjadi pencampuran antara pipa air minum dan air buangan (cross connection). Syarat ini diperlukan agar tercapai aspek kesehatan, kenyamanan dan menyenangkan (convenience and comfort) pelanggan dan pengguna gedung.
Identik dengan pola desain sistem PAM kota, sistem PAM dalam gedung pun mengacu pada besaran sistem yang dipengaruhi oleh populasi dan kebutuhan per kapita. Populasi dalam gedung ini dapat berupa orang, tempat tidur, luas lantai, porsi makanan, hewan, dll. Dalam praktiknya, besaran sistem bisa ditetapkan oleh pemilik gedung atas saran perencananya, dihitung berdasarkan populasinya, atau diperkirakan dari kebutuhan maksimum gedung. Biasanya, untuk keamanan sistem dan kenyamanan orang di dalam gedung, kebutuhan air dilebihkan 20% dari nilai riil perhitungan desainnya.
Pola dan Karakteristik Sistem
Seperti dalam PAM kota, plambing juga memiliki tiga komponen sistem, yaitu sumber air, transmisi, dan distribusi. Selain PDAM, sumber air bisa dari air tanah atau air permukaan dengan pengolahan terlebih dahulu. Mana yang dipilih bergantung pada kapasitas yang dibutuhkan gedung dan ada tidaknya sumber air alternatif. Dalam satu gedung boleh jadi ada lebih dari satu jenis sumber air dengan pengolahan atau tidak.
Sistem transmisi di dalam gedung biasanya pendek saja, bergantung pada tinggi-rendahnya gedung. Dihubungkan dengan peran kapasitas dan tekanan sisa air PDAM, sistem plambing ini dibedakan menjadi dua, yaitu gedung atau rumah berlantai satu dan dua serta gedung berlantai lebih dari dua. Pada rumah berlantai dua, peran PDAM dalam penyediaan tekanan air untuk menaikkan air ke lantai dua menjadi besar. Apabila tekanan air PDAM cukup tinggi, minimal 1 bar atau satu atmosfer, maka semua alat plambing seperti WC, kran, wastafel, dll di lantai dua dapat disuplai langsung. Kalau pasokan air PDAM konstan selama 24 jam sehari, maka pelanggan atau pemilik gedung tidak perlu menyediakan tangki air di atas lantai dua karena tekanannya sudah cukup. Ini tentu menghemat biaya yang harus dikeluarkan oleh pelanggan.
Hanya saja, kondisi air bertekanan cukup ini jarang terjadi, kecuali di daerah-daerah tertentu yang dekat dengan pipa induk PDAM atau topografinya mendukung. Sering juga terjadi, tekanan airnya justru sangat tinggi sehingga airnya merembes dari sambungan pipa, bahkan merusak kran alat-alat plambing. Belum lagi masalah sisa klor (kaporit) yang bisanya relatif tinggi di daerah distribusi yang dekat dengan instalasi dan pipa induk PDAM. Opsi solusinya ialah dengan memasang filter karbon aktif. Rumah atau gedung yang kondisi seperti ini disarankan menampung airnya dulu di tangki air atas (roof tank) atau di tangki air bawah di tanah (ground tank) lalu memompanya ke alat-alat plambing atau ke roof tank. Dari tangki atas ini air lantas dialirkan secara gravitasi ke setiap alat plambing. Serupa dengan itu, PDAM pun bisa membangun beberapa tangki tinggi (elevated tank) di daerah distribusi dengan mempertimbangkan topografi dan jumlah pelanggannya serta proyeksi jumlah pelanggan pada masa depan sehingga tercapai kesetimbangan tekanan.
Pola sistem yang paling aman secara teknis bagi instalasi plambing adalah dengan menyediakan dua tangki air, yaitu tangki air bawah (ground tank) dan tangki air atas (roof tank) dengan volume total minimal 70% dari kebutuhan gedung. Volume tangki air bawah bisa 60 – 70 persen dari kebutuhan gedung, sedangkan volume tangki air atas antara 30 – 40 persen. Untuk gedung berlantai empat atau kurang, bisa saja tanpa tangki atas asalkan dipasang minimal dua pompa distribusi (1 aktif, 1 siaga) ke setiap lantai dengan tekanan sisa yang cukup untuk lantai paling atas dan tidak terlalu besar bagi lantai terbawah (basement dan lantai 1). Pemasangan seperti ini tidak membutuhkan katup pengatur tekanan (pressure regulating valve). Namun yang terbaik tentu saja dilengkapi dengan tangki atas karena secara hidrolis lebih stabil, lebih nyaman ketika listrik padam, dan lebih aman bagi lifetime kran-kran air.
Hal selanjutnya yang penting ialah headloss kritis yang terjadi di lantai teratas. Pada PAM kota, sebab utama kehilangan tekanan adalah major losses karena bentangan pipanya sangat panjang. Dalam sistem plambing, sebab utamanya ialah minor losses akibat banyak fitting dalam jarak yang pendek saja. Major losses dan minor losses di lantai teratas ini mempengaruhi ketinggian tangki atas, khususnya ketinggian permukaan air maksimum dan minimumnya. Variasi ketinggian muka air ini hendaklah mampu menyediakan tekanan sisa (residual head) di alat plambing yang paling kritis (biasanya paling jauh lokasinya dari tangki atas). Sisa tekanan di titik kritis ini tidak perlu terlalu besar, antara 2 s.d 3 meter kolom air saja sudah cukup. Kalau sisa tekanan ini sudah tercukupi maka dapat dipastikan sisa tekanan di alat plambing lainnya di lantai teratas juga tercukupi, termasuk lantai di bawahnya.
Yang juga perlu diperhatikan ialah efektivitas penempatan tangki atas agar tidak ada variasi sisa tekanan yang timpang antara satu ruang dan ruang lainnya, terutama ruang yang terjauh dari posisi tangki. Yang terbaik ialah ada kesetimbangan sisa tekanan di antara semua ruang agar semua pengguna fasilitas sanitasi di setiap ruang menjadi nyaman, sama persis dengan pola kesetimbangan sisa tekanan di sistem distribusi air PDAM. Dalam sistem PAM kota, maksud ini dapat dicapai dengan membuat elevated tank di beberapa lokasi sesuai dengan keadaan topografinya dan jumlah pelanggannya (serta proyeksinya). Bedanya, dalam sistem plambing, selain kesetimbangan horisontal, juga harus dipertimbangkan kesetimbangan vertikal antarlantai agar kenyamanan juga dinikmati oleh semua pengguna di setiap lantai. Yang sering menjadi masalah justru kesetimbangan sisa tekanan vertikal ini, terutama di gedung berlantai banyak (high rise building) sehingga harus dibuat beberapa pola sistem distribusi (zoning system) dengan perangkat mekanikal - elektrikal yang khusus untuk mengatur tekanan air.
Yang terakhir, tetapi penting, adalah menetapkan diameter pipa yang harus digunakan. Sama dengan sistem PAM kota, semua diameter yang harus dipasang hendaklah sudah dihitung dulu dengan menggunakan rumus-rumus baku dalam hidrolika, seperti formula Darcy-Weisbach, Hazen-William dengan nilai konstanta yang sesuai. Asumsi debit yang diterapkan ke dalam rumus adalah debit pada saat aliran puncak, jam puncak atau peak hour. Berbeda dengan sistem PAM kota yang biasanya menggunakan program perangkat lunak (software) seperti UNDP, Epanet atau secara manual dengan kalkulator untuk sistem distribusi yang sederhana, perhitungan diameter di dalam gedung biasanya menggunakan tabel-tabel. Tabel yang tersedia di antaranya ialah tabel beban (fixtures unit), tabel diameter yang dikaitkan dengan jumlah fixtures unit dan nomograf yang berisi informasi debit, kecepatan, headloss, dan diameter pipa. Dalam penerapannya ada sejumlah asumsi yang diambil dengan mempertimbangkan kelayakan sistem yang didasarkan pada pengalaman, baik yang ditulis di dalam buku-ajar maupun dari pengalaman pribadi perencana (konsultan).
Dalam sistem plambing ini, khususnya untuk gedung berlantai satu s.d empat, biasanya tidak membutuhkan kalkulasi yang rumit. Seorang arsitek pun bisa dengan mudah menetapkan sistem plambing tanpa bantuan sarjana teknik lingkungan, terutama yang berkaitan dengan diameter pipa. Berdasarkan pengalamannya, dalam beberapa kali pekerjaan plambing, arsitek akan dengan cepat menetapkan diameter pipa air minum. Di sisi lain, pada gedung berlantai banyak, yang sering berperan ialah sarjana teknik mesin dengan anggapan plambing adalah segmen pekerjaan M-E (mekanikal – elektrikal). Tidak salah memang, karena sarjana teknik mesin juga belajar mekanika fluida. Sebabnya, mungkin, adalah kepraktisan dalam bekerja dan ekonomis bagi konsultan dan kontraktor karena tidak perlu mempekerjakan dua orang sarjana.
Di bagian akhir tulisan ini penulis berharap agar sarjana teknik lingkungan dan jurusan teknik lingkungan di semua kampus lebih mengembangkan lagi segmen pasar kerja di bidang plambing ini. Ikatan alumninya (IATPI) juga hendaklah proaktif dan intensif menyebarkan image dan fakta bahwa anggotanya berkompeten dalam mendesain dan melaksanakan pekerjaan plambing. Alumni yang sudah punya ”nama” dan jabatan di pemerintahan, perusahaan swasta, BUMN, BUMD, janganlah diam saja apalagi acuh tak acuh pada pengembangan bidang teknik lingkungan karena eksistensi profesi ini bergantung pada peran alumninya juga. Ada tanggung jawab moral dan ilmiah di dalam sosok individu alumninya, apapun profesinya sekarang, asalkan ia adalah alumni teknik penyehatan atau teknik lingkungan.
Dengan demikian, suatu saat nanti, brand image atau persepsi orang terhadap produk plambing akan sama dengan brand image PDAM. Artinya, orang yang ingat PDAM, maka ia akan ingat pada sarjana teknik penyehatan dan lingkungan; saat ingat air limbah (pabrik, hotel, rumah sakit, dll), ia pun ingat sarjana teknik lingkungan, sama dengan orang yang ingat mobil, maka ia akan ingat sarjana teknik mesin, ingat rumah maka ia akan ingat arsitek. Semoga. *