Oleh Gede H. Cahyana
Perawakannya, seperti umumnya bule,
tinggi besar. Lumayan fasih berbahasa Indonesia, minimal kita bisa menafsirkan
apa maksud ucapannya. Ia adalah David Kuper, orang Swiss yang menjadi Tuan
Sampah di Gianyar Bali, tepatnya di Desa Temesi. Kini Temesi dikenal sebagai
TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah. Awalnya, Temesi ini bukanlah dimaksudkan
sebagai TPA dalam arti landfill,
melainkan sebagai lokasi pengomposan (composting).
Kegiatan inilah yang memperoleh penghargaan dari UNEP (United Nations Environment Programme) pada tahun 2008 dan meraih
Adipura di bidang Manajemen Persampahan dari Presiden RI pada tahun yang sama.
Kekhasan TPA Temesi adalah
pengomposan secara aerob menggunakan blower
besar dan saluran pipa udara bagai belalai gajah yang menjuntai ke dalam
timbunan sampah organik. Karena inilah maka bau busuk khas sampah tidak terlalu
kuat di sekitar bangunan pengomposan. Bahkan tidak tercium bau. Berbeda halnya kalau pengomposan
dilaksanakan secara anaerob atau aerob alamiah, baunya asam-busuk khas sampah
masih tercium hidung. Tumpukan kompos tampak membukit di ruang composter,
berada di belakang bangunan display (pameran) pendidikan lingkungan.
Menurut keterangan Mr Sampah, yaitu
Pak David, fasilitas pengomposan ini dimulai pada 2004 di lahan seluas 400 m2. Pada
tahun 2009 area ini meluas menjadi 5.000 m2 dengan produksi kompos 60 ton
perhari. Diperkirakan 10 persen sampah yang masuk ke area TPA Temesi ini
menjadi residu yang dibuang ke landfill. Namun demikian, kalau dilihat
mekanisme operasional di lapangan, tepatnya ketika saya berkunjung ke Temesi
pekan lalu, TPA ini belum bisa disebut sebagai controlled landfill, apalagi
sanitary landfill. Tidak ada penutupan dengan tanah penutup di zone yang sudah
penuh. Hanya tampak pipa-pipa gas vertikal saja. Di zone sebelahnya, yaitu zone aktif, sampah
juga dibuang begitu saja oleh truk dan tidak dilapisi tanah penutup harian atau
lima harian. Bahkan tidak tampak penerapan sel per sel dan lapis per lapis layaknya sanfil.
Berkaitan dengan pengoperasian
fasilitas pengomposan ini, David Kuper mengatakan bahwa dia dan timnya sedang
membuat proposal biaya kepada pemerintah setempat. Hingga pekan kedua Agustus
2013, dana operasional sudah susut sehingga petugas atau pegawai pemilah sampah dan
pengomposan diberhentikan sementara. Selain itu, sejumlah pegawai juga pulang
mudik ke Jawa dan daerah sekitarnya di Bali. Sebagai inisiator pengelolaan sampah
di Temesi, David pun menyatakan bahwa TPA untuk menampung residu dari pemilahan
sampah di Gianyar ini bukanlah sanitary
landfill melainkan berupa open
dumping.
Hanya saja, karena kurang cek dan
ricek, banyak yang berkata bahwa TPA Temesi berupa sanitary landfill. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh penghargaan
Adipura dan penghargaan dari UNEP kepada fasilitas composting di Temesi yang dilakoni oleh David Kuper, Sang Tuan Sampah
di Temesi, Gianyar. Sekali lagi, yang mendapat penghargaan adalah fasilitas aerobic composter-nya, bukan landfill-nya yang berupa open dumping. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat meluruskan berita dan anggapan yang salah yang luas beredar di kalangan akademisi, ahli, praktisi, dan pegawai di berbagai Dinas Kebersihan, Tataruang (Tata Ruang) dan Cipta Karya di Indonesia. *