Danau Kelimutu adalah Kawah Arwah
Oleh Gede H. Cahyana
Waktu tempuh dari Maumere, NTT naik mobil
sewa dengan kecepatan sedang kira-kira tiga jam. Berlokasi di Kabupaten Ende, danau
atau lebih tepat adalah Kawah Kelimutu berada di pegunungan, sejauh ± 100 km
dari Maumere. Jalan berkelok menjadi tantangan tersendiri kalau menyetir
sendiri, apalagi bagi yang baru kali pertama berkunjung ke kawah tiga warna
ini. Agar sempat menyaksikan matahari terbit, berangkatlah dini hari dari
Maumere, kira-kira pukul 03.00 WITA. Artinya, menginap dulu di kota ini setelah
turun dari pesawat. Ada beberapa hotel yang dekat dengan bandara El Tari, hanya
lima menit perjalanan.
Esoknya, awalilah perjalanan dengan sarapan dulu agar tidak lemas diterpa udara dingin. Kenakan jaket dan sepatu plus kaos kaki tebal. Setelah melewati jalan lengang yang panjang, tibalah di jalan yang berkelak-kelok. Sambil menanjak, matahari muncul dalam warna jingga dan tidak menyilaukan. Berhentilah sejenak, turun dan gerakkan kaki sambil melapor ke pos jaga. Berpose dulu di depan gerbang, ambil beberapa foto, lalu segera naik agar tidak didahului oleh turun kabut. Kalau beruntung, hingga pk. 11.00 WITA tidak berkabut. Tapi hal ini, kata warga asli di lereng Kelimutu, hanya terjadi pada bulan Juli – Agustus. Selain bulan itu, kabut bisa turun lebih cepat sehingga “gagallah” menatap kawah senyap ini.
Setelah melewati gerbang masuk, terdengar suara beragam kicauan burung. Ada kicauan dari satu jenis burung tetapi terdengar seperti paduan suara beberapa burung. Inilah burung khas atau endemik di Kelimutu. Namanya Gerugiwa. Burung yang juga disebut burung Arwah oleh Suku Lio ini, karena jarang bisa ditemukan, mampu melantunkan belasan variasi warna suara. Merdunya ba' seruling, buluh perindu di surga (surga dunia… hmn J) dan dapat dinikmati di sepanjang jalan menuju puncak. Tinggi puncak ini kira-kira 1.640 m dpl.
Setelah berjalan santai hampir satu
jam, sampailah di tepi kawah eksotis ini. Dua kawah berdampingan, berada di
sebelah kanan jalan setapak dan satu lagi berada lurus di kejauhan, kira-kira
satu kilometer. Naiklah ke kedua kawah kembar ini. Puaskan hasrat menatap warna
airnya. Ambil beberapa foto, tapi hati-hati, meskipun berpagar, karena tiada
yang bisa menolong kalau sampai terpeleset ke dalam kawah. Kawah pertama namanya
Tiwu
Ata Bupu (Danau Arwah Orang), yang kedua bernama Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (Danau
Arwah Muda-Mudi), dan yang ketiga disebut Tiwu Ata Polo (Danau Arwah Tukang
Tenung). Dengan kata lain, menurut kepercayaan masyarakat setempat, ketiga
kawah tersebut adalah lokasi arwah atau ruh.
Bagaimana dengan warga asli di sana?
Masyarakat Suku Lio dan juga Moni berperilaku ramah kepada tamu. Mereka berjualan
makanan – minuman dan cendera mata berupa sarung dan kain tenun ikat khas mereka.
Sambil minum kopi atau teh, juga mie instan, mereka sekaligus berperan sebagai pemberi
informasi, baik yang sifatnya akademis maupun agamis atau kepercayaan setempat.
Tentu kita tidak perlu berdebat tentang materi yang berkaitan dengan
kepercayaan warga setempat. Terima saja, tunjukkan rasa hormat dan ucapkan
terima kasih atas informasinya yang gratis itu.
Setelah puas, kurang lebih tiga jam,
turunlah sambil berjalan santai dan simaklah keberisikan suara fauna di tengah
kesenyapan desir angin gunung. Fotolah beberapa flora di sepanjang jalan
setapak, Feeding Ground Area, lokasi seremonial adat Patika, dan tataplah bebukitan itu. Desahkan selamat tinggal kepada “arwah” di
sana dan niatkan akan kembali lagi suatu saat kelak. *