• L3
  • Email :
  • Search :

31 Oktober 2013

Danau Kelimutu adalah Kawah Arwah

Danau Kelimutu adalah Kawah Arwah
Oleh Gede H. Cahyana

Waktu tempuh dari Maumere, NTT naik mobil sewa dengan kecepatan sedang kira-kira tiga jam. Berlokasi di Kabupaten Ende, danau atau lebih tepat adalah Kawah Kelimutu berada di pegunungan, sejauh ± 100 km dari Maumere. Jalan berkelok menjadi tantangan tersendiri kalau menyetir sendiri, apalagi bagi yang baru kali pertama berkunjung ke kawah tiga warna ini. Agar sempat menyaksikan matahari terbit, berangkatlah dini hari dari Maumere, kira-kira pukul 03.00 WITA. Artinya, menginap dulu di kota ini setelah turun dari pesawat. Ada beberapa hotel yang dekat dengan bandara El Tari, hanya lima menit perjalanan.

Esoknya, awalilah perjalanan dengan sarapan dulu agar tidak lemas diterpa udara dingin. Kenakan jaket dan sepatu plus kaos kaki tebal. Setelah melewati jalan lengang yang panjang, tibalah di jalan yang berkelak-kelok. Sambil menanjak, matahari muncul dalam warna jingga dan tidak menyilaukan. Berhentilah sejenak, turun dan gerakkan kaki sambil melapor ke pos jaga. Berpose dulu di depan gerbang, ambil beberapa foto, lalu segera naik agar tidak didahului oleh turun kabut. Kalau beruntung, hingga pk. 11.00 WITA tidak berkabut. Tapi hal ini, kata warga asli di lereng Kelimutu, hanya terjadi pada bulan Juli – Agustus. Selain bulan itu, kabut bisa turun lebih cepat sehingga “gagallah” menatap kawah senyap ini.

Setelah melewati gerbang masuk, terdengar suara beragam kicauan burung. Ada kicauan dari satu jenis burung tetapi terdengar seperti paduan suara beberapa burung. Inilah burung khas atau endemik di Kelimutu. Namanya Gerugiwa. Burung yang juga disebut burung Arwah oleh Suku Lio ini, karena jarang bisa ditemukan, mampu melantunkan belasan variasi warna suara. Merdunya ba' seruling, buluh perindu di surga (surga dunia… hmn J) dan dapat dinikmati di sepanjang jalan menuju puncak. Tinggi puncak ini kira-kira 1.640 m dpl.



Setelah berjalan santai hampir satu jam, sampailah di tepi kawah eksotis ini. Dua kawah berdampingan, berada di sebelah kanan jalan setapak dan satu lagi berada lurus di kejauhan, kira-kira satu kilometer. Naiklah ke kedua kawah kembar ini. Puaskan hasrat menatap warna airnya. Ambil beberapa foto, tapi hati-hati, meskipun berpagar, karena tiada yang bisa menolong kalau sampai terpeleset ke dalam kawah. Kawah pertama namanya Tiwu Ata Bupu (Danau Arwah Orang), yang kedua bernama Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (Danau Arwah Muda-Mudi), dan yang ketiga disebut Tiwu Ata Polo (Danau Arwah Tukang Tenung). Dengan kata lain, menurut kepercayaan masyarakat setempat, ketiga kawah tersebut adalah lokasi arwah atau ruh.


Bagaimana dengan warga asli di sana? Masyarakat Suku Lio dan juga Moni berperilaku ramah kepada tamu. Mereka berjualan makanan – minuman dan cendera mata berupa sarung dan kain tenun ikat khas mereka. Sambil minum kopi atau teh, juga mie instan, mereka sekaligus berperan sebagai pemberi informasi, baik yang sifatnya akademis maupun agamis atau kepercayaan setempat. Tentu kita tidak perlu berdebat tentang materi yang berkaitan dengan kepercayaan warga setempat. Terima saja, tunjukkan rasa hormat dan ucapkan terima kasih atas informasinya yang gratis itu.

Setelah puas, kurang lebih tiga jam, turunlah sambil berjalan santai dan simaklah keberisikan suara fauna di tengah kesenyapan desir angin gunung. Fotolah beberapa flora di sepanjang jalan setapak, Feeding Ground Area, lokasi seremonial adat Patika, dan tataplah bebukitan itu. Desahkan selamat tinggal kepada “arwah” di sana dan niatkan akan kembali lagi suatu saat kelak. *



ReadMore »

27 Oktober 2013

Ciptakan "Ikan Hiu” Demi Hidup

Ciptakan "Ikan Hiu” Demi Hidup
Oleh Gede H. Cahyana


Alkisah, pada suatu masa, ada nelayan Jepang yang kerapkali melaut di lepas pantai Pulau Hokaido. Berhari-hari mereka diombang-ambing gelombang, dibanjur tampias ombak dan diterpa panas mentari serta “ditusuk” dingin angin malam. Tetapi jarang mereka menemukan ikan tangkapannya dalam kondisi segar sehingga harganya murah kalau dijual. Mereka lantas menyediakan bak yang diisi es balok. Semua ikan tangkapan dimasukkan ke dalam pendingin itu. Tetapi..., tetap saja ikan-ikan itu tidak segar begitu tiba di darat. Harganya pun tetap rendah.

“Harus dicoba cara lain”, pikir Yamasaki, nelayan yang tiga anaknya juga menjadi nelayan, membantunya menangkap dan menjual ikan ke restoran.

Mereka lalu membuat kolam di dalam perahu. Ikan-ikan tangkapannya langsung ditaruh di kolam itu. Namun, lagi-lagi ikan-ikannya tak segar begitu tiba di pantai. Malah ikan-ikannya tampak lemah, tidak gesit berenang dan mudah ditangkap.

Bagaimana caranya...?” Yamasaki termenung. Empat hari kemudian muncullah idenya. Ia menempatkan seekor anak hiu ke dalam kolam ikan itu. Satu dua ikan mulai dimakan anak hiu. Ikan ketiga, keempat....ketiga puluh lima dan terus... Entah sudah berapa banyak ikan tangkapannya dimakan hiu. Ikan yang selamat atau selamat sementara akhirnya HARUS terus bergerak agar tidak dimakan hiu. Yang terus BERENANG ke sana-sini akhirnya selamat dan segar sampai di darat.

Masalah itu mirip dengan hiu di kolam tadi. Bagi ikan, hiu adalah masalah besar. Ada ikan yang mati karena tidak gesit berenang dan malas bergerak. Tetapi ikan yang terus bergerak dan waspada malah sehat dan bugar. Otot-ototnya kian kuat sehingga makin cepatlah berenangnya. Ia survive justru akibat adanya tantangan. Jadi..., ikan yang selamat sampai ke pantai patutlah bersyukur karena punya tantangan. Tanpa tantangan... terbukti ikan-ikan lainnya mati sebelum tiba di pantai. Atau, ada tantangan... tetapi karena malas bergerak dan enggan berpikir serta tidak bersyukur diberi tantangan maka akhirnya... mati!

Lalu... kenapa kita malah bertanya-tanya, "kenapa kita yang diberi tantangan berat ini?" Dilihat dari sisi berpikir positif, tantangan yang selalu menerpa kita akan menguatkan “otot” hidup kita, seperti otot ikan di atas. Tantangan pasti menyebabkan kita terus berpikir dan berupaya untuk mengatasinya. Mahasiswa pasti lebih berat tantangan ujian, skripsi, Tugas Akhir daripada murid SD. Maukah mahasiswa diberi tantangan menjawab soal ujian dan tugas-tugas untuk murid SD?


Tantangan itu akan dapat diatasi kalau kita bekerja di bidang tugas masing-masing dengan rasa tanggung jawab. Kalau melihat teman malas-malasan, kita jangan ikut bermalas-malasan. Apalagi punya pikiran, “dia malas tapi gajinya sama dengan aku yang rajin.” Memang, kelihatannya gajinya sama tetapi... pasti berbeda berkahnya. Malah..., bekerjalah yang banyak karena akan banyak juga balasan-Nya. Bekerja itu pun tidak selalu harus fisik. Bisa juga duduk-duduk tetapi otak terus berpikir dan jari tangan mengetik di komputer. 

Bekerja adalah bagian dari belajar, dan belajar perlu tantangan, seperti hiu. Kita harus mampu menciptakan “hiu” yang mengejar dan menguntit kita ke mana pun kita pergi agar pikiran tetap “hidup”. Lantas, apa bentuk ikan “hiu” yang Anda ciptakan? **
ReadMore »