Merapi Meletus Lagi
Oleh Gede H. Cahyana
Semburan Merapi kembali mengepul di langit. Lava pijar memerah tumpah meleleh ke arah hulu-hulu sungai. Wedus gembel, campuran gas dan debu vulkanik bertemperatur 900o C (di puncaknya) meletup bak jamur lalu turun merayapi lereng. Seorang korban wedhus gembel erupsi tahun 1994 yang pernah kulihat, kaki dan tangannya tak berbentuk lagi, hanya seonggok tungkai lunglai akibat temperatur 400o C (di pemukiman). Jejarinya habis, telinganya hilang, pipinya.... sulit kukatakan dengan kata-kata. Monster di film pun tak separah itu.
Yang juga tak kalah
bahayanya adalah hujan debu. Pagi ini, 18 November 2013, debu telah
jatuh di perbatasan Boyolali
– Solo, Klaten. Sakit pernapasan mulai terjadi. Radang tenggorokan mengancam. Sakit ini
menyiksa penderitanya karena terasa sakit sekali saat menelan sesuatu. Menelan
ludah saja sakit, mirip makan kulit rambutan, apalagi makan nasi yang agak
keras atau sayur tanpa kuah terutama yang sakitnya sudah parah. Minum pun
sebaiknya air hangat atau agak panas. Sayangnya, makanan jenis ini dan air
minum dingin atau bahkan air tak bersih justru yang terbanyak tersedia di kam
pengungsian. Batuknya memang jarang, tapi sekali batuk tak berdahak ini serupa
dengan letusan peluru beruntun. Sakitnya bukan kepalang. Perut
sampai terguncang-guncang dan melilit. Apa yang akan tampak andaikata ribuan
orang berjejer dan batuk bersahut-sahutan saat malam?
Parahnya lagi, di
daerah bencana biasanya sulit diperoleh obat-obatan dan tenaga medis, terutama
dokter. Ada memang, tapi rasionya terhadap jumlah pengungsi sangat-sangat
kecil. Yang kebetulan bisa dilayani dokter dan sakitnya ditangani dengan baik
bisa dikatakan beruntung. Yang tak beruntung jauh lebih banyak. Apalagi di
tengah kelangkaan makanan dan minuman itu ada yang ‘mengail di air keruh’ demi
keuntungan pribadi.
Andaikata pengungsi
itu punya cukup uang mungkin mereka bisa membeli obat yang dijual bebas di
warung dekat barak di kam. Hanya saja, kalau salah obat yang terjadi malah
mual-mual dan mulut terus mengeluarkan ludah. Siang malam mual dan tak bisa
tidur. Lama-lama ketahanan tubuhnya melemah dan sakit lain pun muncul. Sakit
bertubi-tubi. Diare dan sakit menular lainnya mengancam, kebutuhan masker
meningkat, pengungsi dan relawan kian capek dan stres, begitu pun petugas di
dapur umum dan tim medis.
Merapi, gunung
setinggi 2.914 m dpl itu kini batuk. Gemuruh suaranya, luruh lavanya dan awan
panasnya menyatakan dengan tegas bahwa manusia tak ada apa-apanya. Mampu apa
manusia melawan Merapi sepanjang sejarahnya? Mampukah membatalkan atau
menghentikan karakter Merapi?
*