Menghargai Air (Banjir)
Oleh Gede H. Cahyana
Lektor Kepala Teknik Lingkungan Universitas Kebangsaan
Hari Air Dunia (World Water Day) pada 22 Maret 2021 bertema Valuing Water, menghargai air. Apakah selama ini air tidak berharga, kurang dihargai oleh masyarakat dunia? Bagaimana di Indonesia khususnya di kota-kota besar di Jawa Barat?
Ada ungkapan bahwa semua ada harganya. Begitu juga air, terutama air minum. Air minum kemasan harganya antara Rp5.000 dan Rp8.000 seliter. Kemasan botol yang disajikan dalam rapat DPR dan rapat kabinet lebih mahal lagi. Air baku yang biasa disebut air gunung, di Kota Bandung disebut air Gunung Manglayang, harganya antara Rp2.000 dan Rp2.500 per jeriken, isinya kurang lebih 20 liter. Air olahan PDAM harganya berbeda-beda dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya. Berbeda-beda juga harganya dari volume sedikit ke volume yang lebih banyak dalam sebulan. Artinya, sesungguhnya kita sudah menghargai air. Terutama dihargai oleh pengusaha, oleh pebisnis air.
Begitu pula, harga air akan semakin tinggi apabila digunakan untuk melarutkan zat-zat kimia menjadi minuman kemasan seperti minuman ringan (soft drink). Harga di supermarket, minimart berbeda dengan harga di warung. Harganya tambah mahal apabila air dijadikan bahan pelarut obat-obatan seperti sirup dan cairan infus. Tempat juga menambah harga air. Air kemasan yang sama akan melejit harganya apabila dibeli di bandara. Lebih mahal lagi kalau dibeli di dalam pesawat selama penerbangan. Sungguh, air sudah dihargai tinggi. Perlukah menghargai air lagi?
Harga variatif air tersebut tentu ada sebabnya. Ada aspek finansial yang berkaitan dengan biaya investasi (investment cost), biaya operasi (operational cost), biaya pemeliharaan atau perawatan (maintenance cost) yang semuanya menuju pada harga (tarif) air per satuan produk (integral cost) pada air jeriken, air minum kemasan ulang, air minum kemasan, air minum yang menjadi pelarut di pabrik farmasi, makanan dan minuman. Harga air pun bisa berbeda karena sumber airnya. Air sungai yang diolah menjadi air minum akan jauh lebih mahal harganya dibandingkan dengan air dari mata air atau air tanah. Ini adalah cara menghargai air versi pebisnis.
Air Banjir
Bagaimana cara menghargai air versi masyarakat yang bukan pebisnis air minum? Mayoritas masyarakat bukanlah pebisnis air. Bukan pemilik pabrik air minum, bukan pemilik depot air minum kemasan ulang, bukan pemilik bisnis air jeriken, bukan pemilik pabrik sirup, soft drink, obat dan makanan minuman. Juga bukan pemilik laundry dan bengkel cuci mobil. Mayoritas adalah sebagai konsumen air dan produk-produk berbasis air minum.
Sudahkah kita, warga Jawa Barat, menghargai air hujan? Tiga bulan terakhir ini banjir terjadi di banyak daerah di Jawa Barat. Sudahkah kita menghargai air banjir? Mengapa harus dihargai, bukankah banjir itu membuat masyarakat sengsara? Kerugian akibat banjir meliputi harta dan nyawa, fisiologis dan psikologis. Bisa terjadi berulang-ulang dari tahun ke tahun di lokasi yang sama. Aneh, tetapi begitulah faktanya. Hujan tidak bisa dicegah turunnya, tidak bisa dihalangi, tidak bisa dibatalkan. Seringnya kegagalan semai awan hujan membuktikan bahwa hujan sulit dikendalikan oleh manusia.
Yang bisa dikendalikan adalah di permukaan tanah. Kendalikan luas hutan di bukit dan gunung, luas hutan kota, jenis bahan perkerasan jalan mobil, jalan setapak, dan lokasi perumahan. Gunakan teknologi agar air hujan lebih banyak masuk ke dalam tanah dan ditampung di permukaan tanah di embung, kolam, waduk, sawah, rawa, selokan, dan teknologi tepat guna seperti biopori, bidang resapan, sumur resapan. Panen air hujan, rain water harvesting.
Menghargai air hujan yang menyebabkan banjir bisa dilaksanakan oleh semua orang. Menghargai air termasuk air hujan sebagai barang sosial sudah ditetapkan di dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Pendiri bangsa, the founding fathers kita sudah demikian tinggi menghargai air, meneguhkan spirit dasar bahwa air digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apakah menghargai air dengan spirit versi pengusaha diperkenankan? Pembatalan UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) membuktikan bahwa air selayaknya memberikan kemudahan untuk hajat hidup orang banyak.
Penggantinya yaitu UU No. 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menjadi penegasan kembali pasal sosioekologi (pasal 33 UUD 1945). Pada pasal 7 dinyatakan bahwa SDA tidak dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha (bisnis). Begitu juga hak rakyat atas air bukan berarti kepemilikan atas air melainkan hanya untuk memperoleh dan menggunakan sebagian kuota air sesuai dengan alokasinya.
Apabila air banjir saja harus dihargai, apatah lagi air yang lebih bersih seperti air PDAM atau air minum kemasan. Salah satu cara menghargai air adalah hemat air. Seseorang yang memiliki uang miliaran rupiah tentu mudah membeli air minum. Bahkan air pencuci mobilnya pun berkualitas seperti air minum. Air mandi berkualitas air minum. Tetapi merujuk pada pasal sosioekologi tersebut maka perilaku ini termasuk buruk dan egois. Sebab, masih banyak orang yang sulit memperoleh air minum yang layak diminum. Banyak yang terpaksa minum air keruh, air tercemar untuk mencuci sayur, daging, dan beras. Menggunakan air keruh dan kotor untuk mandi dan mencuci piring dan gelas. Hemat air pun perlu dilaksanakan pada waktu berwudhu dengan cara membuka kecil kran air sehingga efisien. Mandi juga demikian, berupaya hemat air.
Dua versi menghargai air tersebut, yaitu versi pengusaha (pebisnis) dan versi orang awam (bukan pebisnis air) hakikatnya adalah saling membutuhkan. Apabila asasnya adalah pasal sosioekologi UUD 1945 maka ada titik temu antara keduanya. Titik temu menjadi harmonis apabila perusahaan memberikan corporate social responsibility (CSR)-nya untuk penanaman pohon di kota-kota, pembuatan wetland dan kolam retensi di lokasi yang tepat secara teknis, memberikan perangkat pengolahan air minum komunal untuk masyarakat di daerah rutin banjir, termasuk filter pengolah air banjir agar warga masih bisa memperoleh air untuk MCK dengan memanfaatkan air banjir di sekelilingnya.
Hargailah air (banjir) maka air akan menghargai kita: cukup kuantitasnya, baik kualitasnya, tersedia 24 jam sehari semalam. *