STASIUN
KROYA
Sudah
lupa, kapan pastinya saya kali pertama (bukan pertama kali, menurut EYD atau
PUEBI) naik kereta api. Yang pasti waktu itu masih di SD. Waktu ke Bandung. Waktu
itu adalah zaman “seadanya”. Kereta masih dikelola seadanya. Yang penting kereta
bisa jalan. Bisa antar penumpang. Rasa nyaman belum dijadikan prioritas. Kondisi
aman pun belum diutamakan. Pernah terjadi kecelakaan tragis pada tahun 1987. Bulan
Oktober. Waktu itu saya tinggal di Bandung. Di Lebak Gede yang sekarang menjadi
Sabuga ITB. Dua kereta api seperti “adu domba”, berjalan di rel yang sama. 156
orang meninggal, 300-an luka-luka. Lantas difilmkan dengan judul Tragedi
Bintaro.
(Foto diambil dari Wikipedia).
Tentu ada sejumlah kecelakaan kereta lainnya. Ada yang tergelincir dari relnya, ada yang menabrak motor, mobil, bis, truk, dll. Tapi biasanya kereta terus melaju karena umumnya dalam posisi yang benar. Yang salah adalah pelanggar rambu lalu lintas, pelanggar lintas batas palang rel dan jalan raya, Namun demikian, kereta api
tetaplah dicinta, disukai, dan dibutuhkan. Tiada hari tanpa kereta yang berjalan di atas relnya. Kali ini saya akan cerita perihal
stasiun kereta api. Namanya Kroya. Singkat dan enak didengar. Terdengar seperti
Korea atau Keria atau Karya.
Saya
tidak ingat lagi (waduh… tidak ingat lagi?). Waktu sekolah di SD, ada buku
pelajaran bahasa Indonesia. Salah-satu topik bahasannya berjudul “Ke Kroya”
atau Pergi ke Kroya”. Saya berharap semoga saya bisa menemukan buku itu lagi,
entah di pedagang loak atau di perpustakaan. Saya berkesan membaca cerita
tentang Stasiun Kroya di buku itu. Apalagi di Bali tidak ada kereta api pada waktu itu. Sampai
sekarang. Kesan itu terpatri kuat sampai akhirnya naik kereta api pada kali
pertama itu. Akhirnya sering juga naik kereta api, pergi-pulang, selama menjadi
mahasiswa di ITB. Kadang-kadang naik kereta ekonomi, kadang-kadang kereta
bisnis. Naik kereta api Mutiara Selatan: Bandung-Surabaya Gubeng dan Mutiara
Timur: Surabaya Gubeng- Banyuwangi (stasiun lama, bukan stasiun Banyuwangi Baru
yang dekat pelabuhan Ketapang).
Kembali
ke cerita tentang Kroya. Saya tidak ingat lagi (hhmm… memang tidak pernah diingat?)
kapan lagu Di Tepinya Sungai Serayu dijadikan lagu kedatangan kereta di Kroya. Saya
terkesan pada lagu ini. Setiap memasuki stasiun Kroya selalu saja menantikan
lagu ini. Belakangan saya baru tahu, lagu itu diperdengarkan juga di Maos dan
Purwokerto. Malah stasiun Purwokerta adalah pelopornya. Begitu katanya. Tetapi
Kroya menjadi berkesan karena ada di buku pelajaran SD pertengahan dekade 1970-an.
Namanya singkat, enak di dengar, hanya dua suku kata. Kro dan Ya. Kroya. Ternyata,
ini juga saya baru tahu belakangan, Kroya adalah stasiun pertemuan jalur kereta
api dari Bandung, Cirebon, Jogja, Surabaya. Hhmm.. sibuk sekali stasiun
ini. Padat, merakyat, semangat. Seperti semangat Achilles di dalam film Troya. Kuda Troya, ini juga film yang bagus...
Baiklah,
lagu kedatangan kereta di stasiun yang berketinggian +11 m (mdpl: , meter di atas permukaan laut) disematkan di bawah ini. Ini diunduh dari kanal youtube milik Anwar Zakaria, https://www.youtube.com/watch?v=L53qhC-fpHY
ReadMore »