• L3
  • Email :
  • Search :

30 Juni 2025

Manusia Otentik, Kompas, ChatGPT, dan Membaca

Manusia Otentik, Kompas, ChatGPT, dan Membaca

Pada pekan terakhir Juni 2025 ini saya memperoleh tambahan informasi perihal manusia dan literasi atau baca-tulis dari tiga sumber, yaitu khutbah Jumat, 1 Muharam 1447 H atau 27 Juni 2025 di masjid Assalaam, kanal Youtube NU Online (28 Juni 2025) dan HUT ke-60 koran Kompas (30 Juni 2025 di Kompas TV).

Saya mulai dari tuturan Dr. Fahruddin Faiz di NU Online. Sudah beberapa kali saya mendengarkan ceramahnya di Youtube, khususnya yang tayang di MJS Channel. Temanya mayoritas filsafat. Tema kali ini adalah "manusia otentik", saya simak dari kanal Youtube NU Online sejam setelah tayang. Belakangan ini gawai ponsel saya kerapkali tersambung ke NU Online lantaran saya beberapa kali menyimak istilah Wahabi Lingkungan dari Gus Ulil, seorang ketua di PBNU yang juga tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal). 

Manusia otentik dipaparkan mulai dari Heidegger, Nieztsche, hingga Imam Al Ghazali dan Ibnu Arabi. Satu kata penting yang merelasi ke makna manusia otentik adalah insan kamil, manusia sempurna, paripurna. Tentu sosok paripurna ini hanya bisa dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak ada sosok manusia selain nabi yang sempurna. Istilah ini adalah batas cita-cita tertinggi yang perlu dicapai oleh manusia. Perilakunya mendekati akhlak karimah. 

Di bagian awal ceramahnya, dosen UIN SuKa Yogyakarta ini menyatakan bahwa ChatGPT tahu semua jawaban. Beliau berkata bahwa beliau menugaskan mahasiswa sekelas menulis makalah dengan tema yang berbeda tetapi hasilnya, ternyata, formatnya sama. Diduga kuat, mahasiswa menggunakan prompt yang sama, kemudian di-copas atau diedit sedikit. Berarti, ini sudah tidak otentik, demikian katanya. Penggunaan AI akan meniadakan kemanusiaan manusia sejati dalam berpikir, yang dimulai dari membaca dan menulis. Tulisannya bukan hasil analisis dan sintesis olah pikir, olah rasa, dan olah dayanya.  

Hal tersebut, yaitu ChatGPT, disebut juga di dalam wawancara wartawan Kompas dengan penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2025. Wawancara singkat tersebut ditayangkan di acara HUT ke-60 koran Kompas, dihadiri oleh wakil ketua DPR, para menko dan para menteri serta dua orang penerima penghargaan kepenulisan. Nama penerima hadial Nobel Perdamaian adalah Maria Ressa. Dalam jawabannya, ia menyatakan bahwa 16% jawaban ChatGPT adalah salah. Penggunaan ChatGPT juga berarti tidak faktual. Apabila jurnalis menulis dengan hanya mengandalkan bantuan AI maka jurnalisme akan mati. Siapa yang akan mengisi ekosistem informasi? 

Pertanyaan retoris penerima Nobel tersebut sepatutnya menjadi perhatian kalangan akademisi di pendidikan dasar dan menengah hingga perguruan tinggi. Juga harus menjadi PR (homework) serius Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Menteri Pendidikan Tinggi dan Saintek. AI yang di luar kendali akan merusak kemampuan literasi rakyat Indonesia. Akan tiba masanya, banyak karya tulis atas nama seseorang tetapi kemampuan riil penulisnya tidak sesuai dengan faktanya. Tidak otentik. 

Bertajuk Gala Literasi Nusantara, koran Kompas membuktikan diri sebagai penjaga bahasa Indonesia, pencipta kosakata, pemapan ejaan, dan menjadi suluh bagi literasi anak bangsa. Dalam skala yang lebih luas tentu termasuk juga semua koran dan majalah lainnya, seperti koran Pikiran Rakyat di Bandung, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Jawa Pos, dll. Semua media cetak yang juga sekarang hadir di ranah digital hendaklah senantiasa mengandalkan kemauan dan kemampuan membaca dan menulis. Bukan copy-paste, salin-tempel. Jurnalis wajib berperilaku benar dalam literasi. Bagi masyarakat umum, yang terpenting adalah mau membaca. Bagi akademisi, ditambah dengan mau menulis yang otentik, mengutip dilengkapi dengan sumber kutipan (sitasi). 

Perihal membaca dibahas pula oleh khatib di masjid Assalaam, pada 1 Muharam 1447 H atau Jumat 27 Juni 2025. Minimal, kata khatib, ada tiga kosakata yang berkaitan dengan membaca tetapi berbeda maknanya.

(1) Qara’ah atau iqra seperti di dalam surat al Alaq; maknanya membaca tanpa paham arti atau maknanya. Yang dipentingkan adalah lancar membaca, bisa betul, bisa salah. Misalkan seseorang membaca al Qur’an di kamarnya dan tidak ada rasa malu atas kesalahan dalam membaca. Yang penting lancar membaca saja. Baik atau tidak, lancar atau tidak, betul atau salah tidak menjadi perhatian. Ini seperti murid SD yang sekadar lancar membaca tanpa paham maknanya.

(2) Tartil, ini sudah lebih tinggi daripada qara’ah. Misalnya membaca yang sesuai dengan makhraj, sifat huruf, tajwid, tanca baca. Ini biasa dilaksanakan dalam bulan Ramadhan. Membaca sudah diikuti oleh cara membaca yang benar atau tahsin. Tahsin bukan memperbagus langgam atau nada bacaan seperti yang banyak dipahami orang tetapi membaca secara tartil. Taraf ini hendaklah dimiliki oleh murid, guru, dosen dan mahasiswa. Sudah mampu memahami ilmu, mampu mengolah dan mampu melaksanakan. 

(3) Tilawah adalah tingkat tertinggi membaca, yaitu mampu memahami arti, makna, maksud ayat yang dibaca. Membaca secara tartil plus paham makna dan tafsirnya. Tingkat tertinggi ini mampu memproduksi ilmu baru, menuliskannya dan menyebarkannya ke khalayak ramai. Inilah peran cendekiawan, manusia otentik berdedikasi tinggi pada literasi. 

Akhirnya, kata-kata bermakna dari penerima Nobel Maria Ressa, sentilan Dr. Fahruddin Faiz perihal tugas makalah yang mengandalkan ChatGPT dan materi khutbah tentang tiga tingkat membaca dapat dijadikan renungan bagi kalangan akademisi, yaitu mahasiswa S1, S2, S3 dan dosen-dosennya. 

Menjadilah manusia otentik. Orang asli, original, tidak palsu.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar