The World (Forest) Is Not Enough
Oleh Gede H. Cahyana
“Banyak orang tahu tentang bulan tapi tak tahu luas hutan di bumi,” komentar Persson, 1974.
Hari Bumi - setiap 22 April - selalu menjadi perbincangan. Menjelang, pada saat atau setelah hari itu, selalu dipenuhi oleh kegiatan ilmiah pada tataran formal berupa seminar. Biasanya menghadirkan keynote speaker dari kalangan menteri, dirjen, dosen dan kelompok LSM atau yang setara dengan itu. Liputan media pun tak mau kalah. Penuh dengan jargon, ungkapan atau simbol yang diperolehnya pada seminar tersebut yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Perubahannya hanya pada kata dan kalimatnya saja. Intinya ialah “Dengan Semangat ……. maka Mari Tingkatkan………. atau “Bumi Hanya Satu, Mari Peduli” atau “Mari Tingkatkan Devisa melalui Konservasi Hutan dan Air” dan jargon-jargon lainnya.
Lalu, mari kita cermati sedikit dari kondisi bumi ini. Apakah seminar penuh jargon yang selanjutnya lenyap terempas zaman dan ramai lagi setahun kemudian itu sudah cukup dan dapat memperbaiki Bumi kita? Sebab, menurut “Population Bulletin” Vol. 54 No. 1 Maret 1999, Bumi telah dihuni oleh lebih dari enam miliar orang yang semuanya butuh makan, minum dan perumahan. Sedangkan ketika KTT Bumi+5 tahun 1997 yang lalu -- seperti diturunkan Kompas 23/6/97 -- ada 1,3 miliar manusia di Bumi, 800 juta diantaranya tinggal di negara sedang berkembang, berada di bawah garis kemiskinan. Dua miliar orang tak memiliki akses air bersih dan 3,1 miliar orang tak memiliki fasilitas sanitasi yang sehat.
Sebuah laporan lain, dari The World Bank 1997, sekira 900 juta orang di 100 negara menghadapi masalah desertifikasi (penggurunan) disebabkan oleh interaksi kompleks antara faktor fisika, biologi, politik, sosial, budaya dan faktor ekonomi dengan kerugian mencapai US $42,3 miliar per tahun. Bahkan disinyalir, tahun 2025 nanti, desertifikasi akan dirasakan oleh 1,8 milyar orang karena sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan tropis hilang dan laju kehilangan hutan tropis pada dekade 1970 sebesar 11,3 juta ha per tahun meningkat menjadi 15,4 juta ha per tahun pada dekade 1980-an. Di Indonesia ? merujuk International Union Concervation for Natural (IUCN) -- kerusakan hutannya mencapai 2,4 juta kh/tahun dan kini tinggal 70 juta ha atau hanya 50%-nya. http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/24/nas10.htm
Selanjutnya, keragaman hayati (biodiversity) daratan yang punah mencapai lebih dari 80% akibat pembukaan hutan dan pembakaran/kebakaran yang menyumbang 30% sumber emisi karbon atmosfer. Hal itu terjadi karena siklus bakar selalu terjadi di setiap belahan Bumi. Di Indonesia, pada tahun 1997, bencana nasional dengan taraf siaga satu, telah mengganggu kenyamanan hidup 20 juta orang dengan taksiran kerugian 4,4 miliar dollar AS. Dan itu terjadi di 25 provinsi, di semua pulau-pulau besar. Ada 176 perusahaan yang terlibat, lima di antaranya sampai ke pengadilan. Namun kasusnya tenggelam tanpa penyelesaian yuridis.
Ini contoh lain. Satelit NOAA telah memantau ratusan titik panas (hotspot) pada Maret 2000. Yang dikatakan titik itu hakikatnya bukanlah noktah tetapi bentang api. Sudah belasan perusahaan di Sumatera dan Kalimantan pemegang konsesi disinyalir melakukan pembakaran. Dan jika memang hutan yang dibakar, berarti ancaman bagi ekosistem hutan hujan tropis yang kaya dengan keragaman hayatinya. Jika lahan yang dibakar maka kerusakan juga terjadi pada ekosistem di semak belukar itu, termasuk yang di dalam tanah. Terlepas dari apakah yang dibakar berupa hutan atau lahan, yang pasti asapnya telah mengepul menutupi langit biru di lima provinsi yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Atau ada daerah lain yang akan menyusul?
Bulan Maret pada tahun itu, pemda Riau - provinsi terparah dengan ratusan bentang api - telah menyarankan warganya agar memakai masker jika ke luar rumah. Temperatur udara luar mencapai 38 derajat Celcius dengan rentang jarak pandang 200-500 m saja! Jelas penciutan visibilitas tersebut membahayakan transportasi darat, laut dan udara. Kecelakaan dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Polusi asap ini pun, seperti tahun 1997, telah sampai ke negara jiran Malaysia dan Singapura. Tepatlah jika Presiden menyatakan bahwa kebakaran (pembakaran) hutan/lahan sebagai skandal nasional, menjadi cause celebre, karena tindakannya tak bertanggung jawab, melawan konsep ecodevelopment, merugikan ekonomi dan kesehatan rakyat. Juga mempercepat pemanasan global akibat gas CO2. Karena itu, pelakunya dikategorikan sebagai penjahat lingkungan.
Tapi sekarang kita bisa berlega hati karena sampai awal April 2006 ini, belum terdengar (mungkin saja sudah terjadi, tapi tak terberitakan di media massa) kasus kebakaran lahan atau hutan.
“Penyiksaan” hutan
Hutan, yang dalam pewayangan diekspresikan sebagai “gunungan” adalah lambang kemakmuran, gemah ripah loh jinawi. Fungsi estetika, dekoratif dan sosioekologinya mempengaruhi eksistensi manusia. Sebaliknya, manusia pun mempengaruhi kondisi lingkungan. Jadi ada saling ketergantungan. Di antara manfaat hutan yang paling terasa adalah sebagai sumber pangan dan papan (perumahan). Visualisasi keindahannya dipertegas lagi oleh keajaiban mekanisme reproduksinya yang berpasangan jantan-betina.
Interaksi historis hutan -- bagai baju dan ornamen bumi, kaya dengan dinamika populasi -- dengan manusia, sangat kompleks bahkan acap bertentangan (ambivalen). Di satu sisi, perannya sebagai sumber daya kehidupan (resources) tetapi di lain sisi sering dianggap perintang (obstacle), dikhawatirkan menjadi kendala dalam kesejahteraan. Pembabatan hutan untuk pertanian, perkebunan dan pemukiman adalah beberapa contohnya. Juga sering muncul konflik antara pemanfaatan hasil hutan dengan fungsi konservasi flora-fauna untuk riset dan rekreasi.
“Penyiksaan” hutan dalam ujud deforestasi, sebuah trend dominan di hutan tropis, sudah berjalan ribuan tahun (millennia) sejak ditemukan cara bertani dan berkebun. Sekelompok masyarakat yang homogen dalam perilaku sosial budaya, memiliki perspektif khas terhadap hutan. Model peladangan berpindah adalah satu fenomena yang masih berlangsung, dianut taat oleh sebagian suku di Indonesia. Cara pandangnya berasumsi bahwa hutan, sebagai bagian kehidupan, menjadi milik bersama dalam tradisi komunal kesukuan (tribalisme). Warga boleh mengambil manfaat dari semua komponennya tetapi dilarang keras merusaknya. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0408/05/daerah/1190683.htm
Secara temurun, para peladang berpindah itu, memiliki kearifan yang tinggi, tidak serakah dan hanya untuk kebutuhan primer (subsistence goals). Selain itu, persepsi terhadap animisme dan dinamisme atau pada kalangan beragama yang percaya pada kekuatan supranatural atau mistik ikut melestarikan fungsi hutan. Mereka misalnya, takut menjamah (apalagi merusak) daerah yang dianggap keramat berpohon besar atau ada satwa yang dianggap titisan dewa. Beberapa karakter itulah yang mendukung mereka dalam pemulihan (recovery) hutan.
Selanjutnya, perkembangan populasi manusia memperberat “penyiksaan” terhadap hutan. Itu terjadi karena manusia memerlukan lahan dan fasilitas perekonomian. Di antaranya berupa kebutuhan pemukiman (daerah transmigrasi), perkebunan (sawit, karet, lahan gambut sejuta hektar yang gagal total) dan industri kayu (timber) dan yang berbasis kayu. Juga perubahan struktur sosial, pergeseran nilai budaya dan gaya hidup peladang yang terimbas westernisasi adalah kontributor peladangan yang destruktif.
Satu dampak perubahan pola peladangan dan konsep kepemilikan hutan, yang menjadi causa prima kerusakan hutan dan lahan adalah kebakaran (pembakaran) hutan. Mungkin, awalnya hanyalah untuk membuka areal pinggir hutan. Namun kondisi cuaca dan hembusan angin mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah bakar. Faktor pendukung yang lain ialah kondisi geologi hutan (berbatubara), bergunungapi dan peristiwa alam (jarang terjadi di daerah tropis) seperti kilat. Juga gesekan ranting dan daun kering saat kemarau. Tentu penyebab terbesar adalah pembukaan lahan dengan pembakaran, seperti yang terjadi sekarang. http://pikiran-rakyat.com/cetak/0704/06/1103.htm
Kepemilikan dan regulasi
Hutan, sementara ini, dimiliki oleh “raja hutan”. Mereka, para raja itu (yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan) memegang konsesi yang sangat luas. Dekade 1980-an saja, ada lebih dari 500 konsesi mantap/ established. Tentang kepemilikan ini (ownership), ada baiknya kembali ke spirit yang diilustrasikan oleh pasal 33 UUD 1945 ayat 3. Bahwa negara-- empunya hutan -- wajib memanfaatkannya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan gamblang tanpa perlu penafsiran panjang, dinyatakan bahwa hutan adalah milik negara (state ownership).
Memang, seperti halnya bahan tambang, dalam pemanfaatannya negara boleh melakukan kerjasama (joint ventures) dengan perusahaan swasta (domestik atau asing) yang punya modal dan teknologi. Namun selama ini, konsesi itu terlalu berat sebelah, tidak balance. Terlalu jauh merugikan negara dan rakyat (pekerja). Porsi keuntungan terbesar masuk ke saku “Sang Raja”. “Kepemilikan” hutan seolah-olah menjadi absolut. Rogohan tangan pengusaha terlampau dalam sehingga keluar dari koridor konstitusi. Tidaklah mengherankan jika kemudian para pengusaha (concession holders) tersebut memiliki akselerasi yang besar, menjelma menjadi konglomerat baru (yang sangat rapuh).
Sebetulnya, spirit dari pasal ekologi di atas adalah menjadikan hutan sebagai milik bersama (common property). Kepemilikan komunal dengan kepemilikan negara seperti dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan. Walaupun dari sisi historis, objek kepemilikan tersebut berbeda. Tujuan kepemilikan komunal atau kesukuan yang sudah berlangsung abadan (berabad-abad) hanyalah konsumtif belaka sedangkan orientasi negara (state ownership) lebih luas lagi meliputi ekonomi global, proteksi lingkungan, riset dan preservasi. Yang terakhir ini diperkuat oleh kesepakatan pada Konferensi Stockholm di Swedia, Bulan Juni 1972 dan dijadikan Hari Lingkungan Sedunia setiap tanggal 5 Juni.
Dari sisi peraturan, sebenarnya pemerintah telah memiliki perangkat hukum yang cukup. Paling tidak, sejak Konferensi Stockholm tersebut, produktivitas pemerintah pusat dan daerah sangat tinggi dalam merilis peraturan. Yang masih hangat, sebut saja Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23/1997 dan Undang-Undang tentang hutan tahun 1999. Namun kesulitan penegakannya mungkin karena ada tarik ulur berbagai kepentingan. Saling lempar tanggung jawab. Bahkan diisukan justru aparat penegak hukumnya yang lemah. Dan ini berlaku untuk semua kasus besar yang bermuatan politis dan antri di kejaksaan saat ini!
Di sinilah para pecinta dan pengamat lingkungan menghimbau good will pemerintah agar serius menangani masalah pelecehan lingkungan. Mereka, para pelanggar, selain melecehkan etika lingkungan dan menganggap sepi bahaya yang akan muncul (ignorance) juga serakah sebagai manusia ekonomikus. Selama ini, dengan alasan pertumbuhan ekonomi, tindakan hukum terhadap pelanggaran dinomorduakan. Mengejar target ekspor kayu gelondong dan olahannya, ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan kebun karet yang butuh lahan luas, lebih diprioritaskan. Selain itu adalah isu signifikan pada ratusan ribu peluang kerja di sektor perkebunan dan industri berbasis kayu. Diakui bagaimanapun juga, sektor kehutanan memberi kontribusi besar pada pengembangan sosioekonomi Indonesia, setelah minyak bumi (dulu) dan gas.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa kebijakan kehutanan (lingkungan) masih dicirikan oleh ketidakjelasan, kebingungan dan ketidakpastian. Banyak menarik perhatian namun kurang memegang komitmen dan agreement yang disepakati pada rumusan awal. Penegakan hukum berada di simpang jalan, ragu mengambil arah pasti. Ambillah contoh ancaman pembatalan konsesi atau pencabutan HPH seperti sering didengungkan. Jika dilaksanakan, dampaknya sangat luas. Ekspor hasil hutan dan olahannya pasti turun. PHK menjamur sehingga menambah biaya sosial masyarakat. Kejahatan pun meningkat. Namun jika hukum tidak ditegakkan, maka cita-cita Menteri LH dan Menhut, akan memfosil seperti sebelumnya. Justru inilah tantangannya untuk membuat solusi alternatif dan terobosan baru yang optimal.
Sekali lagi, survivalitas hutan (lingkungan) sangat tergantung pada kontrol dan regulasi. Berbagai kebijakan yang tertuang di dalam perundang-undangan, harus dijamah dan ditegakkan (enforcement) untuk mewujudkan pentaatan hukum (compliance). Diperlukan penaatan hukum yang kredibilitasnya tinggi dengan peraturan yang jelas dan tegas. Ada konsistensi sanksi, adil dan ada kemauan politik penguasa dan pengusaha. Setiap keputusan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosioekologi karena masyarakat selalu terpojok menderita social cost yang besar termasuk kenyamanan hidup. Jangan ditunggu terjadinya gerakan massa, people power karena pengusaha dan penguasalah yang akan rugi. Mega kasus PT Inti Indorayon Utama, dapat dijadikan refleksi diri.
Sebuah harapan
Kembali ke kasus kebakaran hutan dan lahan. Terlepas dari apakah aparat proaktif ataukah reaktif terhadap kasus tersebut, ada nilai positif dari reaktivasi Bakornas Penanggulangan Bencana, pelibatan instansi lintas sektoral, tindakan aktual di lapangan dan peringatan keras kepada pelanggar. Hanya saja perlu diingat bahwa hal tersebut telah pula dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, dulu pada masa Orde Baru. Hikmahnya dijadikan pelajaran agar tidak menjadi macan ompong, kelihatannya buas namun tanpa daya (impoten). Dicari saat ini, aparat yang berani -- betul-betul berani melawan arus -- untuk mengganjar para penjahat lingkungan, secara administratif dan pidana. Mereka, saat ini adalah the most wanted.
Marilah berandai-andai! Seandainya kasus pembakaran hutan/lahan ini berakhir antiklimaks seperti kasus 1997 dulu, tanpa penyelesaian yuridis proporsional, maka komitmen pemerintah sekarang (baca: politisi anggota kabinet) terhadap lingkungan menjadi ecotopia. Terjadi kontraproduktif pada kebijakan sosioekologi dan ekonomi pemerintah. Jika berlanjut terus, akan ada pemboikotan pada era perdagangan bebas yang menerapkan ecolabelling. Memang, sampai saat ini dampak negatif gegar dagang bebas itu belum terlalu kentara.
Akhir kata, setiap orang punya hak atas komponen lingkungan. Selain mengambil manfaatnya, dia wajib mencegahnya dari kerusakan. Maknanya, hutan boleh dieksploitasi namun harus tetap berada di dalam daya dukungnya. Fungsi kontrol dan manajemen sumber daya dijalankan dengan pendekatan integratif multidisiplin agar eksploitasi tidak destruktif. Masyarakat dilibatkan dalam fungsi kontrol karena dia sekaligus menjadi subjek dan objek di dalam lingkungan. Pembelajaran adalah salah satu caranya agar melek ekologi dan hukum. Jelaslah bahwa regulasi (hukum) dibuat bukan untuk menyempitkan ruang gerak tetapi untuk mengekalkan fungsi lingkungan agar tetap dapat menunjang mutu hidup generasi mendatang.
Kini, setujukah Anda jika hutan (lingkungan) adalah titipan dari anak-cucu kita?*