• L3
  • Email :
  • Search :

2 September 2007

Stakeholders, Zebralis

Alhamdulillah, beberapa kata bentukan yang saya rilis sudah berterima dan lumrah ditulis serta diungkapkan di media massa cetak dan elektronik.

Di luar ilmu ke-TL-an (Teknik Lingkungan), khususnya di luar bidang air minum dan air limbah, ada sejumlah kata yang kian populer. Yang pertama ialah kata stakeholders yang saya padankan dengan kata pemangku. Riwayatnya, kata pemangku ini saya pilih karena ingat kata pangku. Bayi atau anak-anak biasanya dipangku orang tuanya sebagai tanda sayang, melindunginya agar tidak jatuh, dll. Ini semacam kepedulian orang tua terhadap anaknya. Oleh sebab itu, kata tersebut lantas saya angkat dan dirilis di beberapa artikel saya, baik di koran maupun di Majalah Air Minum (MAM) terbitan Perpamsi (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) dan juga di buku saya. 

Dalam perkembangannya, kata pemangku itu lantas ditambah dengan kata bentukan lain, yaitu kepentingan. Jadilah sekarang kata stakeholders (dengan s, bukan stakeholder) yang memang berarti jamak sudah dipadankan dengan kata (frase) pemangku kepentingan dan sudah berterima di kalangan wartawan, penulis, politisi, birokrat, dan akademisi. Hanya saja, saya masih belum setuju pada kata (lebih tepat: frase) itu karena relatif panjang, terdiri atas dua kata bentukan, bukan kata dasar. Saya lebih suka menggunakan kata pemangku saja untuk kata stakeholders itu lantaran lebih ringkas, singkat dan padat artinya, dan sekaligus dapat diartikan sebagai bentuk jamak. 

Selanjutnya adalah kata ecotribalisme? Kata ini memang tak akan dijumpai di kamus kita. Bentukan kata ini disusun oleh kata eco, tribal, dan isme. Eco merujuk pada ecology (ekologi) yang dibentuk oleh kata oikos (rumah, tempat tinggal) dan logos (ilmu). Tribal merujuk pada makna suku, adat kebiasaan suatu masyarakat yang biasanya mengarah ke kaum tradisional atau “orang awam” yang tinggal di desa, gunung, atau tepi hutan. Isme, seperti makna umumnya, ia ditempelkan pada kata tersebut untuk memberikan kesan kuat. Isme sudah menjadi semacam anutan yang sulit dilepaskan, nyaris dipertuhankan. Katakanlah demikian. 

Jadi, ecotribalisme (in English) atau ekotribalisme (in Indonesian) adalah masyarakat (suku) yang memiliki kepedulian pada ruang hidupnya (lingkungan) dan selalu berupaya melestarikan fungsinya. Ini definisi yang panjang. Kalau diperpendek juga boleh-boleh saja. Mudah-mudahan kata ini berterima di hadapan kalangan ahli bahasa Indonesia, suatu saat kelak. 

Yang juga saya usulkan ke khalayak adalah kata zebralis. Bentukan kata ini sebagai padanan kata barcode. Mendengar “barcode”, pastilah orang yang sering berakrab-akrab dengan buku sudah tak asing lagi. Barcode adalah gambar garis hitam putih yang biasa ditaruh di cover (sampul) belakang buku, di bagian bawah (bisa di kiri, bisa juga di kanan). Gradasi warnanya memang mirip kulit hewan zebra atau mirip zebra cross di jalan-jalan besar dan ramai. Diberi kata “lis” karena dikaitkan dengan format garis-garis. Jadi, zebralis merujuk pada gambar belang seperti plang.

Yang lainnya adalah kata sosioekologi sebagai tafsiran atas pasal 33 UUD 1945. Kata ini saya lepas ke media dengan pertimbangan bahwa pasal tersebut, mulai ayat satu sampai dengan ayat tiga, terkait erat dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologi. Kalangan yang peduli lingkungan pun dapat disebut sebagai sosioekologis karena bisa dikaitkan dengan aspek relasi antara makhluk hidup (hewan, tumbuhan) dengan manusia. Dalam hubungan ini, selalu saja unsur lingkungan menjadi bagian tak terpisahkan dari hewan, tumbuhan, dan manusia. 

Bisa juga dikaitkan dengan kecerdasan lingkungan, sebagai turutan dari kata yang sudah populer sebelumnya, seperti Spiritual Intelligence. Lantas saya munculkan frase enviromental intelligence yang disingkat menjadi enviro intelligence. Kata ini saya pilih sebagai wadah dalam pusat studi lingkungan yang dinamai Enviro Intelligence Center. Harapan saya, semoga lembaga ini mampu berkembang dan menjadi pengajak orang untuk terus membela lingkungan, minimal dari rumah dan tingkat RT masing-masing lantas meluas ke SD, MI, SMP, MTs, SMA, SMK, MA, dan PT. 

Oleh sebab itu, saya mendukung pemberlakuan Mulok Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang baru dimulai pengajarannya pada Juli 2007 ini (awal semester ganjil 2007). Di beberapa sekolah sudah pula dirintis sejak Februari 2007 tetapi masih dalam tahap uji coba. Hanya sayangnya, belum semua guru dan sekolah siap melaksanakannya karena sulit dalam penyediaan guru PLH dan berat memasukkan Mulok PLH ke dalam kurikulumnya lantaran mata pelajarannya sudah banyak. Maka, jadilah PLH itu disisipkan di dalam pelajaran Biologi. 

Ada beberapa bentukan kata lagi yang sudah dirilis secara internal lewat kuliah-kuliah saya (umumnya padanan kata untuk sainteks ke-TL-an). Secara bertahap kata-kata tersebut akan dipublisitaskan di media massa, terutama media internet.

Demikian dan trims for your attention. See you later.

(Maaf, dicampur dengan bahasa Inggris. Tak ada maksud untuk merusak bahasa Indonesia, tetapi agar lebih variatif saja. Terlebih lagi bahasa Inggris sudah menjadi bahasa wajib dan diujikan dalam Ujian Nasional SMA di Indonesia. Artinya, semua tulisan dan suratan ini (juga semua isi blog ini) adalah demi pendidikan publik).
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar