Gedung Wahana Bhakti Pos di Jln. Banda No. 30 Bandung, pada suatu siang. Hari sudah menunjukkan pukul 10.05 Wib, 1 April 2008. Terjadi cekcok mulut antara penjaga pintu berseragam PNS Kota Bandung dan wartawan - warga. “Kami berhak masuk Pak, kami warga Bandung. Kamilah yang akan kena dampak buruknya,” terdengar suara lantang. “Maaf, kalau tidak ada surat undangan, tidak diizinkan masuk,” jawab penjaga itu.
Dari arah Jln. Riau tampak seorang ibu mendekati kerumunan. Ia juga minta izin masuk tetapi petugas bersikukuh pada pendiriannya. Tanpa undangan tak seorang pun boleh masuk ke ruang sidang Amdal yang sedang berlangsung di lantai 8. Selain harus terdaftar dalam undangan, untuk masuk ke ruang sidang wajib pula mengisi presensi di meja depan pintu ruang sidang. Ada 114 orang dan lembaga yang tertera di dalam daftar undangan, mulai dari wakil warga hingga menteri.
Karena tidak diizinkan masuk, ibu itu akhirnya bicara di depan khalayak di luar gedung Pos. PLTSa, ujarnya, akan menyengsarakan anak-anak kita, mengurangi daya pikirnya. Tadi saya melayat ke Prof. Otto Soemarwoto, kita kehilangan figur pembela lingkungan. Beliau kerapkali menulis bahwa pencemaran udara dapat menurunkan kecerdasan anak-anak. Apalagi kalau berasal dari sampah, pasti jauh lebih banyak lagi zat berbahayanya. Tak hanya anak-anak dan bayi yang kena dampak buruknya, tetapi juga kaum lansia dan muda-mudi. Paru-paru kita akan dipenuhi pencemar hasil bakaran sampah di PLTSa.
“Membangun PLTSa berarti tak peduli pada pendidikan, acuh tak acuh pada kecerdasan bangsa,” teriaknya lantang. “Betul... betul..., hidup Bu. Hidup Ibu Kartini!” Jumlah masa semakin banyak. Karena terdesak, saya mundur ke tempat parkir yang dipenuhi orang-orang berseragam loreng (tapi bukan tentara), tampak juga anggota polisi dan tentara. Bumiputra, kata Bu Kartini, akan terus terjajah kalau generasi mudanya rendah daya pikirnya, dininabobokan oleh PLTSa. Orang akan seenaknya melemparkan sampah di mana saja dan tidak belajar memanfaatkan tanah sebagai bioreaktor alami.
Tak hanya pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sekarang pun bumiputra masih dijajah. Kita dijajah oleh bangsa sendiri, oleh orang yang lebih peduli pada diri dan kelompoknya, acuh tak acuh pada warga lain. Padahal Kartini melawan penjajah. Ia ingin pintar, ingin sekolah ke luar negeri (Belanda) agar sepantaran dengan penjajah, bukan belanja, bukan shopping atau membeli mesin PLTSa yang justru menjadi sumber petaka bagi bumiputra. PLTSa merusak cagar budaya, cagar alam dan bangunan. Hujan asamnya mengorosi logam, beton dan debunya berisi zat berbahaya lalu melekat di daun, sayur, buah, dan air minum. Rumput dipenuhi dioksin lalu dimakan ternak sehingga daging dan susunya tercemar.
Lewat tengah hari, Kartini masih berorasi. Katanya, jangan sampai bencana di Seveso Italia pada Sabtu, 9 Juli 1976 terjadi juga di cekungan Bandung. Dioksin dari kasus Seveso menyebabkan ribuan orang menderita kanker darah, kanker hati, dan kandung empedu. Korbannya mencapai 17.000-an orang di Seveso dan 120.000-an orang di luar Seveso. Dioksin itu pun mengakibatkan 3.300-an ternak langsung mati dan dalam dua tahun pascabencana sudah 80.000-an ternak yang teracuni dioksin terpaksa dibasmi agar tidak dimakan manusia. Belum lagi sayur, sumber air, sumur, serangga yang dimakan ikan, dan buah-buahan. Semuanya terkontaminasi dalam waktu puluhan tahun.
Sementara diskusi masih berlangsung di lantai 8, Kartini terus mengajak warga untuk menolak PLTSa. Kartini pun mengingatkan bahwa sembilan tahun lalu, yaitu tahun 1999, Perdana Menteri Belgia Jean-luc Dehaene terpaksa lengser dari jabatannya akibat kasus dioksin. Akankah hal seperti ini harus terjadi dulu di Bandung? Apalagi disinyalir, dioksin dapat memengaruhi embrio laki-laki dalam kandungan sehingga ketika dewasa tampaklah sifat feminimnya (kewanitaan). Bayangkan kalau anak dan cucu bapak-ibu bernasib seperti ini di kemudian hari. Siapa yang harus bertanggung jawab? Sebab, pembuat PLTSa mungkin saja sudah meninggal pada 25 tahun yang akan datang.
Saya lihat, dari cara orasinya, Bu Kartini begitu geram pada penjajah yang memiskinkan bumiputra. Dari sisi ekonomi pun PLTSa mengurangi pendapatan pemulung karena sampah yang tinggi kadar energinya itulah yang dibutuhkan oleh pemulung. Rebutan antara pemulung dan PLTSa memunculkan masalah sosial. Itu sebabnya, Kartini tegas-tegas menolak pabrik penghasil pencemar berbahaya itu. Lewat surat-surat sahabatnya, Kartini diberitahu bahwa di Eropa dan Amerika, PLTSa justru ditolak dan diwanti-wanti agar bumiputera tidak menggunakan cara bakar-bakaran dalam mengelola sampah.
Apalagi PLTSa dapat merusak vegetasi, pepohonan di lereng pegunungan tatar Bandung. Kartini berkisah tentang jalan-jalan di Djapara yang ditumbuhi pohon kenari di kanan-kirinya. Teringat juga ia pada Gunung Muria yang anggun dengan lekukan puncaknya yang agak datar dan menjadi saksi bisu keasrian alamnya. Panorama ini dilihatnya dari sawah di Desa Bate, Djapara. Dalam semangat orasinya, tampak juga raut kesedihan mengingat di Muria nanti akan dibangun juga pembangkit listrik yang jauh lebih berbahaya daripada PLTSa, yaitu PLTN. Nuklir! Oh..., di mana akal sehat pengurus negeri ini? Ia sudah tak sabar ingin menulis surat untuk Nyonya Abendanon, Ovink-Soer, dan Nona Zeehandelaar dan bercerita tentang polah laku amtenaar di Oostindische sekarang, khususnya di Parijs van Java, der bloem der indische bergsteiden.
Akhirnya..., Kartini terisak-isak. Warga pun hiruk-pikuk, saya terdorong ke arah pintu gerbang di Jln. Banda. Saya terimpit lalu terpeleset. Jatuh. Saya... jatuh dari kursi panjang dan buku coklat tua terbitan Balai Pustaka, 1951 berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang karya Armijn Pane tergeletak di tangan kiri. Halaman 165 terbuka, di sebelahnya ada foto Gunung Muria. Jam menunjukkan pukul 23.43 Wib. Sambil mengingat-ingat mimpi tadi, saya menuju kamar tidur dan muncul kilasan kalimat Dr. Paolo Mocarelli di Seveso: I think this accident teaches us that it is better to take care of the environment before these things happen. Not after. Teringat juga saya pada frase yang sering ditulis Prof. Otto Soemarwoto (alm): prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Selamat Hari Kartini! *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar