Ahad, 14 September 2008 ini, tepatnya tadi pagi, saya menonton tayangan TVOne. Ada wawancara yang menarik. Seorang wanita, Ming Ming namanya, mampu membiayai kuliahnya dengan uang yang berasal dari jualan sampah plastik. Meskipun pemulung pekerjaannya, dia tetap percaya diri dan berbaur biasa dengan rekan-rekannya sesama mahasiswa/wi. Uang yang diperolehnya dari sampah pulungannya digunakan untuk biaya kuliah dan menanggung enam orang adik-adiknya. Perempuan belia yang melalui ritme hidup seperti ini sungguh merupakan fakta fenomenal, menurut saya. Ketika teman-teman sebayanya berdandan rapi nan necis, ketika mereka ajojing, ketika mereka menikmati “terbang” di kelab-kelab malam dan dansa-dansi di ujung malam, Ming Ming sedang menghitung hasil kaisannya di tong sampah pada hari itu.
Ditempa oleh keadaan keluarga dan lingkungannya, belia ini bercita-cita menjadi pengusaha di sektor kolektor plastik, sampah botol, dll. Sangat mungkin dia sukses seperti para kolektor dan distributor sampah besi, plastik, dll yang bahkan ada yang mampu ibadah haji dan/atau umrah berkali-kali. Makin banyak yang bergerak di sektor “buangan” ini maka makin mudahlah urusan sampah. Pemerintah, pemkot, pemkab, juga pemprov, tak perlu susah-susah lagi memikirkan cara mengelola dan mengolah sampah meskipun tidak menihilkan keperluan sanitary landfill (urugan saniter) dan pengomposan (composting). PLTSa apalagi, sangat-sangat tidak perlu lantaran mayoritas sampahnya sudah disortasi dan dipilah-pilah dengan konsep 3R atau 7R.
Fenomena Ming Ming menjadi bukti bagi pemerintah daerah yang ngotot ingin membuat PLTSa dengan memanfaatkan power-nya. Sayang sekali, kalau sampah yang bisa membiayai sekolah dan kuliah manusia malah dibakar habis lalu diubah menjadi polutan berupa gas berbahaya beracun dan sisa pembakarannya (arangnya) juga menimbulkan masalah baru. Akibatnya, belia putus kuliah makin banyak, pencemar tanah, air, udara makin banyak, dan masalah sampah pun tetap banyak, tidak tuntas diolah oleh PLTSa. Sungguh, PLTSa mewujud menjadi keputusan yang antisosial, anti pendidikan, dan anti lingkungan.
Setelah Ming Ming, ada satu belia lagi yang fenomenal diwawancarai TVOne. Belia ini seorang pria tunanetra. Ia buta sejak lahir. Namun, kekurangan fisiknya itu tidak menghalanginya menjadi lelaki prestatif. Sejumlah komposisi musik sudah digubahnya dan sudah pula menulis buku. Musik gubahannya bahkan mencapai seratusan. Bukunya yang pasti inspiratif bagi pembacanya (saya akan membeli bukunya), berjudul Blind Power, Berdamai dengan Kegelapan. Ia pun sudah menjadi blogger sejak 2003 dengan alamat www.ramaditya.com.
Dua orang yang dihadirkan TVOne, bagi saya, berkemampuan “menohok” kalbu kita. Ming Ming “menghujamkan” sampah ke hati pemerintah daerah yang hendak membakar sumber daya uangnya lewat PLTSa dan Eko mengusik para penulis melek agar berkemampuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang “tidak melek”. Sungguh, dua belia ini adalah “parcel” Ramadhan kali ini, bagi saya.
Jadi, sampah adalah sumber daya, bukan musuh yang mesti dimusnahkan oleh PLTSa lalu menghasilkan gas pencemar yang sangat beracun. Begitu pula, orang “cacat” (saya ingat tuturan Aa Gym, bahwa tidak ada orang yang lahir cacat. Semuanya “sempurna” di mata Allah. Hanya manusia saja yang beranggapan bahwa mereka cacat), ternyata berpeluang menjadi prestatif sehingga orang “normal” perlu belajar kepadanya.*
ReadMore »
Ditempa oleh keadaan keluarga dan lingkungannya, belia ini bercita-cita menjadi pengusaha di sektor kolektor plastik, sampah botol, dll. Sangat mungkin dia sukses seperti para kolektor dan distributor sampah besi, plastik, dll yang bahkan ada yang mampu ibadah haji dan/atau umrah berkali-kali. Makin banyak yang bergerak di sektor “buangan” ini maka makin mudahlah urusan sampah. Pemerintah, pemkot, pemkab, juga pemprov, tak perlu susah-susah lagi memikirkan cara mengelola dan mengolah sampah meskipun tidak menihilkan keperluan sanitary landfill (urugan saniter) dan pengomposan (composting). PLTSa apalagi, sangat-sangat tidak perlu lantaran mayoritas sampahnya sudah disortasi dan dipilah-pilah dengan konsep 3R atau 7R.
Fenomena Ming Ming menjadi bukti bagi pemerintah daerah yang ngotot ingin membuat PLTSa dengan memanfaatkan power-nya. Sayang sekali, kalau sampah yang bisa membiayai sekolah dan kuliah manusia malah dibakar habis lalu diubah menjadi polutan berupa gas berbahaya beracun dan sisa pembakarannya (arangnya) juga menimbulkan masalah baru. Akibatnya, belia putus kuliah makin banyak, pencemar tanah, air, udara makin banyak, dan masalah sampah pun tetap banyak, tidak tuntas diolah oleh PLTSa. Sungguh, PLTSa mewujud menjadi keputusan yang antisosial, anti pendidikan, dan anti lingkungan.
Setelah Ming Ming, ada satu belia lagi yang fenomenal diwawancarai TVOne. Belia ini seorang pria tunanetra. Ia buta sejak lahir. Namun, kekurangan fisiknya itu tidak menghalanginya menjadi lelaki prestatif. Sejumlah komposisi musik sudah digubahnya dan sudah pula menulis buku. Musik gubahannya bahkan mencapai seratusan. Bukunya yang pasti inspiratif bagi pembacanya (saya akan membeli bukunya), berjudul Blind Power, Berdamai dengan Kegelapan. Ia pun sudah menjadi blogger sejak 2003 dengan alamat www.ramaditya.com.
Dua orang yang dihadirkan TVOne, bagi saya, berkemampuan “menohok” kalbu kita. Ming Ming “menghujamkan” sampah ke hati pemerintah daerah yang hendak membakar sumber daya uangnya lewat PLTSa dan Eko mengusik para penulis melek agar berkemampuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang “tidak melek”. Sungguh, dua belia ini adalah “parcel” Ramadhan kali ini, bagi saya.
Jadi, sampah adalah sumber daya, bukan musuh yang mesti dimusnahkan oleh PLTSa lalu menghasilkan gas pencemar yang sangat beracun. Begitu pula, orang “cacat” (saya ingat tuturan Aa Gym, bahwa tidak ada orang yang lahir cacat. Semuanya “sempurna” di mata Allah. Hanya manusia saja yang beranggapan bahwa mereka cacat), ternyata berpeluang menjadi prestatif sehingga orang “normal” perlu belajar kepadanya.*