Sumpah Sampah PLTSa
Oleh Gede H. Cahyana
Presiden yang akan mengemban amanah
selalu disumpah di bawah kitab suci agama anutannya. Gubernur, bupati, walikota
juga mengikrarkan sumpah pada awal tugasnya. Sumpah adalah wujud dari
eksistensi legal. Pemuda-pemudi pada 28 Oktober 1928 pun bersumpah, “Soempah
Pemoeda”, yaitu memaklumkan kepada Belanda bahwa mereka eksis secara de facto dan de jure, meskipun tidak diakui oleh penjajah. Gemanya diulang-ulang
sampai sekarang. Kini, di sini, di relung hati ini, hadir deretan kata sumpah
yang bukan serapah. Sama sekali bukan serapah. Ia adalah sumpah para sampah.
Sumpah sampah PLTSa
Kami adalah daun, sisa nasi, bubur, dan
sayur-mayur.
Kami adalah ranting, cabang, dan batang
pohon tepi jalan.
Kami adalah sabitan rumput halaman
rumah, kantor, kebun.
Kami adalah plastik, pralon, kain
perca, juga karet ban sepeda.
Kami adalah kertas, besi, kaleng
pembasmi nyamuk-tikus, pestisida.
Kami pun adalah kumpulan tong kimia
beracun dan gumpal berangkal.
Kami, yaitu sampah Kota Bandung,
bersumpah demi Trilogi Pendidikan: sains, teknologi, dan lingkungan untuk
kesehatan insan!
Kami bersumpah menolak sekuat-kuatnya
konspirasi yang ingin membakar kami di dalam insinerator berkedok pembangkit
listrik! Sungguh, tiada terperi api neraka dunia
Kami bersumpah bahwa badan kami sarat
racun dan mudah menyebar ke seluruh daerah lewat tiupan angin kalau kami
dibakar.
Kami tak peduli siapa orangnya, apa
status sosialnya, apa pendidikannya, kalau kami sudah berubah menjadi abu dan
gas toksik di dalam kepul cerobong PLTSa, maka jangan salahkan kami ketika
datang bencana garang. Yang miskin pasti sakit, yang kaya pun kena. Tetapi..,
kami prihatin kepada yang miskin, mereka tak mampu berobat apalagi kalau harus
ke luar negeri. Tak ada BPJS, tiada uang untuk bayar BPJS. Kami tunggu saja
Kartu Sehat atau e-sehat, akankah ia tiba gerangan?
Kami adalah sampah yang berserakan
antara Elang dan Cibiru, sepanjang daulat jalur Trans Metro Bandung.
Kami minta tolong kepada makhluk
bernama manusia, yaitu insan mulia, untuk menegaskan kondisi kami kepada
orang-orang yang pro-PLTSa bahwa kami sangat miskin energi. Kami betul-betul
melarat. Badan kami kebanyakan berisi air. Kami hanyalah sampah basah. Saudara
kami yang anorganik pun sering basah kena hujan. Potensi energi kami tak setara
dengan kerusakan lingkungan air, tanah, udara dan kematian tanaman, hewan, dan
manusia. Rantai makanan terkontaminasi, terjadi bioakumulasi, biomagnifikasi,
dan ujungnya... manusia juga yang rugi.
Acapkali kami kabarkan tentang bahaya
laten kami apabila kami dibakar di PLTSa. Tapi mereka tak jua percaya. Apakah
mereka tuli, bisu, buta? Dengan alasan kesehatan, mereka tak percaya pada risiko
PLTSa. Alasan ekosistem, ekologis juga bergeming. Alasan pendidikan, tak
dilirik. Alasan hukum, malah senyum dikulum. Semua alasan itu sudah kami
sampaikan secara baik-baik lewat berbagai media. Lantas, alasan apalagi yang
harus kami unjukkan?
Ini barangkali jalan terakhir kami.
Kami capek, kami lelah, kami lemah, kami menua. Kami jauh lebih bahagia ketika
badan kami dikerubuti bakteri aerob, bakteri anaerob, amoeba, cacing, protozoa,
metazoa, atau dipatuk dan dikais hewan lapar kemudian bermanfaat bagi tumbuhan.
Kami pun bersukacita ketika didaur ulang atau digunakan kembali oleh manusia
karena tubuh renta ini ternyata masih bermanfaat bagi kalangan “cilik”.
Ternyata badan kami masih bisa mendulang uang bagi orang-orang kreatif.
Saudara-saudara kami dari Madura. Pulau kering nan tandus.
Kami adalah sampah yang berserakan
antara Jalan Setiabudi dan Tol Padaleunyi.
Jalan pamungkas sudah pasti. Ingin kami
silaturahmi maya dengan Pak Presiden Jokowi. Pak Presiden yang kami hormati,
semoga angin mengantarkan desah keluh kesah kami. Kini kami tak berdaya lagi
untuk membendung rencana pembangunan PLTSa. Tender sudah terjadi, meskipun
dipertanyakan KPPU, Sebagai sampah yang paham karakteristik kimia, fisika, dan
biologi kami, maka kami mohon Pak Presiden menggunakan kekuatan politik Bapak
untuk membendung arus deras orang-orang di eksekutif, legislatif, pengusaha,
akademisi yang bersikeras membuat PLTSa di Bandung Raya. Bapak adalah nakoda
kapal yang di dalamnya ada sekumpulan orang yang akan melubangi kapal, demi ...
entahlah demi apa. Demi kian, demi kain, demi iank, demi aink!
Kami yakin, meskipun baru saja
menjabat, Bapak dapat membatalkan rencana pembangunan pabrik racun itu. Nasihati
juga Bappenas agar berpikir bernas. Tolonglah Pak, hindarkan kami dari siksa
api dunia. Hindarkan kami dari kejahatan insinerator bertopeng pembangkit
listrik. Dukungan Pak Presiden akan menolong kami dan juga mencegah genosida
spesies tumbuhan, hewan, dan manusia di Bandung Raya. Atas banjir rutin di
Jakarta, Bapak tanggap. Bapak gerak cepat, respons positif. Semoga demikian
dengan Bandung, tetangga Jakarta.
Sekali monster PLTSa itu tegak berdiri,
maka 24 jam sehari selama-lamanya racunnya menjadi bencana maut bagi 7,7 juta
orang di Priangan, jauh lebih banyak daripada korban tsunami Aceh. Calon
korbannya jauh lebih banyak daripada jumlah korban bencana tersebut. Kira-kira
logika apa yang merasuk di pikiran bawah sadar mereka, kok kami yang kebanyakan berupa sampah domestik – organik ini akan
dibakar kemudian mengepulkan abu dan gas beracun yang menyebar ke segala arah.
Membakar batubara saja menimbulkan deretan masalah lingkungan dan kesehatan,
apalagi membakar sampah dari ribuan jenis zat berbahaya dan beracun. Semoga ada
pakar hipnosis dan hipnoterapis yang rela menata ulang alam bawah sadar mereka,
atau minimal mengondisikan agar gelombang otak mereka berada di alfa dan theta.
Pak Presiden yang kami hormati.
Andaikata gempa, tsunami, letusan Merapi dan Sinabung dapat digolongkan sebagai
bencana alam, maka kami berharap tidak akan pernah ada bencana dahsyat lainnya
akibat ulah manusia, yakni bencana yang betul-betul akibat kesalahan fatal
pejabat negara di pusat dan daerah dalam menangani masalah lingkungan. Pejabat
yang bijak pasti mengeluarkan kebijakan yang sarat kebajikan bagi semua orang
atau mayoritas masyarakat.
Semoga tanggapan positif Bapak atas
permohonan kami, yaitu sampah berserakan di cekungan Bandung pada ketinggian di
atas 600 m dpl ini diridhai oleh-Nya. Kami pun ikut berdoa semoga rangkaian
bencana tersebut memberikan hikmah kepada manusia Indonesia, khususnya para
pejabat agar menapaki jejak kebenaran, meninggalkan tapak kebatilan, dan
membatalkan pembakaran kami di dalam neraka insinerator.
Kami pun berdoa, korban yang lebih dulu
“disayang” oleh alam, “dirangkul” oleh Bumi, semoga diampuni dosa-dosanya,
dimaafkan kesalahannya dan dibangunkan “rumah” di surga sebagai pengganti rumah
“buruk” meskipun berupa gedung megah di dunia.
Akhir kata, untaian bencana (baca:
musibah) tersebut mudah-mudahan menjadi jarum akupuntur bagi ruhani manusia,
khususnya pejabat publik (public servant:
pelayan masyarakat) yang menyembuhkan pada saatnya nanti.
Selamat Hari Sumpah
Pemuda.
Atas nama sampah Kota Bandung
ttd
(Daun Sayur Plastik Karet)***