Gede
H. Cahyana
“Kalau ada Ciletuh Geopark, maka boleh juga kita kukuhkan
Citarum Ecopark atau Citarum Waterpark.”
Masa
berganti, musim berlalu, kini Citarum semakin harum. Tidak hanya media massa
lokal yang mengupas, tetapi juga media cetak ibukota dan daerah. Luasnya
sebaran kata Citarum harum ini tentu bukan makna harfiahnya. Sebab, hingga
tahun 2018 sengatan bau amoniak, bau belerang akibat asam sulfida (seperti bau
di Gunung Tangkubanparahu), bau selokan saat kemarau dan airnya yang keruh
selama musim hujan sudah menjadi rahasia umum. Warga yang tinggal di sepanjang
bantarannya sudah tahu perihal “harumnya” itu. Lantas, mungkinkah makna
leksikal harum bisa disematkan kepada Citarum?
Air (H2O) atau hidrogen oksida
adalah senyawa kimia yang luar biasa, kata Sir Hugh Fish (1992). Struktur
elektronnya berpengaruh pada sifat fisika – kimia air sehingga menjadi pelarut
segala, the universal solvent atau
cairan kehidupan, the liquid of life.
Sifatnya ini juga yang menyebabkan air menjadi kaya zat pencemar. Lantaran ini
juga air menjadi material “sakral” (dalam tanda kutip). Tingginya kesakralan air tampak dari ungkapan tirtha
nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab),
nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life (Inggris), air suci (Indonesia).
Sebagai contoh ialah Sungai Gangga di India. Dalam ritual Kumbh Mela yang dipadati oleh 30-an juta orang, Gangga
dimuliakan, bahkan diberi 108
nama-nama indah.
Vandana Shiva (2003)
mengutip pernyataan Dr. F. C. Harrison. “Menurut
fakta yang janggal, yang belum pernah dijelaskan secara memuaskan, adalah
begitu cepatnya (tiga sampai lima jam) kuman kolera mati di Sungai Gangga.
Ketika seseorang mengingat banyaknya kotoran yang dibuang para penduduk, yang
sering merupakan penderita kolera, dan ribuan penduduk yang mencebur ke sungai,
tampak sungguh luar biasa bahwa kepercayaan orang Hindhu, bahwa sungai ini
memiliki air yang murni dan tidak bisa tercemar dan mereka bisa dengan aman
meminum airnya dan mandi di dalamnya, bisa dibuktikan dengan alat penelitian
bakteriologi modern”. Tak heran, lanjut Shiva, masyarakat India begitu
sayang kepada Sungai Gangga.
Betapa orang India menghargai sungainya. Bagaimana dengan Citarum,
adakah jejak historis penghormatan kepadanya?
Dokumen Historis
Bersinonim
dengan kata rekonstruksi, rehabilitasi, reparasi, kata restorasi dipilih karena
dikaitkan dengan fungsi storasi (storage)
yang bermakna penyimpanan air untuk kebutuhan mendatang. Air harus disimpan,
distorasi, diawetkan untuk kebutuhan masa depan. Adapun makna luasnya ialah
pengembalian ke masa lalu ketika kesetimbangan ekologis Citarum masih terjaga.
Parapihak harus merujuk ke masa lalu dengan membuka kembali dokumen historis Citarum,
khususnya yang berkaitan dengan pertanian, perhutanan, perkebunan, pengairan,
perairminuman, perairlimbahan, persampahan, perikanan, perlistrikan, dan kalau
ada, pelayaran (rakit bambu pada masa dulu).
Membedah
dokumen historis akan memberikan akurasi jejak kualitas, kuantitas dan
peruntukan air Citarum kepada orang yang mempelajarinya, mulai dari warga
setempat, murid, guru, mahasiswa, dosen, peneliti. Evaluasi catatan masa lalu
ini bisa digunakan dalam perencanaan dan proyeksi kualitas, kuantitas, dan
peruntukan pada masa mendatang. Upaya membaca kembali data dan peta Citarum
masa lalu akan memberikan gambaran yang lebih jelas sehingga diharapkan
menimbulkan perencanaan dan perancangan yang lengkap, lugas, dan tegas. Adakah
contoh dokumen historis yang menjadi jejak dalam rekonstruksi daerah aliran
sungai dengan hasil yang dinyatakan baik atau good practice?
Pemerintah
dan parapihak bisa mempelajari contoh pengelolaan sungai dan lembah bantaran
sungai di negara lain, misalnya Tennessee
Valley Authority (TVA) (Wikipedia,
2018). Kehadiran otoritas ini ditandatangani oleh Presiden Franklin D.
Roosevelt tahun 1933 untuk meluaskan pemanfaatan sungai di bidang pertanian,
industri, dan niaga. Meskipun awalnya bergolak secara sosial politik, namun
kebijakan ini berdampak positif karena mampu memahami kejadian masa lalu dalam
rangkaian jejak historis dan memahami kebutuhan masa yang akan datang dalam
visi yang kongkrit berupa perencanaan (planning)
dan perancangan (designing) dengan
mengutamakan manfaat terbesar diterima oleh warga sekitar sungai.
Citarum
pun memiliki jejak sejarah. Satu di antaranya adalah slogan rehabilitasi
kualitas air akibat limbah kegiatan manusia. Tidak hanya limbah domestik,
industri, dan pertanian yang mencemari Citarum tetapi juga dari cemaran
vulkanik seperti Gunung Tangkubanparahu dan Kawah Putih. Inilah sumber riil
polutan di Citarum. Merujuk ke jejak historisnya, perang melawan polusi sudah
diprakarsai oleh Masyarakat Cinta Citarum (MCC) dan Program Kali Bersih
(Prokasih) yang menjadi saksi sulitnya membersihkan Citarum. Hadir pula Gerakan Cikapundung Bersih (GCB) sebagai
sungai yang “muaranya” di Citarum. Berikutnya ialah Gerakan Citarum Bergeutar
[bersih, geulis (Sunda: cantik), lestari] (Cahyana, G. H, 2004).
Lantas muncul program Cita Citarum (2010). Jejak historis terakhir
(2014 – 2017) ialah Gerakan Citarum Bestari yang menumbuhkan tidak kurang dari
120 Ecovillage. Sampah mulai
berkurang, minimal di sektor yang dikelola Ecovillage,
namun kualitas airnya masih buruk meskipun masih bisa diolah menjadi air yang
lebih jernih dengan Gutertap (Gugus Filter Multitahap). Pada tahun 2016
Rosalina dan Cahyana meneliti pengolahan air Citarum menggunakan Gutertap
dengan dana hibah dari BP3IPTEK Provinsi Jawa Barat. Kekeruhan Citarum pada
saat penelitian yang mencapai 1.200 NTU (Nephelometric
Turbidity Unit) bisa diturunkan hingga 25 NTU, dengan efisiensi 98%.
Sebagai pembanding, kekeruhan air minum kurang dari 5 NTU (Cahyana, G. H, 2016).
Jejak selanjutnya adalah kuantitas.
Kuantitas pohon di hulu Citarum menyusut sehingga lahan kritis mencapai 80 ribu
hektar. Kuantitas awal mata air 300 unit tetapi sisanya sekarang 144 unit. Ada
ungkapan bahasa Sunda: leuweng ruksak, cai beak, manusa balangsak: hutan gundul, air
habis, manusia menderita. Akibatnya,
kuantitas air Citarum juga susut. Data Puslitbang Sumber Daya Air (2017), debit normal air Citarum 41 meter
kubik/detik. Debit saat hujan 578 meter kubik/detik, dan pada musim kemarau
hanya 2,7 meter kubik/detik. Ini menimbulkan banjir saat hujan dan kekeringan waktu
kemarau sehingga gagal panen padi, reduksi daya PLTA Saguling, sampah mencapai
20.000 ton/hari, air limbah 340.000 ton/hari dari 1.900-an industri, termasuk
limbah berbahaya dan beracun dari pabrik tekstil. Padahal Citarum digunakan
untuk perikanan, irigasi sawah, dan air baku untuk air minum 80% warga DKI
Jakarta.
Naskah lengkap dan foto-foto bisa diunduh di SINI..
[1] Pemenang lomba Writingthon Dikti 2018,
Indonesia Untuk Citarum Harum, Kemenristekdikti Bitread Publishing, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar