• L3
  • Email :
  • Search :

3 Juli 2018

Dari Sungai Menuju Gelas, CITARUM HARUM

Dari Sungai Menuju Gelas[1]
Gede H. Cahyana


“Kalau ada Ciletuh Geopark, maka boleh juga kita kukuhkan
Citarum Ecopark atau Citarum Waterpark.”

Masa berganti, musim berlalu, kini Citarum semakin harum. Tidak hanya media massa lokal yang mengupas, tetapi juga media cetak ibukota dan daerah. Luasnya sebaran kata Citarum harum ini tentu bukan makna harfiahnya. Sebab, hingga tahun 2018 sengatan bau amoniak, bau belerang akibat asam sulfida (seperti bau di Gunung Tangkubanparahu), bau selokan saat kemarau dan airnya yang keruh selama musim hujan sudah menjadi rahasia umum. Warga yang tinggal di sepanjang bantarannya sudah tahu perihal “harumnya” itu. Lantas, mungkinkah makna leksikal harum bisa disematkan kepada Citarum?

Air (H2O) atau hidrogen oksida adalah senyawa kimia yang luar biasa, kata Sir Hugh Fish (1992). Struktur elektronnya berpengaruh pada sifat fisika – kimia air sehingga menjadi pelarut segala, the universal solvent atau cairan kehidupan, the liquid of life. Sifatnya ini juga yang menyebabkan air menjadi kaya zat pencemar. Lantaran ini juga air menjadi material “sakral” (dalam tanda kutip). Tingginya kesakralan air tampak dari ungkapan tirtha nirmala, tirtha kamandalu, amrta njiwani (Sansekerta), maaul hayat (Arab), nectar-ambrosia (Yunani), the elixir of life (Inggris), air suci (Indonesia). Sebagai contoh ialah Sungai Gangga di India. Dalam ritual Kumbh Mela yang dipadati oleh 30-an juta orang, Gangga dimuliakan, bahkan diberi 108 nama-nama indah.

Vandana Shiva (2003) mengutip pernyataan Dr. F. C. Harrison. “Menurut fakta yang janggal, yang belum pernah dijelaskan secara memuaskan, adalah begitu cepatnya (tiga sampai lima jam) kuman kolera mati di Sungai Gangga. Ketika seseorang mengingat banyaknya kotoran yang dibuang para penduduk, yang sering merupakan penderita kolera, dan ribuan penduduk yang mencebur ke sungai, tampak sungguh luar biasa bahwa kepercayaan orang Hindhu, bahwa sungai ini memiliki air yang murni dan tidak bisa tercemar dan mereka bisa dengan aman meminum airnya dan mandi di dalamnya, bisa dibuktikan dengan alat penelitian bakteriologi modern”. Tak heran, lanjut Shiva, masyarakat India begitu sayang kepada Sungai Gangga. Betapa orang India menghargai sungainya. Bagaimana dengan Citarum, adakah jejak historis penghormatan kepadanya?

Dokumen Historis
Bersinonim dengan kata rekonstruksi, rehabilitasi, reparasi, kata restorasi dipilih karena dikaitkan dengan fungsi storasi (storage) yang bermakna penyimpanan air untuk kebutuhan mendatang. Air harus disimpan, distorasi, diawetkan untuk kebutuhan masa depan. Adapun makna luasnya ialah pengembalian ke masa lalu ketika kesetimbangan ekologis Citarum masih terjaga. Parapihak harus merujuk ke masa lalu dengan membuka kembali dokumen historis Citarum, khususnya yang berkaitan dengan pertanian, perhutanan, perkebunan, pengairan, perairminuman, perairlimbahan, persampahan, perikanan, perlistrikan, dan kalau ada, pelayaran (rakit bambu pada masa dulu).

Membedah dokumen historis akan memberikan akurasi jejak kualitas, kuantitas dan peruntukan air Citarum kepada orang yang mempelajarinya, mulai dari warga setempat, murid, guru, mahasiswa, dosen, peneliti. Evaluasi catatan masa lalu ini bisa digunakan dalam perencanaan dan proyeksi kualitas, kuantitas, dan peruntukan pada masa mendatang. Upaya membaca kembali data dan peta Citarum masa lalu akan memberikan gambaran yang lebih jelas sehingga diharapkan menimbulkan perencanaan dan perancangan yang lengkap, lugas, dan tegas. Adakah contoh dokumen historis yang menjadi jejak dalam rekonstruksi daerah aliran sungai dengan hasil yang dinyatakan baik atau good practice?

Pemerintah dan parapihak bisa mempelajari contoh pengelolaan sungai dan lembah bantaran sungai di negara lain, misalnya Tennessee Valley Authority (TVA) (Wikipedia, 2018). Kehadiran otoritas ini ditandatangani oleh Presiden Franklin D. Roosevelt tahun 1933 untuk meluaskan pemanfaatan sungai di bidang pertanian, industri, dan niaga. Meskipun awalnya bergolak secara sosial politik, namun kebijakan ini berdampak positif karena mampu memahami kejadian masa lalu dalam rangkaian jejak historis dan memahami kebutuhan masa yang akan datang dalam visi yang kongkrit berupa perencanaan (planning) dan perancangan (designing) dengan mengutamakan manfaat terbesar diterima oleh warga sekitar sungai.

Citarum pun memiliki jejak sejarah. Satu di antaranya adalah slogan rehabilitasi kualitas air akibat limbah kegiatan manusia. Tidak hanya limbah domestik, industri, dan pertanian yang mencemari Citarum tetapi juga dari cemaran vulkanik seperti Gunung Tangkubanparahu dan Kawah Putih. Inilah sumber riil polutan di Citarum. Merujuk ke jejak historisnya, perang melawan polusi sudah diprakarsai oleh Masyarakat Cinta Citarum (MCC) dan Program Kali Bersih (Prokasih) yang menjadi saksi sulitnya membersihkan Citarum. Hadir pula Gerakan Cikapundung Bersih (GCB) sebagai sungai yang “muaranya” di Citarum. Berikutnya ialah Gerakan Citarum Bergeutar [bersih, geulis (Sunda: cantik), lestari] (Cahyana, G. H, 2004).

Lantas muncul program Cita Citarum (2010). Jejak historis terakhir (2014 – 2017) ialah Gerakan Citarum Bestari yang menumbuhkan tidak kurang dari 120 Ecovillage. Sampah mulai berkurang, minimal di sektor yang dikelola Ecovillage, namun kualitas airnya masih buruk meskipun masih bisa diolah menjadi air yang lebih jernih dengan Gutertap (Gugus Filter Multitahap). Pada tahun 2016 Rosalina dan Cahyana meneliti pengolahan air Citarum menggunakan Gutertap dengan dana hibah dari BP3IPTEK Provinsi Jawa Barat. Kekeruhan Citarum pada saat penelitian yang mencapai 1.200 NTU (Nephelometric Turbidity Unit) bisa diturunkan hingga 25 NTU, dengan efisiensi 98%. Sebagai pembanding, kekeruhan air minum kurang dari 5 NTU (Cahyana, G. H, 2016).

Jejak selanjutnya adalah kuantitas. Kuantitas pohon di hulu Citarum menyusut sehingga lahan kritis mencapai 80 ribu hektar. Kuantitas awal mata air 300 unit tetapi sisanya sekarang 144 unit. Ada ungkapan bahasa Sunda: leuweng ruksak, cai beak, manusa balangsak: hutan gundul, air habis, manusia menderita. Akibatnya, kuantitas air Citarum juga susut. Data Puslitbang Sumber Daya Air (2017), debit normal air Citarum 41 meter kubik/detik. Debit saat hujan 578 meter kubik/detik, dan pada musim kemarau hanya 2,7 meter kubik/detik. Ini menimbulkan banjir saat hujan dan kekeringan waktu kemarau sehingga gagal panen padi, reduksi daya PLTA Saguling, sampah mencapai 20.000 ton/hari, air limbah 340.000 ton/hari dari 1.900-an industri, termasuk limbah berbahaya dan beracun dari pabrik tekstil. Padahal Citarum digunakan untuk perikanan, irigasi sawah, dan air baku untuk air minum 80% warga DKI Jakarta.

Sebuah foto Sungai Citarum pada musim hujan ditampilkan pada Gambar 1. Tampak sampah .... 

Naskah lengkap dan foto-foto bisa diunduh di SINI.. 




[1] Pemenang lomba Writingthon Dikti 2018, Indonesia Untuk Citarum Harum, Kemenristekdikti Bitread Publishing, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar