Kabinet Berasaskan SDGs
Dimuat di Majalah Air Minum, September 2019
Setiap
pembentukan kabinet baru selalu saja hangat dibahas perihal zaken kabinet atau
kabinet ahli yang diisi oleh orang profesional di bidangnya. Ia bisa dari
partai, bisa juga non-partai. Yang penting mampu, memiliki kapabilitas yang
diakui khalayak dan tercatat rekam jejaknya (track record) secara akademis, struktural, atau
politis.
Namun sekarang usulan pembentukan kabinet didasarkan pada kesepakatan internasional yang melibatkan 193 negara. Berorientasi pada tujuan pembangunan berkelanjutan, SDGs (Sustainable Development Goals), maka kementerian yang dibentuk mengacu pada tujuh belas tujuan SDGs. Nomenklatur disesuaikan dengan sejarah penamaan departemen atau kementerian sejak Orde Baru hingga sekarang. Satu tujuan SDGs boleh jadi ekivalen dengan satu, dua atau tiga kementerian. Tujuh belas tujuan SDGs tersebut bisa dikelompokkan menjadi empat pilar, yaitu pembangunan manusia, ekonomi, lingkungan hidup, dan governance.
EW: Food, Energy, Water
Agar tulisan
tidak terlalu panjang dan fokus pada bidang air, maka pilar yang akan dibahas
adalah pilar pembangunan lingkungan hidup. Lebih khusus lagi adalah akronim FEW: Food, Energy, Water. FEW adalah bagian dari sumber
daya alam. Dalam bahasa Inggris kata few
artinya sedikit. Di sini dimaknai sebagai sumber daya alam yang kuantitasnya makin sedikit dan kualitasnya makin
kritis.
Sebaliknya pada saat yang sama kebutuhan FEW justru meningkat. FEW
sudah menjadi perhatian pemerintah Indonesia sejak awal pendirian
negara. Spirit FEW
tercantum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, disebut pasal sosioekologis. Wujud amanahnya berbentuk departemen atau kementerian
dalam setiap pemerintahan. Kemudian dikuatkan di tingkat
provinsi, kabupaten, dan kota dengan pusat penelitian, dinas, badan, dan balai.
Aspek Food misalnya, pemerintah sudah
membentuk Departemen Pertanian sejak Orde Baru. Upaya ekstensifikasi pertanian
diperluas ke semua provinsi dan pulau. Diikuti oleh intensifikasi pertanian.
Berbagai bibit unggul padi ditemukan bersamaan dengan obat
pembasmi
hama dan penyakit
tanaman. Mekanisasi (sekarang mekanisasi 4.0) makin mempercepat olahan lahan dengan traktor dan
alat-alat panen tepat guna. Terakhir adalah inovasi vertical farming, modifikasi tumpang sari.
Di bidang E
= energy juga berkembang.
Pada masa Orde Baru
ada Departemen Pertambangan dan Energi. Tambang
primadona ialah batubara, timah, nikel. Juga tembaga dan emas di Freeport. Waktu
itu kekuatan minyak bumi
dominan dalam anggaran pembangunan. Indonesia menjadi
anggota negara pengekspor
minyak, OPEC. Sebagai sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui, upaya
pencarian energi alternatif terus dilaksanakan.
Kemudian gas alam masuk menjadi energi penting, mensubstitusi minyak tanah.
Yang belum
mendapat perhatian khusus adalah W: water
(air). Belum ada kementerian yang khusus mengurus air. Sejak
Orde Baru urusan air disatukan dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga
Listrik (PUTL), Pekerjaan Umum (PU), Kimpraswil, atau PUPR. Satu menteri
membawahkan banyak bidang seperti jalan, jembatan, pengairan, perumahan, air limbah,
sampah, drainase, dan air minum. Meskipun ada
Direktorat Jenderal tetapi tidak bisa fokus dan optimal di bidang air.
Historisnya, bidang air minum, air limbah, irigasi, sumber daya air adalah
bagian dari teknik
sipil dan penyehatan. Dulu di dalam Departemen
Pekerjaan Umum ada Bagian Teknik Penyehatan. Sekarang bidang ini sudah jauh berkembang. Sejak
1990-an ilmu dan teknologi
penyehatan dan lingkungan sudah masuk ke dalam HSE (Health,
Safety, Environment) atau kesehatan, keselamatan kerja, dan lingkungan di industri, pertambangan, minyak dan gas.
Urgensi
Kementerian Air
Selain bumi
(tanah/lahan), air adalah sumber daya alam esensial yang eksplisit disebut di
dalam UUD 1945. Indonesia sudah pernah memiliki UU Sumber Daya Air, yaitu UU
No. 7/2004. Karena menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia
maka diprotes oleh akademisi,
ormas, tokoh masyarakat adat, dan partai politik.
Akhirnya pada tahun 2015 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU SDA
dan kembali ke UU No.
11/1974 tentang Pengairan. Esensi pembatalan berkenaan
dengan privatisasi
(penswastaan) air minum di
sektor SPAM dan penguasaan negara atas air. Isu SPAM ini pula yang tarik-ulur saat ini. Sektor
ini berpengaruh kepada pengusaha air jeriken dan truk tangki, AMIK (Air Minum
Kemasan atau AMDK) dan AMIKU (Air Minum Kemasan Ulang atau air isi ulang). Asasnya,
sumber air berupa mata air, air tanah, sungai, danau, waduk, rawa, laut tidak boleh
dikuasai oleh perseorangan atau swasta.
Penguasa air adalah negara, dikelola oleh pemerintah, dilaksanakan oleh
BUMN atau BUMD seperti PDAM. PDAM idealnya
pemberi solusi masalah air untuk masyarakat. Masyarakat yang tinggal di daerah
kaya air tanah tentu tidak berlangganan PDAM. Apalagi kalau kualitas airnya
bagus. Ini sesuai dengan pasal sosioekologis. PDAM dibutuhkan oleh masyarakat
yang tidak memiliki sumber air layak guna karena berbagai sebab. Amanat pasal
sosioekologis itu harus dilaksanakan dalam kondisi seperti ini. Haruskah full cost recovery? Bagaimana dengan
subsidi? Di
sinilah Kementerian Air menemukan urgensinya.
Air Baku
Air baku bisa dimaknai sebagai air yang belum diolah. Sumber air baku antara
lain air hujan, air permukaan (sungai, danau, waduk, muara, laut), dan air
tanah (dangkal dan dalam). Air baku adalah tantangan utama PDAM. Ada PDAM yang beruntung karena memanfaatkan mata air yang debitnya
besar. Ada PDAM yang harus mengolah air tercemar sehingga mengeluarkan biaya
mahal untuk investasi IPAM dan operasi-rawatnya. Ada pula PDAM yang tidak memiliki sumber air potensial sehingga kewalahan pada musim kemarau. Tanpa air baku tidak
mungkin PDAM beroperasi. Belum lagi sengketa sumber air antarprovinsi, kabupaten, kota. Inilah tantangan pemerintah dan insan PDAM, mampukah memberikan solusi terbaik?
Apabila UU SDA yang baru nanti eksplisit memberikan spirit kepada negara sebagai
penguasa air untuk kemakmuran rakyat maka tepatlah Kementerian Air menjadi pengelola air baku, air minum, air limbah domestik dan industri. Kementerian Air bisa meningkatkan layanan air minum kepada
masyarakat. Raihan 100% aman air minum bisa dicapai dengan cara mengubah
tantangan di atas menjadi peluang. Air baku tercemar, air payau, air laut bisa
diubah menjadi air minum. Newater
Singapura contohnya, bisa menghasilkan air minum dari air
limbah.
Tentu Kementerian Air
berkoordinasi dengan kementerian lain yang sudah melaksanakan tupoksi air baku
dan air limbah. Teknologi IPAM 4.0 mampu mengolah air baku air limbah menjadi
air layak guna, bahkan air minum. IPAM 4.0 mampu menyehatkan PDAM berasaskan
pasal sosioekologis, asas keadilan, dan kerjasama antardaerah.
PDAM yang rugi, menurut Mendagri Tjahjo Kumolo mencapai
70% tidak akan terjadi lagi. Suntikan dana
lima triliun rupiah pertahun kepada PDAM bisa dialihguna menjadi dana investasi
IPAM, sistem transmisi distribusi dan subsidi kepada masyarakat tidak mampu.
Tampak peran negara dalam mengamalkan pasal sosioekologis sekaligus mencapai tujuan
SDGs.