Hukuman adalah Pendidikan?
Luas tersebar tulisan seorang penulis yang berkaitan dengan hukuman, nilai tugas dan nilai raport, sifat guru (dosen) dan dunia pendidikan di Indonesia. Penulisnya menyanjung guru di AS yang memberikan nilai sangat bagus untuk tulisan (karangan) anaknya. Di bagian lain tulisan tersebut penulisnya menyatakan bahwa ia tidak setuju kepada guru yang pelit memberikan nilai tugas (mengarang/menulis). Penulisnya menyesalkan cara, pola, dan gaya penilaian mata pelajaran oleh guru kepada murid-murid di Indonesia.
Agar sepaham (atau agar tidak salah
paham) maka perlu disampaikan bahwa penilaian karya tulis seperti puisi, prosa,
cerita pendek, artikel atau tulisan opini tentulah berbeda dengan cara
penilaian terhadap pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, PMP, agama,
kewarganegaraan, ekonomi, sejarah, dan banyak lagi yang lain yang bukan
berwujud esai. Penulis yang juga dosen FEUI itu menyatakan bahwa karangan
anaknya dalam bahasa Inggris sangat dihargai meskipun menurutnya buruk secara
tatabahasa Inggris. Ini bisa dimaklumi karena bahasa Inggris bukanlah bahasa
ibu bagi anaknya. Wajar pula diberi nilai sangat bagus karena ditulis dalam
bahasa Inggris, yaitu bahasa ibu bagi gurunya di AS. Apalagi tulisannya adalah
tulisan esai atau karangan bebas. Bukan pelajaran eksakta atau MIPA, mafikibi,
ekonomi, akuntansi, dll.
Akan berbeda halnya kalau pelajaran yang
dinilai oleh guru di AS itu adalah pelajaran eksakta. Sebagai contoh, dalam
pelajaran matematika, murid yang tidak bisa kali bagi tambah kurang kuadrat
akar dan pangkat tentu harus diberi nilai rendah. Kalau dari 10 soal yang
diujikan tetapi hanya bisa menjawab kurang dari 5 soal maka wajarlah nilainya
kecil. Kalau nilai reratanya di bawah 5 atau 50% tentu harus mengulang. Tidak lulus
atau tidak naik (apabila semua nilainya buruk) adalah proses pendidikan. Murid
harus kembali diingatkan agar belajar lebih tekun, lebih serius lagi. Kalau murid
tetap membandel selama pengajaran (pembelajaran), misalnya hingga lewat
setengah semester maka sebaiknya murid dihukum. Hukuman bisa dengan memberikan
tugas atau pekerjaan rumah (PR) untuk latihan. Nasihat verbal dengan kata-kata
yang tegas (atau bahkan keras apabila membandel) layaklah dilakukan. Hal ini
dilakukan justru agar murid lebih menyiapkan dirinya supaya lulus ujian akhir
dan bisa naik kelas.
Demikian juga, persaingan dalam satu kelas harus terus diulang-ulang sehingga murid-murid memiliki jiwa persaingan positif. Bisa mencontoh persaingan menjadi juara bulutangkis tingkat nasional yang bersaing dan harus mau dan juga mampu mengalahkan teman satu klub atau satu daerah. Bahkan bersaing dalam satu keluarga pebulutangkis. Jiwa persaingan (kompetitif) ini akan memunculkan kreativitas dalam belajar. Berlomba-lomba dalam menguasai ilmu. Murid berlatih terus menambah ilmunya untuk memperkuat aspek kognitif. Murid mendapatkan ilmu dari buku ajar (textbook), media massa, media sosial dan/atau website. Adapun hukuman bisa menjadi penguatan internal aspek afektif murid, mengubah adab, sikap, sifat atau karakternya.
Pada saat yang sama sekolah (kampus)
harus memiliki peraturan tegas yang dapat memberikan efek jera. Misalnya, murid
yang tidak jujur dalam ujian akan langsung dinyatakan tidak naik atau mengulang
dari awal. Peraturan itu harus diberlakukan sama kepada semua murid, tidak
peduli murid itu adalah anak ketua yayasan sekolah, anak kepala sekolah, anak
bupati, gubernur, presiden, dll. Harus adil. Murid yang salah harus dihukum
sesuai dengan peraturan. Bisa hukuman fisik, bisa hukuman nonfisik atau administratif,
bergantung pada jenis kesalahannya. Tujuan hukuman adalah mengubah perilaku
buruk murid menjadi baik. Mengubah kemalasan belajar menjadi kerajinan belajar.
Apabila hukuman yang pertama gagal maka berikan hukuman kedua, ketiga, dan
seterusnya dengan dampak yang makin berat (dipecat sebagai hukuman
puncak).
Bagaimana dengan hukuman fisik? Apakah
hukuman fisik dilarang? Saya jawab, tidak! Hukuman fisik yang dimaksud di sini
adalah hukuman lari keliling lapangan sepak bola, push up, dan yang sejenisnya.
Bisa juga menyapu halaman sekolah dan memunguti sampah. Atau membersihkan
selokan, KM/WC, dan banyak lagi yang lain. Semua hukuman ini menggerakkan fisik
atau badan sehingga menjadi olah raga juga. Lantas, bolehkah murid ditempeleng,
dipukul, ditinju? Hukuman jenis ini banyak diperdebatkan. Harus berhati-hati
menjatuhkan hukuman ini kepada murid. Harus diperhatikan umurnya atau kelasnya.
Murid SD tidak layak diberikan hukuman “body contact” ini. Apalagi dengan full
power seperti orang bertanding tinju. Tidak boleh. Pukullah dengan tanpa
melukai fisik.
Bagaimana kalau psikisnya luka? Tidak
apa-apa. Anak kecil dapat pulih dengan cepat. Ini proses belajar dan proses
internalisasi sikap dan perilaku yang akan murid-murid hadapi setelah dewasa di
kantor atau di masyarakat. Sekali dua kali tidak akan membekas negatif tetapi
justru positif karena murid paham bahwa hukuman itu untuk memperbaiki sikap dan
perilakunya. Guru dan pelaku pendidikan, terutama yang belajar psikologi,
banyak mengkhawatirkan bagian ini. Ada anggapan akan terbawa sampai tua
selamanya. Tinggal tanyakan saja kepada diri masing-masing, apakah ingat semua
hal negatif itu dan mempengaruhi kehidupan sekarang? Maka tindakan tegas atau
keras dalam tanda kutip perlu dalam pendidikan. Tetapi bukan penyiksaan atau
violence (kekejaman). Keras belum tentu kejam. Kejam pun belum tentu keras.
Adakalanya secara verbal lembut tetapi kejam bagi psikis.
Bagaimana dengan murid SMP dan SMA?
Murid ini sudah lebih besar, fisiknya lebih kuat, psikisnya sudah lebih banyak
memahami “kerasnya” kehidupan. Apabila bersalah yang berkali-kali dan
membandel maka hukuman fisik seperti tempeleng bisa dilakukan. Tapi awas. Ini
adalah hukuman tahap akhir setelah kebandelan murid tidak juga berkurang atau
malah menjadi-jadi. Sejumlah sekolah khususnya setingkat SMA sudah ada yang menerapkan
disiplin ketat dan hukuman fisik yang full power. Mendekati pendidikan a la
akademi militer, polisi, atau sekolah kedinasan. Yang tidak boleh adalah
menyakiti fisik dan psikis tanpa sebab. Kalau sebabnya jelas dan untuk kebaikan
murid khususnya nanti pada masa bertugas di masyarakat maka haruslah
dilaksanakan. Boleh keras tetapi anti-kekejaman (violence).
Apakah murid yang salah baru satu kali saja langsung ditempeleng? Tentu tidak. Ada tahapnya, ada tingkat peringatannya.
Ada asesmen dan evaluasi, ada penilaian selama proses pendidikannya. Kuantitas
kesalahan dan kualitas berat-ringan kesalahan juga menjadi perhatian. Namun
demikian, murid harus diingatkan dari hari ke hari bahwa hukuman bisa sangat
berat apabila dilanggar. Apabila sudah diingatkan setiap hari dan sudah pula
melihat murid lain yang dihukum dengan hukuman berat tetapi tetap saja berani (atau
malah sengaja) melanggar berarti harus berani juga menanggung akibatnya. Kalau
sikap dan perilaku buruk ini dibiarkan maka akan makin menguat (dominan) pada
murid dan justru bisa merugikan dirinya di masyarakat. Hukuman terburuk
sekalipun tetap harus dilaksanakan seperti dipecat atau bahkan dipenjara karena
ada delik bagi polisi seperti pencurian, pembunuhan, perkosaan, penipuan
terhadap murid lainnya. Kasus-kasus seperti ini sudah terjadi.
Tentu ada pertanyaan, apakah hukuman
fisik dilarang dalam pendidikan? Betulkah hukuman fisik menghasilkan murid yang
beringas ganas atau menjadi penjahat di kemudian hari? Mari kita baca petunjuk
pendidikan dalam agama (Islam). Tuhan Yang Mahaesa juga menghukum manusia yang
bersalah. Ada banyak kisah tentang hukuman bagi suatu kaum (bahkan dimusnahkan)
seperti kaum ‘Ad, Tsamud karena melanggar aturan Tuhan Yang Mahaesa. Nabi juga
menghukum sahabatnya yang bersalah. Nabi pun tegas kepada lawannya ketika
perang Badar, Uhud, Khandaq dan banyak lagi perang lainnya. Tetapi nabi pun
memaafkan tawanan perang. Mengampuni semua yang kalah dan menyerah. Melindungi
anak-anak dan kaum wanita yang tidak ikut perang.
Nabi pun membolehkan memukul anak kalau
tidak mau belajar (khususnya belajar shalat) setelah usia tujuh tahun. Memukul
yang tidak melukai fisik seperti menimbulkan bekas, luka atau cacat. Hukuman
dengan pukulan yang mendidik, memukul dengan kasih sayang, bukan pukulan dendam
atau benci kepada murid (anak-anak). Pukulan yang berorientasi ke masa depan, untuk
generasi yang lebih baik daripada generasi gurunya yang menempeleng atau
menamparnya sekarang. Murid yang dididik dengan cara ini akan menjadi generasi
yang kuat fisik, kuat psikis, tidak cengeng, dan bukan “anak mami”. Bukan berarti
sedikit-sedikit salah langsung pukul, tempeleng. Bukan. Narasi pengantar sudah
ditulis di atas, yaitu sayang.
Pendidikan adalah proses. Seperti proses
pembuatan pedang. Besi dibakar sampai membara lalu didinginkan kemudian
ditempa, dipukul berkali-kali. Dibakar lagi, dicelupkan ke dalam air lantas
dipukul bertubi-tubi. Begitu lah proses untuk menghasilkan pedang tajam. Atlit
juara dunia pasti berlatih lebih banyak dan lebih keras, lebih tekun daripada
yang hanya juara nasional. Juara MTQ internasional tentu belajar dan berlatih
tilawah lebih intensif daripada yang juara nasional. Usaha tidak mengingkari
hasil.
Maka, hukuman yang adil atau setimpal
selama sekolah, kuliah, dan belajar akan menghasilkan murid yang juga adil
dalam praktik hidupnya di masyarakat. Janganlah alergi pada hukuman. Bahkan
hukuman keras sekalipun. Yang dilarang adalah kejam. Bukan anti-kekerasan
melainkan anti kekejaman. Orangtua harus ikhlas anaknya dihukum yang memang
patut dihukum. Hukuman itu justru untuk menyelamatkan anak atau murid tersebut.
Hukuman adalah pendidikan. Pendidikan adalah jalan lurus, selurus rel kereta
api. (Gede H. Cahyana)*