Ekoteologi Banjir Sumatera
Ekoteologi
Patutlah program ekoteologi yang dirilis oleh Kementerian Agama dijadikan langkah perbaikan kondisi lingkungan di Indonesia. Program tersebut selaras dengan Restorasi Ekosistem (Ecosystem Restoration), yaitu menghidupkan kembali sistem ekologi: hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan makhluk tak hidup (abiotik). Restorasi memiliki makna pemulihan, perbaikan, menjadikan seperti sedia kala. Restorasi ekosistem adalah upaya memulihkan kerusakan tempat hidup tumbuhan, hewan, manusia dan saling kebergantungannya menjadi lebih baik (seperti semula).
Ekoteologi melestarikan fungsi vegetasi dan hewan di dalam rantai makanan dan jejaring kehidupan bersama manusia sebagai khalifah. Ekoteologi juga melakukan restorasi lingkungan yang dimulai dari tataruang dengan dua pendekatan, yaitu kultur dan struktur. Kultur mengacu pada tataruang berbasis agama, budaya, adat istiadat. Struktur mengacu pada tataruang yang dikemas oleh pemerintah dan DPR(D) di dalam undang-undang atau peraturan daerah.
Kultur
Terapan ekoteologi dengan tetap memelihara budaya yang baik dalam makna tidak mendekati kemusyrikan. Sebab, kemusyrikan justru berdampak buruk kepada kehidupan manusia di dunia dan juga nanti di akhirat. Menurut Murtiyoso (1994) yang dikutip oleh Johan Iskandar di dalam buku Manusia dan Lingkungan (2014), masyarakat Sunda mengenal tataruang yang dilarang dijadikan permukiman, yaitu lahan sarongge (lahan angker), lemah sahar (tanah sangar), sema (kuburan), catang ronggeng (lahan curam), garenggengan (lahan kering berlumpur), dangdang wariyan (lahan cekung), lemah laki (lahan tandus), kebakan badak (kubangan), hunyur (bukit kecil), pitunahan celeng (habitat babi), kalomberan (comberan), jarian (tempat sampah).
Begitu pula kearifan lokal seperti gunung kaian, yaitu biarkan gunung ditumbuhi oleh pepohonan agar oksigen semakin banyak dan air hujan diresapkan ke dalam tanah untuk cadangan air pada musim kemarau dan mencegah banjir-erosi pada musim hujan. Gawir awian bermakna tanami tebing dengan bambu, bagai aur dengan tebing, agar tidak longsor. Daratan imahan, manfaatkan lahan datar untuk permukiman. Susukan caian, parit dan selokan sebagai penyalur air hujan. Sungai pun dirawat, walungan rawateun, seperti upaya restorasi Citarum sekarang. Legok balongan, lahan cekung (rendah) sebagai kolam retensi atau wetland, bukan permukiman. Jika tidak demikian maka penduduk yang tinggal di daerah cekung akan rutin kena banjir setiap musim hujan.
Selain tataruang menurut kultur, masyarakat Sunda juga mengenal istilah tabu atau pamali. Pamali adalah pantangan bagi setiap orang untuk berbuat buruk kepada lingkungan. Contoh, pamali makan burung yang ngagaludra, yaitu burung yang dua jari kakinya ke depan dan dua ke belakang pada waktu bertengger di ranting pohon, seperti elang dan alap-alap. Burung ini menjaga kesetimbangan ekosistem karena sebagai predator tertinggi di dalam rantai makanan. Apabila burung ini punah maka hama tikus dan bajing semakin banyak di lahan pertanian. Ada hadis juga yang melarang memakan makanan dari hewan yang bertaring atau hewan buas.
Ada juga pamali menebang pohon beringin, kiara, dan teureup. Pamali ini terbukti mampu melindungi berjenis burung, serangga, dan mamalia kecil sehingga berkembang biak. Pohon tersebut pun dapat meresapkan air hujan dan mengeluarkan air sedikit demi sedikit sepanjang tahun yang disebut mata air (cai nyusu). Ekoteologi menuntun dan mendampingi pamali agar tetap di dalam akidah yang lurus.
Tentu saja tafsir atas pamali tersebut tidak bisa dipahami secara harfiah. Perlu dikaitkan dengan adat istiadat, budaya, dan kepercayaan pada masanya. Yang diambil dari pamali adalah spiritnya dalam melestarikan fungsi lingkungan sebagai tempat hidup, sumber makanan, minuman, pekerjaan, dan hubungan sosial kemanusiaan.
Namun demikian, pada zaman 4.0 ini masyarakat tidak mudah percaya pada pamali. Oleh sebab itu, perlu disandingkan dengan kajian ilmiah dan peraturan pemerintah. Juga dikaitkan dengan ayat-ayat di dalam kitab suci agama perihal kerusakan lingkungan semisal Surat Ar Ruum ayat 41.
Struktur
Ekoteologi lebih bersifat preventif daripada kuratif. Mencegah ketimbang mengobati (restorasi). Perbaikan atau restorasi tidak akan optimal tanpa peran pemerintah dalam hal pelaksanaan, pengawasan dan pendanaan. Memang restorasi bisa saja dilaksanakan oleh ormas, parpol, kampus, bahkan oleh individu seperti Mak Eroh dan para penerima hadiah Kalpataru. Tetapi hasilnya tidak sinambung. Biaya, ilmu dan teknologi, serta keamanan menjadi kendala.
Hanya gerakan resmi pemerintah saja seperti ekoteologi Kemenag yang berpeluang besar pada keberhasilan restorasi. Ada peraturan dan ada penegakan hukum. Sudah banyak ada undang-undang dan peraturan daerah. Sudah banyak kasus hukum disidangkan di pengadilan. Tetapi penegakan hukum lingkungan belum sepenuhnya terwujud. Belum muncul efek jera. Pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan terus terjadi. Banjir Sumatera menjadi hantaman upper-cut yang menimbulkan knock-out (KO).
Pendekatan stuktur berbasis peraturan pemerintah tersebut akan optimal apabila harmonis dengan kultur kearifan lokal seperti slogan mipit kudu amit jeung ngala kudu menta: memungut, meramu, mengubah, memanfaatkan alam harus meminta izin kepada pemerintah berdasarkan hukum positif. Aspek legal yang jujur. Bukan aspek legal yang ugal-ugalan. Selama ini pembangunan (baca: penebangan pepohonan di hutan) kurang menghargai kultur kearifan lokal. Hutan pamali justru oleh pemerintah diberi izin penebangan. Lahan pamali justru dibangun untuk komersial. Akibatnya terjadi rebutan membangun permukiman dan kawasan komersial di lahan kritis. Bahkan sampai ke lahan curam (catang ronggeng), sempadan sungai, empang, dan situ habis dijadikan daratan.
Agar program ekoteologi Kementerian Agama berhasil maka harus ada senyawa antara pendekatan kultur dan struktur sehingga ekosistem bisa diperbaiki sedikit demi sedikit sampai akhirnya pulih atau mencapai batas maksimal yang mampu diperbaiki. Semua ekosistem bisa dipulihkan asalkan optimal dalam memanfaatkan kearifan lokal agamis yang disertai kajian ilmiah dan bersanding harmonis dengan pendekatan struktural yang sesuai dengan prinsip konservasi dan restorasi ekosistem.
Apabila kalangan pemerhati lingkungan, penyelamat fungsi lingkungan, pembela kelestarian fungsi lingkungan disebut Wahabi Lingkungan, maka berkatalah dengan bangga bahwa kami adalah Wahabi Lingkungan! (Gede H. Cahyana, Teknik Lingkungan UKRI)*











