Sudah menjadi rahasia umum, hanya sedikit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang optimal dalam mereduksi polutan. Mayoritas unit proses yang dibuat pun hanya untuk menurunkan konsentrasi zat organik dengan parameter BOD dan/atau COD. Padahal jenis polutannya, selain senyawa karbon dengan parameter BOD dan/atau COD itu, ada bermacam-macam. Sayangnya juga, petugas pemerintah dari kementerian, dinas, badan, kantor, lembaga yang berwenang dari berbagai instansi kesehatan dan lingkungan pun hanya fokus pada angka BOD dan/atau COD. Malah kebanyakan petugas tersebut dan juga masyarakat, termasuk wartawan cetak dan elektronik, hanya terpaku pada angka BOD, COD. Padahal ada sumber polutan lain yang lebih bahaya bagi lingkungan, yaitu nutrien yang terdiri atas senyawa nitrogen dan fosfat.
Historisnya, dalam silsilah pengolahan air limbah, kedua senyawa tersebut digolongkan ke dalam pengolahan tingkat lanjut (advanced treatment) dan menjadi bahasan penting bagi mahasiswa jurusan Teknik Lingkungan mulai dasawarsa 1980-an. Hanya saja, materi pengolahan lanjut air limbah ini kurang maksimal dieksplorasi, bahkan juga di tingkat pascasarjana (magister). Dosen cenderung mengajarkan seluk-beluk teknologi pengolahan konvensional, tapi ini sah-sah saja, karena sejarah dan pola pengajarannya memang demikian. Di bidang riset dan pengembangan ilmu pengolahan nutrien, berbagai temuan baru bermunculan yang diikuti oleh terapannya di dunia praktis. Apalagi pada masa sekarang banyak produk rumah tangga, hotel, kantor, rumah sakit mengandung nitrogen dan fosfat. Berbagai produk pembersih pun tak lepas dari deterjen yang kaya fosfat sehingga signifikansi nitrogen dan fosfat dalam instalasi pengolahan air limbah (IPAL) cenderung menguat dibandingkan dengan senyawa karbon.
Melihat fakta tersebut, wajiblah petugas negara di berbagai departemen, kementerian, dan dinas-dinas di kabupaten, kota, dan provinsi mengawasi IPAL dengan bekal ilmu dan teknologi yang memadai dikaitkan dengan polutan senyawa nitrogen dan fosfat, tidak lagi hanya berpatokan pada angka BOD dan/atau COD. Kalangan wartawan pun hendaklah memiliki ilmu yang serupa itu agar dapat memberitakan secara betul dan berimbang tentang polutan dari suatu pabrik, kantor, kawasan permukiman, rumah sakit, hotel, dll. Lewat berita inilah masyarakat akan mulai bertambah ilmunya tentang air limbah dan teknologi pengolahannya sehingga “jargon” semacam IPAL adalah BOD, COD mulai berubah, ditambah dengan nitrogen dan fosfat, yang ketiganya bisa diolah secara biologi-lengkap (bioproses komplit).
Dengan pola pikir seperti itu maka IPAL yang hanya terdiri atas proses anaerob tidak akan mampu mengolah senyawa nitrogen dan fosfat secara optimal. Bahkan tak mungkin terjadi reduksi senyawa tersebut kecuali hanya sejumlah yang dibutuhkan oleh bakteri dan archaea untuk pertumbuhannya. Itu sebabnya, semua teknologi seperti septic tank, Imhoff Tank, digester, dan banyak lagi nama-nama merek yang dijual komersial di toko, supermarket berbahan fibre, dll tidak akan mampu mengolah N dan P. Produk itu hanya mampu mengolah senyawa karbon (C) dalam wujud BOD dan/atau COD. Ini pun masih rendah efisiensinya. Gabungan proses anaerob dan aerob pun tidak akan mampu mengolah secara tuntas nitrogen dan fosfat kalau tidak disediakan fasilitas resirkulasi internal dan eksternalnya. Persentase debit resirkulasi ini pun berpengaruh pada efisiensi reduksi polutan. Begitu pula halnya dengan fosfat yang memerlukan sejumlah modifikasi resirkulasi dan prasyarat kualitas air limbah.
Selain senyawa nitrogen dan fosfat, masih ada lagi polutan lainnya seperti logam-logam berat dan senyawa-senyawa yang sulit diolah secara biologi. Kelompok terakhir ini harus diolah secara kimia dengan melibatkan beberapa jenis zat kimia sebagai reagennya yang nilai investasi dan biaya O-M-nya jauh lebih mahal dibandingkan dengan bioproses. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar