Spiritual PDAM
Oleh Gede H. Cahyana
Palembang menggelar MAPAMNAS yang dihadiri oleh 410 PDAM di Indonesia, kurang lebih 1.500 orang peserta. Salah satu agendanya adalah pemilihan ketua baru yang bakal menakodai Perpamsi. Dari jumlah tersebut, 171 PDAM sehat. Semoga sehat "lahir dan batin". Juga sehat secara spirituall. Spiritual PDAM.
Apa itu Spiritual PDAM? Melekatkan kata spiritual pada PDAM tak dimaksudkan untuk “mengagamakan” PDAM. Juga tidak membahas isu agama dalam pengertian konvensional tetapi memaknainya sebagai bentukan kata Latin spiritus yang berarti memberikan kehidupan atau vitalitas pada sistem. Arah makna ini ialah peningkatan kualitas sistem, menjadi lebih baik agar menguntungkan perusahaan, pemilik, pegawai, dan direksinya.
Spiritual PDAM ialah upaya menghidup-hidupkan PDAM, membangun ruh PDAM agar mampu bertahan (survive) lalu berkembang (growth). Spirit ini biasanya tercantum dalam ungkapan visi-misinya. Masalahnya, bagaimana cara mencapai visi itu dan bagaimana cara membawa misi perusahaan agar terus tumbuh, tak sekadar bertahan. Dari sekian banyak caranya, ada satu cara yang biasa ditempuh, yaitu membuat skala prioritas dalam setiap tugas dan rencana kerja. Ini lantas dibagi menjadi empat kuadran (quadrant), yaitu mendesak dan penting, mendesak dan tidak penting, tidak mendesak dan penting, tidak mendesak dan tidak penting. Semua rencana kerja yang sudah dikuadrankan itu kemudian dilaksanakan dan dievaluasi apakah terjadi perubahan posisi kuadran selama proses kerjanya ataukah tidak.
Pola skala prioritas itu dapat dianalogikan dengan pola Abraham Maslow, seorang psikolog yang merilis piramid kebutuhan pada tahun 1960-an. Ia membagi dua kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dasar dan kebutuhan pertumbuhan. Kebutuhan dasar atau motivasi dasar ini dikatakannya setara dengan kebutuhan yang juga dimiliki hewan sehingga disebut deficiency needs. Berikutnya ialah kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan pertumbuhan seperti penghargaan diri (self-esteem) dan aktualisasi diri (self-actualization). Berasal dari kata actualize yang berarti mewujudkan, aktualisasi menjadi isu kuat yang berkembang di perusahaan, termasuk di PDAM. Ini diarahkan untuk mewujudkan PDAM menjadi perusahaan yang sehat, berbalik modal (full cost recovery) dan berlaba.
Apa yang mesti dilakukan agar tujuan PDAM tercapai? Pembenahan! Benahi manajemen dan sisi teknisnya lewat pelatihan setelah diawali dengan pendidikan yang sepadan (matching) dengan bidang kerjanya. The right people on the right place, true position. Teori dan praktik pelatihan tak dimungkiri bernilai penting bagi insan PDAM untuk menambah ilmu, pemahaman, pengalaman dan tukar informasi antarinsan PDAM di seluruh Indonesia. Ini perlu dilaksanakan berkesinambungan agar spiritnya terus diperbarui, tetap menyala, tidak sekali jadi lalu mati. Yang disebut terakhir, yaitu tukar informasi, bisa dicapai dengan memanfaatkan internet, menjadi miliser di milis PDAM Bangkit, misalnya.
Piramid Maslow
Tak satu jalan ke Roma. Tak satu jalan untuk membenahi perusahaan. Begitu pula, tak satu cara untuk menghidup-hidupkan PDAM. Salah satu caranya ialah dengan modifikasi Piramid Maslow dan pembenahannya dilaksanakan secara mandiri. Piramid Maslow dapat diadopsi demi pembaruan spirit PDAM. Modifikasinya dengan cara membalik Piramid Maslow sehingga puncak piramidnya berada di bawah. Inilah resep yang disarankan Danah Zohar dan Ian Marshall setelah menelaah tulisan Frederick Herzberg (1959) yang membuktikan kekeliruan teori Maslow.
Dengan pembalikan itu posisi puncak menjadi di bawah dan harus ditempuh dulu sehingga aktualisasi diri menjadi kebutuhan utama. Setelah itu barulah harga diri atau status. Karyawan perusahaan membutuhkan status dan harga diri. Makanya, di perusahaan akan terjadi kompetisi secara sehat maupun “sakit”, bahkan ada yang “main kayu”. Karyawan, terutama yang memiliki semangat kompetisi akan selalu berupaya diakui oleh sejawatnya, diakui atasannya. Inilah bentuk karakter dasar manusia yang ingin lebih daripada orang lain. Tetapi ini bisa bernilai positif kalau arahnya positif dan bersaing secara sehat lewat kompetensi dan kapabilitas. Di lain pihak, atasan wajib menilainya secara objektif.
Berikutnya ialah sosial atau relasi sosial kemanusiaan. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu ingin berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi sosial ini pun sebetulnya dilatari oleh beragam kepentingan, misalnya karir, jabatan, ekonomi, dan pendidikan. Sudah sifat alaminya, manusia akan selalu berupaya membuat kelompok yang setipe dalam tujuan, dalam kesenangan, hobi, dan pendidikannya. Di perusahaan, dalam interaksi sosial ini, manusia berfungsi sebagai pengubah dan pemberi pengaruh kepada koleganya. Manusia atau karyawan ingin memperoleh pengakuan dari rekan kerjanya bahwa dirinya mampu dalam bidang tertentu dan ingin ikut diperhitungkan dalam setiap kegiatan perusahaan.
Lantas kebutuhan rasa aman. Maknanya demikian luas, tak hanya aman secara fisik tapi juga psikis. Insan PDAM akan merasa aman bekerja kalau kebutuhannya dilengkapi perusahaan. Ia akan dapat beraktivitas dan mengekspresikan dirinya dalam ujud kinerja optimal. Rasa aman ialah perlindungan atau asuransi atas semua aktivitas kerjanya. Andaikata terjadi kecelakaan kerja, ia percaya masih bisa berobat karena perusahaan peduli dalam ujud Askes atau tunjangan kesehatan lainnya. Bahkan keluarganya pun masih bisa aman karena ada uang pensiun atau tunjangan pensiunnya cukup layak.
Rasa aman pun bisa masuk ke sisi karir karyawan. Kejelasan karir dan penjenjangan dapat memicu karyawan yang tinggi potensinya. Apa dan bagaimana posisi karir dan jabatannya sepuluh tahun ke depan bisa diprediksi dengan tetap mengacu pada kualitas atau kinerja setiap karyawan. Juga ada keyakinan bahwa tak ada kolusi dan nepotisme dalam promosi jabatan, termasuk dalam penanganan projek. Jenjang karir pun jelas, terang benderang dan dievaluasi berkala dengan menyertakan portofolio kompetensi, misalnya jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Jadi, rasa aman ini akan menyamankan insan PDAM yang ingin maju, terus bersekolah ke strata yang lebih tinggi dan bersikeras mengembangkan perusahaan.
Yang terakhir ialah kebutuhan fisiologis. Hirarki ini mengacu pada kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman. Tak dimungkiri, setiap orang butuh makanan dan minuman atau dengan kata lain, setiap orang pasti perlu uang untuk memperoleh semua kebutuhan nutrisinya, baik untuk dirinya maupun keluarganya. Jika PDAM ingin berkembang, maka pemenuhan kebutuhan ini wajib diperhatikan karena dapat mempengaruhi kinerjanya. Tak bisalah orang lapar bekerja optimal, apalagi yang harus berada di lapangan setiap hari, kena panas, debu, dan hujan sambil menyusuri jaringan distribusi, memantau kondisi banjir di dekat bangunan intake atau mengukur debit flowmeter di atas sungai.
Piramid Maslow versi baru itu disebut Spiritual Needs, kebutuhan yang diarahkan pada nilai-nilai spiritual yang mampu menghidupkan manusia, baik sebagai manusia (mankind) maupun sebagai karyawan. Analogi serupa lantas digunakan untuk menganalisis Piramid PDAM yang secara konvensional merujuk pada Piramid Maslow.
Balik Piramid PDAM
Piramid PDAM seperti dibahas di MAM edisi 108, September 2004 di bawah judul “Mendewakan Air, Mendewasakan PDAM”, adalah posisi normal yang selaras dengan Piramid Maslow. Seperti Maslow, Piramid PDAM itu ditempuh dengan melewati dasarnya dulu sebagai basic needs. Artinya, semua komponen P (Pegawai), D (Desain), A (Area Servis) dan M (manajemen) harus dilaksanakan dulu dengan optimal, baru kemudian memuaskan K (konsumen) yang berada di puncak piramid. Evaluasi seperti ini memosisikan konsumen sebagai bagian akhir yang mesti ditangani.
Paradigma baru tentang Spiritual PDAM justru mengawali pembenahan perusahaan lewat konsumennya dulu. Melibatkan konsumen berarti menghargai ide mereka tentang PDAM sekaligus mengakomodasi gejolak ketakpuasannya atas layanan PDAM. Juga berarti menghargai kecerdasan otak (IQ) dan emosinya (EQ). Selanjutnya, dengan pelibatan konsumen pada perbaikan kinerja PDAM, demi menghidup-hidupkan PDAM, maka konsumen sudah pula menyumbangkan kecerdasan spiritualnya (SQ). Apalagi kalau PDAM merealisasikan aspirasi konsumen, mereka pun merasa dihargai secara kecerdasan aspirasi (Aspiration Quotient, AQ). Konsumen pun, baik pejabat publik maupun rakyat awam, dapat mendesak PDAM untuk mewujudkan perbaikan layanan lewat kecerdasan dayanya (Power Quotient, PQ).
Pelibatan konsumen atas masalah di PDAM lebih mengarah pada nilai-nilai moral dan etika demi menghidup-hidupkan PDAM. Dengan kata lain, pencapaian spirit PDAM dimulai dari pelanggannya. Pelangganlah yang menghidup-hidupkan PDAM, bisa maju jika konsumennya peduli dan didahulukan kebutuhannya sembari membelakangkan peran PDAM. Wajarlah muncul pendapat bahwa posisi pelanggan lebih dominan dalam melestarikan PDAM. Tanpa pelanggan tak mungkinlah PDAM bisa eksis. Siapa yang akan membeli airnya jika bukan pelanggan? Makin banyak pelanggan, makin kuatlah pijakan PDAM. Barangkali inilah sebabnya salah satu poin penilaian dalam Perpamsi Award adalah jumlah pelanggan yang minimal mencapai 50.000 unit.
Pelanggan, dalam hal ini semua rakyat Indonesia, bisa menjadi bos di depan lembaga legislatif. Pelanggan, apalagi kalau bergabung dalam asosiasi, akan kuatlah posisinya dalam menekan DPRD agar peduli pada PDAM sekaligus mempengaruhi eksekutif: bupati-walikota. Pada saat yang sama, pelanggan yang terdiri atas orang-orang terdidik bisa ikut memberikan masukan kepada DPRD berkaitan dengan PDAM. Sebab, di luar anggota dewan, masih banyak orang Indonesia yang memiliki kompetensi dan kapasitas ilmu yang memadai. Betapa banyak peneliti dan dosen yang kepakarannya tak diragukan lagi, baik di bidang politik, ekonomi, budaya, sosial, keamanan, pertahanan, maupun rekayasa.
Pelanggan pun bisa menjadi “polisi” yang mengawasi sumber air. Pelanggan dapat mengawasi pabrik dan masyarakat agar tak mengotori air dan melindungi hutan sebagai zone tangkap-resap (tangsap) air hujan. Termasuk menekan pemerintah dalam menetapkan kawasan lindung demi kelestarian fungsinya sebagai zone tangsap. Kerusakan daerah tangsap akan merusak kesinambungan suplai air baku dan yang rugi tak hanya pelanggan, tapi juga PDAM. Pelanggan pun bisa menjadi “jaksa” yang menuntut orang dan pabrik pencemar lingkungan dengan cara mendatangi pabriknya tanpa anarkhistis. Begitu pun, pelanggan bisa menjadi “hakim” dengan “mengadili” pabrik pencemar lingkungan lewat boikot atas produknya. Efek ini kalau betul-betul dilaksanakan akan signifikan bagi penguatan sumber daya PDAM.
Oleh sebab itu, pelanggan dapat dianalogikan dengan angsa dan aktualisasi PDAM sama dengan telur emas. Tujuannya ialah menghasilkan telur emas. Kalau PDAM ingin terjadi aktualisasi hendaklah PDAM memperhatikan angsanya (pelanggan). Inilah yang diistilahkan oleh Stephen R. Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People sebagai kesetimbangan P/PC (production/production capacity). Makna falsafinya, pelanggan harus dirajakan dan cita-cita PDAM berupa aktualisasi juga diindahkan, tanpa menelantarkan salah satunya. PDAM tidak boleh hanya berpikir pada rencana aktualisasinya tanpa peduli pada pelanggan. Pada saat yang sama, perlakuan baik pada pelanggan juga harus diimbangi dengan perlakuan baik kepada orang yang melayani pelanggan, yaitu karyawan. Perlakukanlah karyawan dengan baik seperti perusahaan yang memperlakukan pelanggannya dengan baik.
Apabila hal di atas bisa dilakoni oleh asosiasi pelanggan otomatis dinding piramid A, I, R dan T dapat dicapai sehingga kualitas air menjadi Aman, Isinya memenuhi kebutuhan, dan Rutin 24 jam. Lalu Tarifnya sesuai dengan kemampuan rerata pelanggan karena DPRD sudah pula “dikuasai” rakyat (pelanggan). Suara rakyat, suara dewan. Dampaknya pasti menguntungkan PDAM: P (Pegawainya) dibayar dengan layak dan ada kejelasan karir sebelum pensiun. D (Desainnya) bisa dikembangkan menjadi canggih untuk air tercemar berat karena punya dana akibat kemajuan yang dicapainya sehingga luas A (Area servisnya) bertambah yang berdampak pada pola hidup higienis-saniter dan penambahan laba perusahaan. Dengan keteraturan itu M (Manajemen) otomatis membaik, apalagi mampu menerapkan reward dan punishment atau carrot dan stick. Lantas perusahaan dapat membangun budayanya, corporate culture, yang mengedepankan integritas dan kejujuran insan PDAM.
Contoh Spiritual PDAM yang paling dekat dengan insan PDAM ialah instalasinya. Insan PDAM bisa belajar dari unit koagulasi-flokulasi. Filosofi koagulasi ialah menyebarkan koagulan lalu mendistribusikannya ke seluruh bagian air. Berasal dari kata Latin coagulare yang artinya drive together, berarti insan PDAM, baik direksi maupun pegawainya mesti menyetir PDAM bersama-sama. Inilah spirit yang mungkin terlupakan oleh insan PDAM. Berkoagulasi berarti menjalankan PDAM bersama-sama dalam fungsi masing-masing, saling melengkapi dan mengarahkan (direktif) perusahan agar hidup dan menghidup-hidupkannya.
Jika demikian, mengapa PDAM tak mencoba membalik Piramid PDAM dan pemerintah pusat plus DPR mendukungnya lewat undang-undang? Piramid mana yang posisinya terbaik? Yang normal seperti Maslow boleh-boleh saja, yang dibalik seperti Zohar-Marshall juga bagus-bagus saja. Yang penting adalah aksi (action), agar didapat reaksi (reaction) positif bagi PDAM dan pemangkunya (stakeholders). *