• L3
  • Email :
  • Search :

28 Februari 2008

Lomba Toyota Eco Youth SMKN 7 Bandung

Lomba Toyota Eco Youth SMKN 7 Bandung
Oleh Gede H. Cahyana

Selasa, 26 Februari 2008 lalu, Tim Juri Toyota Eco Youth Program ke-3 berkunjung ke SMKN 7 Kota Bandung untuk penilaian terakhir. Pada akhir Maret 2008 nanti, semua tim, yakni 30 SMK dan SMA di seluruh Indonesia akan bertarung di Jakarta. Siapa yang menang? Nggak tahulah kita, tapi yang penting adalah ikut serta dalam lomba TEY ini. (Pada foto di atas tampak juri sedang menyimak paparan dari tim lomba ini).

Kami, yaitu siswa SMKN 7 Kota Bandung dan pembimbing siswa (penulis dan guru biologi dan PLH), mewartakan sekilas perihal sekolah dan materi lomba kami dalam TEY kali ini. SMKN 7 Kota Bandung terletak di bagian Selatan kota, di sisi Selatan Jln. Soekarno – Hatta (Bypass) No. 596. Meskipun di pinggir jalan besar, tetapi tidak bising karena lokal-lokal kelasnya berada jauh di belakang, jauh dari jalan dan ditumbuhi oleh pepohonan besar dan perdu. Perdu dan pepohonan inilah yang menjadi penghalang bising lalu-lintas. Waktu pendiriannya tahun 1964 dikenal dengan nama STM Negeri Kimia Bandung yang beralamat di Jln. Sudirman, di pusat Kota Bandung.

SMKN 7 Kota Bandung sekarang berkembang menjadi Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dengan ditunjang oleh berbagai fasilitas sekolah dan bekerja sama dengan industri dalam lingkup regional, nasional dan internasional. Sampai tahun 2008 ini program keahlian di SMKN 7 Bandung adalah:
1. Kimia Industri (tahun 1964)
2. Teknologi Penyempurnaan Tekstil (tahun 1967)
3. Analisis Kimia 3 Tahun (2003).
4. Farmasi (2008).

Berdasarkan program keahlian tersebut, dapat dikatakan bahwa air limbah yang banyak ditimbulkan dari kegiatan pendidikannya adalah air limbah laboratorium. Pada saat ini air limbah yang dihasilkan ditampung di bak belakang sekolah, di dekat kantin. Oleh sebab itu, dalam lomba yang diadakan oleh Toyota ini kami membuat materi lomba berupa pengolahan air limbah sekolah. Bahan-bahan yang digunakan pun berasal dari limbah padat (sampah) berupa tempurung kelapa, plastik, dan bambu yang diambil dari sampah di pasar Gedebage, di bagian Timur SMKN 7. Artinya, kami mengolah limbah dengan memanfaatkan limbah.

Teknologi yang digunakan adalah Biofilter Anaerob (Anaerobic Biofilter). Dalam alat ini, bahan-bahan yang digunakan berasal dari sampah tempurung kelapa, bambu, dan plastik minuman kemasan. Meskipun namanya biofilter, tetapi fungsinya bukanlah sebagai filter karena sangat tidak mungkin menyaring polutan atau kotoran berukuran molekul dan ion dengan jarak antara tempurung, bambu, atau plastik berukuran besar (milimeter-centimeter). Jarak antarmedia ini pun tidak boleh terlalu kecil. Kalau terlalu kecil, lama-lama bisa tersumbat oleh perkembangan bakteri yang makin banyak. Kalau tersumbat berarti air limbahnya tidak bisa mengalir lancar atau alirannya menjadi kecil. Dengan kata lain, media filter ini hanya berfungsi sebagai tempat melekat bakteri anaerob. Bakteri inilah yang akan mengikat pencemar yang ada di dalam air limbah lalu mengubahnya menjadi gas CO2 dan CH4 yang sering disebut dengan biogas.

Memang, air limbah laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat. Secara umum pun bakteri dianggap tidak tahan terhadap logam berat. Namun demikian, menurut penelitian yang dilakukan terhadap air Lumpur Lapindo di Sidoarjo, bakteri anaerob mampu mengolah logam berat. Bakteri ini mampu mengambil 60% logam berat yang ada di dalam air Lumpur Lapindo (sumber: Buku Biologi Kelas Satu). Berdasarkan data penelitian inilah kami yakin bahwa Biofilter Anaerob yang kami buat akan mampu juga menangani air limbah laboratorium sekaligus menurunkan pencemar berupa BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand).

Selain untuk mengikuti lomba ini, kami juga menyebarkan Biofilter Anaerob ini kepada teman-teman dan masyarakat sekitar. Biofilter ini dapat dijadikan pengganti Septic Tank yang kurang mampu mengolah air limbah dan bentuknya terlalu sederhana. Memang harganya lebih mahal dan perlu lahan yang lebih luas. Diperkirakan luas yang dibutuhkan untuk satu rumah dengan lima anggota keluarga adalah 1 x 3 m2 dan dalam 1-1,5 m. Lebih bagus lagi adalah secara komunal, yaitu lima s.d sepuluh KK iuran membuat satu Biofilter Anaerob sehingga biayanya menjadi jauh lebih murah. Perawatannya pun bisa ditanggung bersama dan gotong royong.

Kalau beberapa keluarga memiliki satu Biofilter Anaerob maka pencemaran lingkungan bisa dikurangi. Di atas Biofilter ini bahkan bisa dipasangi pot-pot bunga sehingga orang tidak tahu bahwa di bawah pot bunga itu ada air limbah yang diolah dengan teknologi Biofilter. Atau, boleh juga sengaja dipasangi plank keterangan Biofilter Anaerob di atasnya agar masyarakat lainnya tahu dan bertanya-tanya lalu ikut juga mengolah air limbahnya dengan teknologi ini. RT/RW bisa diajak urun rembug dalam penyebaran alat ini.

Terakhir, yang juga menguntungkan, Biofliter Anaerob ini sama sekali tidak memerlukan listrik, tidak perlu oksigen dalam pengolahannya. Biofilter Anaerob tidak membutuhkan oksigen dalam mengolah air limbah seperti banyak diterapkan di Jepang dengan nama Johkasou. Mudah-mudahan alat ini nanti dapat berkembang di masyarakat, terutama yang dekat dengan SMKN 7 Kota Bandung sehingga polusi air sungai, selokan di sekitarnya bisa dikurangi.

Demikian dan terima kasih.
Tim SMKN 7 Kota Bandung.




ReadMore »

Kutulis, Aku Eksis

Awalnya aku bukanlah penulis. Sekarang pun aku belum pantas disebut penulis, belum layak menyandang predikat penulis. Tetapi, apa pun istilahnya, apakah penulis atau pembelajar menulis, aku terima saja. Yang penting bagiku, aku sudah menuliskan kata, frase, kalimat, paragraf dan untaian alinea yang akhirnya berupa tulisan. Entah apa namanya, aku tak peduli. Barangkali ada yang bernama eksposisi, ada deskripsi, ada yang argumentasi, ada juga yang narasi. Pokoknya EDAN (Eksposisi, Deskripsi, Argumentasi, Narasi). Jadi, bagiku, yang terpenting adalah menulis dan... menulis.

Ada sebabnya aku menulis. Ini lantaran aku menjadi pengajar dan wajib membuat tulisan ilmiah, populer, atau minimal berbentuk diktat. Terpaksalah aku menulis dan akhirnya... ketagihan. Andaikata aku tetap bekerja di sektor lain, aku yakin, aku takkan bisa menulis. Kalaupun mampu menulis, mungkin wujudnya hanya laporan teknik yang kaku dan “tak bersahabat” karena bab, subbab, dan poin-poin kupasannya sudah dibakukan oleh departemen atau dinas. Tak ada kebebasan dalam kreasi tatatulis, wajib mengikuti alur yang mereka buat, meniru laporan sebelumnya, dikekang oleh kungkungan pola pikir kalangan statis, status quo.

Seiring putaran waktu, akhirnya aku peroleh juga kenikmatan menulis, apalagi ada honornya. Ada tulisan yang betul-betul kurahapkan honornya, ada juga yang sekadar sumbangan untuk pengelola tabloid dan majalah kampus. Ada juga tulisan yang kuharapkan diterbitkan di suatu koran tanpa peduli sekecil apapun honornya lantaran ada misi yang dipikulnya. Banyak juga yang kugunakan sebagai pelepas penatku karena melihat ketakadilan di masyarakat lalu kurilis di dunia maya lewat blog sehingga orang lain dapat mengetahui kejadiannya, minimal ikut merenungkannya sejenak. Mudah-mudahan lewat renungan sekejap itulah pembaca memperoleh hikmah.

Patut diakui, renungan itu ibarat kuntum, wangi bunga yang memotret fakta harian lalu melahirkan semangat untuk meniti kehidupan. Ia serupa dengan parabola: lahir, batita, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, paruh baya, tua awal, lansia, lalu... mati. Itu sebabnya, kelebat renungan hendaklah digemakan lewat tulisan agar “abadi” dalam fana. Relakah kita menjadi “sekali jadi lalu mati, tak berarti?” Goresan pena, ketikan tuts komputer dapat “mengekalkan” manusia. Karya unggul (masterpiece) ulama salaf (lampau), sastrawan klasik, saintis dan teknolog tetap abadi dikaji beragam kalangan sampai sekarang. Inilah yang “memperpanjang” usia, “menambah” jatah hidup bagi penulis.

Meyakini “keabadian” itu dan karena hidup ini singkat, aku lantas berupaya menulis yang tak sekadar tulisan tetapi yang berguna buat pembaca. Kutulislah tapak-jejak hidupku agar tak mudah dihempas masa, tak dilupakan zaman, tak diburu waktu, tak dideru debu, dan tak digadai badai. Lewat untai tulisanlah aku berharap dikenang anak-anakku, cucuku, dan buyutku nanti. Harapanku, lewat tulisanlah spirit hidup kutanamkan kepada zuriatku, termasuk spirit membaca dan menulis. Hendak pula kutegaskan, bahwa eksistensi manusia bisa diraih lewat menulis. Maka, hadirlah mottoku dalam tatatulis, yaitu Kutulis, Aku Eksis. Kian banyak menulis, kian eksislah manusia di depan khalayak, lepas dari kerumunan manusia awam, menjadi manusia spesial, yaitu penulis!

Hanya saja, dalam pandanganku, tak ada batas statistik seseorang pantas disebut penulis besar. Semasih hidup, belumlah ada karyanya yang dapat disebut besar apalagi terbesar. Proses menulis, bagiku, baru berhenti ketika jasad berkalang tanah, bercampur lapukan daun, ditemani cacing, belatung, dan bakteri. Dari titik mati inilah para pemerhati dan kritikus tulisan bisa menyigi warisan tulisan seseorang lantas menobatkan satu atau beberapa karya tulisnya sebagai karya baik dan terbaik. Lewat warisan tulisan itulah orang lantas menjadi “abadi” dan panjang umur, mengisi khazanah ilmu selama bertahun-tahun. Ia kekal dalam edaran waktu. Sekadar contoh, betapa “abadi” buku karya Isaac Newton (1642-1727), yaitu Philosophiae Naturalis Principia Mathematica atau Dasar Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, terbit tahun 1686-1687.

Waktu, kata orang bijak, bagaikan pedang (sword). Yang gagal mengelolanya akan dipenggal oleh kelebatnya, tanpa pemberitahuan, tanpa ultimatum. Desir tebasannya segera memenggal kehidupan manusia. Sungguh, aku tak mau menjadi korbannya. Kuupayakan mengubah sword, sang pedang itu, menjadi words: kata-kata. Kulawan sword dengan words: dengan kata, frase, kalimat, paragraf, dan... tulisan. Itu sebabnya, aku bersuluk-suluk mencari waktu agar bisa menumpahkan lika-liku hidupku. Ditemani buku, dikawani penganan, dan ditingkah tak-tik tuts komputerku, aku menata huruf, kata, dan kalimat. Kuuntai menjadi jalinan yang mudah-mudahan membuahkan hikmah. Ketika tuntas satu tulisan, legalah hatiku, terbanglah aku. Kuterbang diiringi gemerincing tari sufi, fly di awan ilmu, di langit buku, di atmosfer kalbu.

Sejujurnya, aku ingin masuk ke dalam grup orang berilmu, menjadi orang ‘alim. Tapi aku sadar sesadar-sadarnya, tak banyak ilmu yang bisa kuserap selama ini. Yang kutekuni saja hanya secuil yang kudapat. Sebagian besar sisanya tak kuketahui, apalagi kukuasai. Malah setahuku, orang jenius pun tak bisa menguasai semua ilmu di jagat ini. Dia hanya jenius di bidang tertentu. Dulu, tahun 1990 atau 1991, aku lupa tahun berapa pastinya, aku menonton film Rainman. Ceritanya tentang orang idiot tapi jenius dalam hal tertentu atau idiot savant. Aku tentu saja tak ingin seperti Rainman. Aku ingin otakku mampu berpikir dan menghasilkan hal-hal positif bagiku dan buat lingkunganku. Atau, suatu saat kelak bermanfaat untuk keturunannku.

Otak, bagaimanapun, adalah suvenir fisiologis terbesar bagiku. Tuhan Sang Kreator menitipkan si kelabu kembar itu demi pembedaku dengan hewan. Ketika kera diberi insting, aku tak hanya diberi naluri dan otak tapi juga akal. Dengan otak dan akal itulah aku memilah lalu memilih yang baik, yang benar. Ini sebabnya aku tak setuju pada ungkapan Charles Darwin yang meyakini bahwa kera dan manusia berhulu pada nenek moyang yang sama. Dia memang tidak eksplisit menyatakan manusia berasal dari kera tapi aku tak setuju pada ungkapannya bahwa kera dan manusia ber-evolusi dari nenek moyang yang sama. Kera adalah kera, golongan hewan, sedangkan manusia adalah insan yang diciptakan dari tanah lalu diberi bentuk. Namun aku sadar, manusia bisa jauh lebih hina ketimbang binatang.

Yang terakhir, aku ingin mempraktikkan iqra dan kalam, baca dan tulis dalam hidupku. Aku begitu terkesan ketika tahu ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah tentang membaca. Bahkan kata iqra itu diulang dua kali dalam surat al ‘Alaq. Setelah itu barulah diperintahkan kalam, yaitu menulis. Logis! Dalam pembelajaran, anak kelas satu SD pasti disuruh membaca dulu baru menulis. Orang yang menulis tak mungkin tanpa didahului aktivitas membaca. Membaca dulu, barulah menulis. Yang juga hebat bagiku, Allah memilih orang yang tak bisa baca-tulis sebagai penerima risalah-Nya.
Akhir kata, sekali lagi, inilah deklarasiku: Kutulis, Aku Eksis. *
Gede H. Cahyana.
ReadMore »

Hardness vs Softening

Dimuat di MAM edisi 148, Januari 2008.
Kekerasan, tindakan anarkhistis, main hakim sendiri, pasti tak disukai oleh masyarakat. Di PDAM pun tak diharapkan terjadi kekerasan. Begitu juga “kekerasan” di dalam air yang disebut hardness. Kalau tinggi kadar hardness di air baku PDAM maka tinggi pula biaya operasi-rawat instalasinya sehingga mengurangi laba bersihnya. “Kekerasan” air ini seolah-olah musuh bagi PDAM sehingga harus “dimusnahkan” atau dikurangi sampai batas yang diizinkan oleh baku mutu air minum demi kesehatan pelanggan.
Tak hanya dampak kesehatan, kerugian ekonomi pun terjadi lantaran hardness. Banyak ibu rumah tangga mengeluh karena panci dan ketelnya cepat berkerak dan kotor. Kalau dicuci dan digosok terlalu keras malah bocor. Inilah salah satu dampak buruk “air keras” terhadap peralatan dapur yang sering digunakan untuk memanaskan air. Dampak berikutnya adalah boros penggunaan sabun mandi. Sebab, sabun natrium (sodium soap) lebih dulu bereaksi dengan kation penyebab hardness (kesadahan) dan membentuk endapan sehingga tidak bisa berbusa sampai semua ion kesadahannya habis bereaksi. Reaksinya sbb:
2NaCO12C17H33 + Kation Kesadahan à Kat(CO12C17H33)2¯ + 2Na+.
sabun endapan
Parahnya lagi, endapan itu dapat melekat dan mengotori serat kain, porselen, keramik, dan alat plambing seperti wastafel, kloset, bathtub, urinal, dll. Selain disinyalir bisa menyumbat pori-pori kulit sehingga terasa kasar dan tidak nyaman, air sadah pun dikaitkan dengan penyempitan pembuluh darah dan penyakit jantung (kardiovaskuler).
Tak hanya PDAM yang direpotkan oleh kesadahan, di pabrik yang menggunakan boiler atau pemanas air pun terjadi hal serupa. Malah dampaknya lebih berbahaya, yaitu bisa meledak. Ledakan terjadi kalau endapan di dalam dinding boiler itu tidak merata sehingga tekanannya terus membesar dan tidak setimbang (merata). Di bagian yang banyak endapan (kerak) akan bertekanan lebih besar daripada bagian dinding lainnya sehingga potensial meletus. Di dalam pipa air panas (hot water supply) yang ada di hotel-hotel atau di villa pun terjadi demikian. Penggantian pipa lantas terpaksa sering dilakukan sebelum usia desainnya tercapai.
Separah itukah dampak air sadah? Betul, semuanya bisa terjadi. Itu sebabnya air pengisi boiler haruslah air yang bebas-sadah. Kalaupun sadah, harus serendah-rendahnya untuk menghindari pengerakan. Dengan kata lain, syarat kesadahan air ketel lebih ketat ketimbang air minum, yaitu maksimum satu derajat Jerman. Biasanya ditulis 1oG (G = Germany) atau D (Deutsch). Satu derajat Jerman setara dengan 10 mg/l CaO atau 17,9 mg/l CaCO3. Sebaliknya pada air minum, dipersilakan kesadahannya antara 5 – 10o G. Hanya saja, dalam keputusan Menteri Kesehatan yang berlaku sekarang, besarnya kesadahan sampai 500 mg/l tetapi tidak dijelaskan satuannya apakah CaCO3 ataukah CaO atau yang lainnya.
Apabila dirujuk ke beberapa buku teks, ada pembagian taraf kesadahan. Biasanya dikelompokkan menjadi empat kategori. Yang kesatu: air lunak (soft) dengan kesadahan kurang dari 50 mgl/ CaCO3. Kedua, sedang, dengan nilai kesadahan antara 50 – 150 mg/l CaCO3. Ketiga, keras, antara 150 – 300 mg/l CaCO3, dan keempat sangat keras, yakni lebih dari 300 mg/l CaCO3. Artinya, batas maksimum keputusan Menteri Kesehatan yang berlaku sekarang (nomor 907/Menkes/SK/2002) jauh di atas “sangat keras” (very hard). Tidakkah ini keliru? Adakah penjelasan lain?
Penyadahan
Air sadah berasal dari air hujan yang melewati formasi geologi atau lapisan batu kapur. Konsentrasinya berbeda-beda, ada yang besar, ada yang kecil. Yang besarlah yang menjadi masalah karena harus diolah dengan cara pelunakan atau softening. Menurut definisinya, kesadahan ialah kehadiran kation multivalen (valensi 2 atau 3) berkonsentrasi tinggi di dalam air. Dari sekian banyak jenis kation itu, penyebab utamanya hanya kalsium dan magnesium. Yang lainnya adalah besi, mangan, timbal, barium, dan aluminum. Anion yang terlibat biasanya bikarbonat, sulfat, klorida, nitrat, dan silikat.
Bagaimana proses terjadinya air sadah? Proses ini tak lepas dari siklus hidrologi. Air hujan yang sampai ke Bumi, ada yang melimpas (run off) ada juga yang meresap (infiltrasi) ke dalam tanah lalu mengalami perkolasi (menyusup) di lapisan tanah dalam. Ketika mengalir di lapisan tanah atas (top soil), di dalam air terjadi aktivitas mikroba yang menghasilkan karbondioksida (CO2). Air dan CO2 ini lantas membentuk asam karbonat (H2CO3). Asam inilah yang bereaksi dengan batu kapur, gamping (CaCO3, MgCO3) menjadi kalsium bikarbonat, Ca(HCO3)2 dan magnesium bikarbonat, Mg(HCO3)2.
Berdasarkan komposisi ion-ionnya, kesadahan biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu
kesadahan sementara (karbonat atau temporer) dan kesadahan tetap (non-karbonat atau permanen). Kesadahan sementara disebabkan oleh kation yang bereaksi dengan anion HCO3- (bikarbonat) dan sensitif terhadap pemanasan, langsung menimbulkan endapan pada temperatur tinggi. Endapannya ialah CaCO3 dan Mg(OH)2. Berikutnya, kesadahan tetap, disebabkan oleh anion sulfat, klorida, nitrat, silikat. Kesadahan ini tidak dapat dihilangkan dengan pemanasan tetapi harus direaksikan dengan kapur dan soda.
Berkaitan dengan konsentrasi kation dan anion pembentuk kesadahan, ada dua hal yang bisa terjadi. Yang pertama, konsentrasi bikarbonat lebih kecil daripada jumlah konsentrasi kation kalsium dan magnesium. Ini bisa ditulis [HCO3-] < ([Ca2+] + [Mg2+]). Akibatnya, di dalam air ada dua jenis kesadahan, yaitu kesadahan temporer dan kesadahan tetap. Nilai konsentrasi kesadahan temporer sama dengan konsentrasi HCO3- sedangkan kesadahan tetapnya sama dengan sisa konsentrasi kalsium dan magnesium yang tidak bereaksi dengan HCO3-. Kesadahan tetap ditambah kesadahan sementara menghasilkan kesadahan jumlah atau kesadahan total.
Kemungkinan kedua, konsentrasi bikarbonatnya lebih besar daripada jumlah konsentrasi kalsium dan magnesium. Ditulis: [HCO3-] > ([Ca2+] + [Mg2+]). Apabila kondisi ini yang terjadi maka di dalam air hanya ada kesadahan temporer. Semua kation Ca2+ dan Mg2+ habis bereaksi dengan HCO3- sehingga kesadahan temporer sama dengan kesadahan total.
Softening
Karena air sadah menimbulkan masalah, serentaklah perusahaan air minum, terutama di negara-negara bagian (state) di Amerika Serikat, ramai-ramai “memerangi” “kekerasan” air ini. Proses “perang” ini dinamai water softening atau pelunakan air. Biasa didefinisikan sebagai pemisahan mineral terlarut di dalam air yang menyebabkan kerak (scaling) di panci, boiler (ketel), menimbulkan endapan di dalam pipa PDAM dan memboroskan sabun mandi. Mineral penyebab fenomena ini disebut ion penyebab sadah. Lantas, bagaimana dengan PDAM kita, sudahkah “menjinakkan” atau melunakkan air “kerasnya”?
Konsentrasi kesadahan juga mempengaruhi kecenderungan air untuk mengkorosi pipa distribusi berbahan besi milik PDAM. Adapun kalangan industri lebih fokus pada pembentukan scaling (kerak) pada ketel uapnya, juga warna air dan rasa air yang dapat mempengaruhi produknya kalau berbahan baku air sadah. Industri, apalagi industri elektronika, biasanya mengolah air dengan kualitas yang lebih baik daripada air PDAM. Artinya, kalau airnya ada yang dipasok dari PDAM maka air PDAM itu pun diolah lagi khusus untuk menurunkan kekeruhan dan kesadahan, termasuk pembasmian bakteri.
Untuk menerapkan siasat dalam memerangi atau memisahkan ion penyebab sadah itu perlu diketahui hasil-kali kelarutannya (biasa ditulis Ksp). Pada Tabel 1 disajikan hasil-kali kelarutan dan kelarutan garam-garam kalsium dan magnesium. Angka ini berguna untuk memperkirakan kecenderungan air yang mengandung ion kesadahan apakah akan menimbulkan kerak pada dinding pipa, panci, dan ketel ataukah tidak.
Tabel 1. Kelarutan dan Ksp garam-garam penyebab air sadah.
Senyawa
Kelarutan (mg/l)
Ksp
Dingin
Panas (25o C)
CaCO3
14
18
5 x 10-9
Ca(OH)2
1850
770
8 x 10-6
CaSO4
2090
1620
2 x 10-5
MgCO3
542500
727000
-
Mg(OH)2
9
40
9 x 10-12
MgSO4
260000
738000
-
Sr(OH)2
4100
218300
-
SrCO3
11
650
-
Dari penelitian diketahui bahwa CaCO3 dan Mg(OH)2 relatif tidak larut (insoluble) dan pemisahan kesadahan dilakukan dengan pembentukan senyawa tersebut. Secara alamiah, anion bikarbonat cukup banyak di dalam air. Penyebab kesadahan yang dominan ialah kalsium yang dapat dipisahkan dengan pembentukan senyawa CaCO3 dengan berat molekul 100 dan berat ekivalennya 50. Maka, kesadahan biasanya dinyatakan dalam mg/l CaCO3.
Proses Kapur-Soda
Konsep kapur soda didasarkan pada ide sederhana. Ion penyebab kesadahan dapat dihilangkan (dikurangi) kalau diendapkan. Caranya dengan menaikkan pH air lewat penambahan alkalinitas. Ini akan mengubah bikarbonat menjadi karbonat sehingga terjadi endapan CaCO3 dan Mg(OH)2. Slaked lime merupakan CaO yang dihidratasi (ditambah air) dan menjadi sumber alkalinitas. CaO ini juga dikenal dengan nama quicklime. Sodium hidroksida (NaOH, caustic soda) dapat juga dijadikan sumber alkalinitas.
Sebagai tambahan, di bawah ini dituliskan urutan reaksi proses kapur-soda.
Ca(OH)2 + CO2 à CaCO3(s) + H2O…………………………. 1
Ca(HCO3)2 + Ca(OH)2 à 2CaCO3 (s) + 2H2O………………. 2
Mg(HCO3)2 + Ca(OH)2 à CaCO3 (s) + MgCO3 + 2H2O….. 3
MgCO3 + Ca(OH)2 à Mg(OH)2(s) + CaCO3 (s)………….….. 4
Kehadiran CO2 di dalam air ikut mengonsumsi kapur sesuai dengan reaksi di atas. Penambahan kapur menyebabkan peningkatan pH dan HCO3- diubah menjadi CO32- (reaksi 2 dan 3). Kalau penambahan kapur terus dilakukan maka jumlah ion OH- makin banyak lalu terjadilah reaksi 4 dan 6. Reaksi nomor 7 hanya akan terjadi apabila dibubuhkan soda abu karena ion kalsium dan magnesium berikatan dengan kesadahan non-karbonat. Memang, soda abu lebih mahal daripada harga kapur.
Terakhir, reaksi 3 dan 4 lalu dijumlahkan sehingga diperoleh kebutuhan kapur untuk kesadahan magnesium karbonat.
Mg(HCO3)2 + 2Ca(OH)2 à 2CaCO3 (s) + Mg(OH)2(s) + 2H2O ……. 5
MgX + Ca(OH)2 à Mg(OH)2(s) + CaX …………………………….. 6
CaX + Na2CO3 à CaCO3 (s) + Na2X ……………………………. 7
X adalah anion non-karbonat seperti SO42-, NO3- dan Cl-.
Alkalinitas karbon anorganik bereaksi pertama dengan ion kalsium. Bikarbonat berubah menjadi ion karbonat dengan penambahan alkalinitas lantas terbentuklah CaCO3 yang langsung mengendap. MgCO3 tidak mengendap pada kondisi normal ini tetapi setelah semua bikarbonat berubah menjadi karbonat. Penambahan ion OH- menyebabkan presipitasi Mg(OH)2. Jika diinginkan pemisahan magnesium maka sejumlah kapur harus dibubuhkan untuk mengubah alkalinitasnya menjadi karbonat dan kebutuhan kapur untuk pemisahan magnesium.
Batas terendah untuk pemisahan magnesium ialah 10 mg/l CaCO3 atau 0,2 mek/l (milliekivalen per liter). Perlu penambahan kapur berlebih sekitar 35 mg/l CaCO3 di atas persyaratan stoikiometrik untuk meningkatkan pH sampai 10,5 agar terjadi presipitasi Mg(OH)2. CO2 dapat digunakan untuk menurunkan kelebihan kapur dan menurunkan pH air sampai taraf yang diinginkan seperti reaksi di bawah ini.
2OH- + CO2 à CO32- + H2O ……………………….. 8
CO32- + H2O + CO2 à 2HCO3-………………………. 9
Alternatif lain untuk memisahkan kelebihan ion Ca2+ dari pembubuhan kapur berlebih ini ialah dengan penambahan Na2CO3. Penambahan soda abu ini dilaksanakan bersamaan dengan kapur sebelum masuk ke unit pengendap tempat penampungan endapan CaCO3 dan Mg(OH)2. Kelebihan ion OH- di efluen bak sedimentasi dapat dinetralkan dengan asam klorida sampai nilai pH yang diinginkan, yaitu airnya stabil (stable water). Cara ini hanya memerlukan satu bak sedimentasi. Itu sebabnya, di dalam instalasi PDAM, unit softening di tempatkan sebelum sedimentasi atau sebelum unit koagulasi-flokulasi agar presipitat yang terbentuk dapat diendapkan bersama dengan kimflok (flok kimia) di unit sedimentasi.
Tinggal sekarang, sudahkan instalasi PDAM dilengkapi sarana “perang” melawan “kekerasan” akibat ion-ion kalsium dan magnesium ini?*
ReadMore »

6 Februari 2008

Enviro Qur’an

Dimuat di Tabloid Alhikmah, edisi Januari 08.

Desember 2007 lalu, dari tanggal 3 s.d 14, di Bali digelar Konferensi Perubahan Iklim. Bicara iklim berarti bicara tentang tiga komponen utama Bumi, yaitu tanah, air dan udara. Ketiganya tak dapat dipisahkan dari hidup manusia, apalagi bagi muslim. Tiga hal yang disinyalir Allah dalam Qur’an itu bisa kita sebut dengan Enviro Qur’an, yaitu kepedulian Qur’an atas lingkungan (environment) dan relasi timbal baliknya dengan manusia.
Air misalnya, biasa digunakan untuk wudhu dan tak kurang dari 2 liter yang kita minum. Tubuh kita pun 65 – 75% terdiri atas air. Ditegaskan dalam Surat al-Anbiyya: 30, “Dan dari airlah Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” Minimal 63 kali Allah menyebut kata air atau yang berkaitan dengan air seperti hujan di dalam Qur’an. Tidak seperti planet lainnya, dua per tiga muka Bumi ini ditutupi air (danau, waduk, sungai, laut). Ada yang digunakan untuk pembangkit listrik, transportasi, rekreasi, olah raga, perikanan, dan sumber air baku untuk air minum.
Tanah (debu) pun penting bagi muslim untuk tayyamum ketika tidak ada air atau saat sakit. Diketahui bersama, dalam ritual wudhu dan tayyamum besarlah peran air dan tanah (debu) sehingga tercelalah apabila manusia mencemari airnya dan menggurunkan tanahnya dengan cara membabat hutan. Oleh sebab itu, perusak lingkungan bisa disebut teroris karena meneror kenyamanan hidup manusia, hewan dan tumbuhan dan tidak punya sense of enviro. Para pembalak liar (illegal logging), sebagai misal, harus dihukum berat agar memberikan efek jera bagi pelaku lainnya.
Dampak teroris lingkungan disebut Allah dalam ar-Rum: 41. Ayat ini mengulas kerusakan lingkungan akibat ulah manusia, secara perorangan maupun kelompok, dalam lingkup kecil maupun komunal. Akibatnya, Bumi disesaki sampah, limbah cair, dan polutan udara. Semua polusi itu terjadi di kota-kota besar, termasuk di Kota Bandung. Apalagi kalau PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) jadi dibuat, kian masiflah polusi udara di lembah Bandung Raya. Oksigen menjadi mahal karena tercampur dengan pencemar udara. Migrasi ke planet lain? Nonsense!
Manusia sulit dipisahkan dari planet Bumi dan tak mungkin bisa hidup di planet lain tanpa alat bantu oksigen. Jangankan di planet lain yang berada di lain tatasurya dan lain galaksi, di planet Mars saja belum ada manusia yang mampu hidup dengan alat-alat bantu sekalipun. Artinya, manusia memang dijadikan khalifah di Bumi dan dari planet ini pulalah manusia harus mengabdi kepada Allah agar ketika kiamat tiba mereka dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di Bumi.
Qur’an pun menyitir bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Sumber makanan kita, hewan dan tumbuhan, pun tak lepas dari tanah. Bahkan Bumi dideklarasikan sebagai masjid. Begitu bernilainya Bumi sehingga tak kurang dari 461 kali Allah menyebutnya di dalam Qur’an. Uniknya lagi, Bumi ini kaya tanaman. Hamparan hutan dan kebun berbunga aneka warna diibaratkan dengan pakaian indah dan harum bagi Bumi (ar-Rahman: 11-12). Qur’an pun menjelaskan fungsi estetika dan dekoratif tanaman bagi manusia. Keindahannya tak hanya secara visual tetapi lebih dari itu, mekanisme reproduksinya berpasangan secara seksologi (ar-Ra’du: 3), ada jantan, ada betina.
Satu lagi Envi-Qur’an ialah keragaman (biodiversitas) binatang atau ternak (berkaki dua: unggas; berkaki empat: sapi, kuda, kerbau, unta, domba) yang menjadi ornamen Bumi. Ada yang digunakan untuk kendaraan, penggembala, dimakan atau dinikmati keindahannya. Binatang yang ‘menjijikkan’ seperti ular dan cacing yang berjalan dengan perutnya pun diciptakan Allah (an-Nuur: 45). Variasi cara berbiaknya (reproduksi) pun mencirikan keagungan Penciptanya. Allahu ‘alam. *
ReadMore »