Trilogi Pendidikan dan Pendidikan Lingkungan
ReadMore »
Oleh Gede H. Cahyana
Apabila diuraikan,
frase Trilogi Pendidikan berasal dari kata trilogi dan kata didik yang diberi
imbuhan pe-an. Kalau dianalisis, dapat diartikan sebagai tiga pilar penyangga
yang dimaknai sebagai pilar yang menyangga pendidikan. Dalam wujud visualnya, Trilogi
Pendidikan dapat digambarkan dengan segitiga sama sisi yang titik sudutnya
merupakan representasi pilar sains, teknologi, dan lingkungan. Sains dan teknologi
menduduki sudut alas dan lingkungan sebagai puncaknya. Sains diindonesiakan
dari kata bahasa Inggris Science yang
artinya, meskipun kurang tepat, ilmu; teknologi (technology) yang berkaitan dengan engineering dan disetarakan dengan rekayasa. Adapun lingkungan
mengacu pada semua zat yang ada di sekitar manusia, baik berupa tanah
(litosfer), air (hidrosfer), dan udara (atmosfer), serta komponen biotiknya.
Pendidikan dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu pendidikan informal (keluarga), pendidikan
nonformal (masyarakat) dan formal (sekolah). Ketiga jenis pendidikan di atas
bertujuan menanamkan nilai-nilai, etika, moral dan kesadaran terhadap
lingkungan yang semuanya saling dukung dalam pelestarian fungsi lingkungan.
Pendidikan lingkungan tidak akan berhasil kalau hanya diberikan di sekolah saja
sehingga murid dan mahasiswa hanya memperoleh ilmu tanpa diterapkan di rumah
dan sekitarnya. Misalnya, di sekolah dan perguruan tinggi diajari membuang
(menaruh, meletakkan) sampah di bak sampah tetapi di rumah atau tempat kos murid
dan mahasiswa tidak tersedia bak sampah atau lingkungan sekitarnya tidak peduli
pada penyediaan bak sampah kolektif. Selain murid dan mahasiswa, pejabat pusat
dan daerah, seperti anggota MPR, DPR/DPRD dan lembaga tinggi lainnya, gubernur,
bupati, walikota dan keluarganya, polisi, tentara, PNS, pengusaha, guru, dosen,
dan semua profesi yang ada hendaklah peduli pada pendidikan lingkungan.
Tiga pilar tersebut
saling mempengaruhi, ada umpannya (feed)
dan ada pula umpan baliknya (feedback).
Sains mendasari pengembangan teknologi kemudian teknologi menjadi perangkat
yang dapat mendukung percobaan sains. Perkembangan sains dan teknologi lantas
berdampak pada lingkungan, baik langsung maupun tak langsung. Trilogi
pendidikan menyelaraskan antara sains (ilmu) dan teknologi dengan lingkungan.
Ini tinjauan das sein. Tetapi das sollen-nya belum tentu sesuai antara
idealisme dan realisme lantaran sudah dipengaruhi oleh olah pikir dan kesukaan
(preferensi) manusia. Ini pun berhulu pada pelibatan nafsu, baik dalam arti
positif maupun negatif.
Begitu pula dengan
implementasi teknologi, pelibatan sains yang berwawasan lingkungan perlu
diutamakan agar tidak tersesat sebab sesal kemudian tak berguna. Memandang
sebuah teknologi haruslah diarifi dengan cara melihatnya sebagai bagian dari
lingkungan. Dengan kata lain, lingkungan menjadi titik tolak dalam memilah dan
memilih teknologi. Artinya pula, teknologi di suatu daerah belum tentu cocok
dengan kondisi daerah lain karena lingkungannya memang berbeda. Sederhana saja
analoginya. Baju di daerah kutub tidak selalu tepat dikenakan di daerah tropis.
Sebaliknya juga, baju tipis di tropis takkan cocok dikenakan di kutub. Keduanya
akan menimbulkan masalah bagi manusia. Minimal orang bisa sakit atau malah
meninggal. Pakaian adalah produk budaya, sama persis dengan teknologi. Bedanya,
teknologi memiliki latar riset dan trial-error
berkali-kali dan bahkan ratusan tahun dan dapat dicoba oleh orang lain karena
berlaku universal.
Sains atau Ilmu
Mengapa digunakan
kata sains, bukannya ilmu untuk salah satu pilar Trilogi Pendidikan? Di dalam
artikelnya pada Pandangan Keilmuan UIN, Wahyu Memandu Ilmu (UIN, 2008), Ahmad
Tafsir menulis bahwa orang yang belajar bahasa Arab agak bingung ketika
menghadapi kata ilmu. Dalam bahasa Arab, kata al-‘ilm berarti pengetahuan (knowledge)
sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata ilmu merupakan terjemahan dari kata science. Ilmu dalam arti kata science hanya sebagian dari al-‘ilm dalam bahasa Arab. Di buku yang
sama, Wardi Bachtiar menulis bahwa ilmu secara bahasa berarti kejelasan,
sehingga ilmu diartikan sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Untuk
selanjutnya buku ini menggunakan kata sains dalam makna pengetahuan sainstifik
(scientific knowledge).
Ilmu (sains)
menyebabkan manusia unggul dibandingkan dengan makhluk lainnya dan mampu
mengembangkan ilmu sampai seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Orang yang
berilmu kedudukannya tinggi di sisi Allah. Bahkan ayat pertama surat al ‘Alaq
berkaitan dengan ilmu lewat iqra,
bacalah! Agar lebih jelas memosisikan sains dalam khasanah ilmu secara
universal, di bawah ini dikutipkan sebagian tulisan Nanat Fatah Natsir di dalam
Wahyu Memandu Ilmu (UIN, 2008) tentang metafora roda dalam upaya integrasi
antara ilmu agama dan ilmu umum di UIN Sunan Gunung Djati.
Sains dapat
dianalogikan dengan akar pohon. Sudah disepakati bahwa sains dan teknologi
dikembangkan untuk memudahkan kehidupan manusia dan bermanfaat juga bagi
kelestarian fungsi lingkungan. Oleh sebab itu, sains harus dikembangkan. Sains
berisi teori dan teori adalah pendapat yang beralasan (Ahmad Tafsir, 2008),
logis dan dinyatakan secara sistematis (Cik Hasan Bisri, 2008). Karena isi ilmu
adalah teori maka mengembangkan ilmu (sains) adalah mengembangkan teorinya.
Menurut Ahmad Tafsir (UIN, 2008), ada empat kemungkinan dalam pengembangan
teori. Kesatu, menyusun teori baru.
Selama ini belum ada teorinya, tetapi seseorang berhasil menemukan teori baru. Kedua, menemukan teori baru untuk
mengganti teori lama. Teorinya sudah ada tetapi tidak mampu lagi menyelesaikan
masalah sehingga diganti dengan teori baru. Ketiga,
merevisi teori lama. Peneliti tidak membatalkan atau mengganti teori lama
dengan teori baru, tetapi hanya merevisi atau menyempurnakannya. Keempat, membatalkan teori lama tetapi
tidak memberikan atau memunculkan teori baru. Seseorang yang masuk ke dalam
kelompok keempat ini, yakni orang yang menolak teori yang ada tanpa mengajukan
teorinya, dapatkah disebut pengembang ilmu (sains)?
Lantas bagaimana
caranya sains menyelesaikan masalah? Menurut Ahmad Tafsir (2008), masalah yang
muncul dapat diselesaikan dengan menggunakan ilmu (teori ilmu). Pada zaman dulu
atau zaman sekarang di daerah perdesaan, apalagi di pelosok, orang mengambil
air di kaki bukit, yaitu mata air. Cara ini tentu menyulitkan dan memakan
banyak waktu. Manusia lantas membuat sumur dan airnya diambil dengan cara
ditimba. Karena masih capek juga, manusia lantas berpikir dan akhirnya memasang
pompa tangan. Tetapi memompa dengan tangan juga menguras tenaga dan waktu
sehingga akhirnya ditemukan pompa listrik. Air pun dengan mudah diperoleh.
Kemudahan ini, pada satu sisi bermanfaat tetapi di lain sisi, seperti dibahas
di bagian selanjutnya pada bab ini, dapat memunculkan dampak negatif. Dampak
negatif sebuah teknologi.
Tampaklah betapa
ilmu (sains) dapat memudahkan kehidupan manusia. Alinea di atas menyatakan
bahwa sains berperan dalam memudahkan kehidupan karena dapat menghasilkan
alat-alat yang disebut teknologi. Ilmuwan, yakni orang yang mendalami ilmu
(sains) berperan besar dalam mewujudkan teknologi.
Teknologi
Konsep Trilogi
Pendidikan ini dapat dianalogikan dengan pohon dan komponennya. Sains adalah
pilar dasar dalam pendidikan. Dalam analogi yang merujuk pada Surat al Fath
ayat 29, sains adalah akar pohon. Pohon adalah teknologi. Makin dalam akarnya,
yakni berupa akar tunggang dalam tumbuhan dikotil, makin kuat juga landasan
ilmu yang dimilikinya. Artinya, teknologi dikembangkan atas dasar perkembangan
sains. Teknologi pengolahan air minum, air limbah, kepul gas cerobong asap pabrik,
semuanya berasal dari sains atau ilmu mekanika fluida. Berbagai rumus dan
formulasi dalam hidrolika atau mekanika fluida mendasari sejumlah pengolahan
air minum dan air limbah dan pengolahan gas buang dari pabrik.
Ciptaan atau makhluk
Allah yang tinggi derajatnya adalah manusia. Allah melengkapi manusia dengan
akal sehingga dapat menghasilkan teknologi. Teknologi menjadi bagian yang melekat
(inheren) di dalam perkembangan manusia dan peradabannya. Bahkan “manusia”
purba (ditulis di dalam tanpa kutip, kalau betul makhluk ini dapat dikatakan
sebagai manusia) sudah berteknologi dengan batu yang dijadikan alat berburu,
memotong, dan berperang. Pada tingkat yang lebih tinggi, manusia sudah mampu
mengolah logam menjadi produk yang makin memudahkan mereka bekerja dan
mempertahankan diri dari serangan binatang buas dan dari serbuan musuhnya. Teknologi
yang melekat dalam akal dan olah budi manusia akhirnya tak dapat dipisahkan
dari hidupnya, tak bisa dihindari. Bahkan teknologi yang merupakan kemampuan
terbesar manusia terus berkembang sampai ke dalam ukuran nanoteknologi,
misalnya bioteknologi yang memanipulasi enzim (protein) di dalam bakteri untuk
mengolah air limbah dan air minum.
Teknologi juga
dipahami sebagai pisau bermata dua. Teknologi dapat menghasilkan produk yang
dianalogikan dengan buah dalam sebuah pohon. Produk ini melibatkan industri
(pabrik) yang juga memiliki dampak positif dan negatif. Seperti halnya buah,
ada yang manis dan ada juga yang pahit, bahkan beracun. Artinya, yang satu
bernilai positif, satu matanya lagi berdampak negatif. Yang positif sudah jelas
dan manusia memperoleh kemudahan dalam kehidupannya. Misalnya, teknologi
komputer, telefon seluler, satelit, pengolahan air, insinerator sampah
(termasuk Pembangkit Listrik Tanaga Sampah, PLTSa). Namun di balik nilai
positif yang dihasilkannya itu, muncul juga dampak buruk terhadap manusia,
hewan dan tumbuhan, juga lingkungan abiotik (benda-benda). Jadi masalahnya,
bagaimana caranya agar produk atau buah teknologi terus mendukung hidup dan
kelangsungan hidup manusia dengan memaksimalkan dampak positifnya dan
menghilangkan (kalau bisa) atau meminimalkan dampak negatifnya.
Roseto, Dampak Negatif Teknologi
Teknologi semacam
nyawa kedua bagi manusia modern, manusia yang sudah banyak bersentuhan dengan
produk teknologi seperti radio, televisi, telefon seluler, komputer, internet,
dll. Berikut ini diberikan sebuah fakta yang merupakan dampak buruk dari
perkembangan teknologi. Contoh ini diambil dari luar negeri, tidak di
Indonesia, karena penelitian ini merupakan salah satu riset yang klasik di
bidang psikoteknologi. Riset dilaksanakan oleh
Stewart Wolf dan John G. Bruhn di kota Roseto, Amerika Serikat.
Bruhn menyatakan
dalam laporannya pada 1971: “… family and
community support is disappearing. Most of the men who have hearth attacks here
were living under stress and really had nowhere to relieve that prsseure ….
These people have given up something and it’s killing them.” Sebelum itu, yaitu tahun 1961, Bruhn justru
memperoleh hasil yang luar biasa dan menyatakan bahwa masyarakat Roseto terbaik
kehidupan sosialnya sehingga disebut sebagai kota ajaib (miracle city).
Mari analisis rumah
kita atau rumah teman, tetangga kita. Semua yang disebut berikut ini adalah buah
dari perkembangan teknologi. Buah yang berasa manis itu akhirnya dipungkasi
oleh dampak buruk. Siapa yang tak tahu televisi? Pada abad ke-21 ini, nyaris
tak seorang pun yang tidak tahu kotak “ajaib” ini. Memang kalau dicari-cari ada
juga suku seperti disebut di bagian awal buku ini, yakni Suku Badui Dalam di
Lebak, Jawa Barat yang masih menolak kehadiran televisi dan produk teknologi
yang sejenis. Namun mayoritas manusia di Bumi sudah mengenal televisi, minimal
pernah melihatnya kalau tidak memilikinya. Akibat siaran televisi yang
berlangsung 24 jam sehari itu, semua orang sekan-akan tersihir dan tidak bisa
lepas dari kursinya. Semuanya duduk dan diam di depan acara-acara yang
meninabobokan. Begitu juga air ledeng (PDAM) di rumah kita. Hanya dengan membuka
kran saja, air minum mengalir. Malah di beberapa kota, PDAM sudah menyediakan
air langsung diminum tanpa dididihkan dulu, yakni di Zone Air Minum Prima
(ZAMP). Akibat kehadiran teknologi pengolahan air komunal ini maka masyarakat
sudah jarang bertemu dengan tetangganya di pancuran atau tempat mandi umum.
Semua itu terjadi karena buah teknologi seperti listrik, televisi, kran,
instalasi pengolahan air minum, dan lain-lain.
Dampak yang lainnya
adalah teknologi transportasi. Sekarang orang makin mudah bepergian ke mana
saja. Jarak yang jauhnya ribuan kilometer dapat ditempuh beberapa jam saja.
Orang makin senang pergi jauh, baik untuk urusan bisnis, sekolah, kuliah,
maupun urusan keluarga. Suami dan istri, juga dengan anak-anaknya dapat
berpisah ribuan kilometer sehingga jarang bertemu, bersenda gurau atau
melaksanakan kegiatan sosial keagamaan bersama-sama. Ketika ada anggota keluarganya
yang meninggal, sering anggota keluarga lainnya tidak dapat pulang dan hanya
mampu mengucapkan ikut berduka cita lewat telefon, surat atau sutel (surat
elektronik, e-mail).
Mobil dan motor yang
makin banyak karena murah harganya dan dapat dibeli dengan dicicil tanpa uang
muka, ini terjadi sejak tahun 2005, makin meruwetkan suasana jalan di kota dan
desa dan suasana hiruk-pikuk pun terus meningkat. Lontaran kata-kata marah
antarsupir sering terdengar hanya karena kendaraannya agak lambat, baik karena
di depannya ada mobil yang mogok, orang yang menyeberang atau karena macet.
Orang dengan mudah menekan klakson sambil menyumpahserapahi sesama pengendara.
Kadang-kadang ada kasus lucu karena yang disumpah-sumpahi ternyata saudaranya,
adik-kakaknya, bahkan orang tua, gurunya, dosennya atau orang yang dikenalnya.
Itulah sekelumit
dampak buruk teknologi, dari sudut pandang manusia. Dampak buruk teknologi
terhadap lingkungan juga tak kalah besar. Sebagai contoh, perkembangan
teknologi pengolahan kayu akhirnya menghabiskan jutaan hektar hutan per tahun.
Teknologi pengolahan pulp dan kertas
berujung pada pencemaran sungai, danau dan laut. Peningkatan taraf hidup yang
dinyatakan dalam peningkatan penghasilan (gaji) akhirnya memperbanyak sampah
yang ditimbulkan setiap orang dan banyak yang sulit dibusukkan seperti plastik,
kain, logam, dan sejenisnya.
Banyak sekali dampak
buruk dari teknologi. Semuanya berujung pada degradasi kualitas hidup manusia,
hewan dan tumbuhan. Satu jenis degradasi pada manusia ialah munculnya stres
yang dapat berujung pada kelainan jiwa (psikologis), bahkan sakit jiwa atau
gila. Penyebab stres ini dapat terjadi lantaran hubungan kekeluargaan yang
merenggang karena berjauhan atau dekat tetapi tidak saling bertegur sapa.
Pencemaran air, tanah, udara sehingga ruang hidup sehat menyempit dan merusak
kelestarian fungsi lingkungan. Sikap individualis yang bertambah pada setiap
manusia mengakibatkan orang merasa hidup sendirian sehingga ia hakikatnya
sakit. Menurut organisasi kesehatan dunia, WHO (World Health Organization), sehat adalah state of complete physical,
mental, and social well-being, not merely the absence of disease or infirmity.
Jadi, sehat adalah keadaan sejahtera sempurna jasmani, rohani, dan sosial, tak
hanya tanpa adanya penyakit atau kelemahan saja.
Lingkungan
Tak dapat dibantah,
abad ke-21 ini adalah abad yang genting bagi Bumi sebagai tempat hidup manusia.
Pencemaran di muka Bumi, di darat dan di air (sungai, waduk, danau, laut) terus
meluas secara kuantitas dan kualitas, di desa dan di kota. Citra
satelit menggambarkan dengan jelas wajah bopeng Bumi. Jutaan hektar hutan telah
musnah. Akibatnya kematian massal mengintai karena terjadi krisis pangan atau
lebih tepatnya malnutrisi, terutama kalangan yang lemah ekonominya.
Di bawah ini
dituliskan beberapa isu masalah lingkungan. Inventarisasi sebagian isu
lingkungan kontemporer ini terjadi dalam skala lokal, regional, nasional, dan
global.
a. Mutasi genetis, disebabkan oleh
pemanfaatan energi nuklir dan industri kimia (pestisida, insektisida,
herbisida) yang menyebabkan perubahan pada gen makhluk hidup.
b. Pemanasan
global oleh gas-gas CO2 dan CH4. Pada paruh abad
ke-21 nanti temperatur Bumi meningkat rata-rata
3oC atau 1oC di katulistiwa dan 7oC di
kutub. Pencairan lapisan es tak terelakkan lagi sehingga banyak pulau kecil
lenyap dan kota-kota pantai, water front
city ikut tenggelam.
c. Hujan
asam akibat emisi SOx, NOx dan CO2 yang membentuk asam sulfat (H2SO4),
asam nitrat (HNO3) dan asam
karbonat (H2CO3). Asam-asam tersebut dapat merusak
vegetasi, hutan dan logam (konstruksi gedung, jembatan, rel kereta api).
d. Lubang ozon, menyebabkan sinar ultraviolet
dapat masuk ke Bumi dan dikhawatirkan
meningkatkan insidensi kanker kulit, khususnya pada orang yang senang mandi
sinar matahari (sunbathing).
e. Penurunan kualitas dan kuantitas air menjadi
penyebab epidemi diare, disentri, tifus, kolera pada beberapa kota dan daerah
kumuh. WHO menyatakan bahwa sekitar 200 juta orang tidak memiliki sumber air
bersih layak minum, 350 juta jiwa tidak mempunyai fasilitas sanitasi dasar yang
sangat dibutuhkan dan 1 milyar orang tidak mempunyai sistem pengelolaan sampah.
Buruknya sanitasi dan penyediaan air minum meningkatkan kematian bayi dan umur
harapan hidup menjadi rendah. Sedangkan dalam skala global, pada saat ini 1,3
milyar orang hidup tanpa air bersih, 2 milyar tanpa sanitasi dasar.
f. Desertifikasi adalah proses penggurunan
akibat kekurangan air sehingga sangat sedikit yang dapat dimanfaatkan oleh
tanaman. Tanah tandus didominasi oleh zat inorganik, berbutir kasar dan
berpasir sehingga mudah tererosi jika ada hujan. WHO menyatakan, sekitar 900
juta orang di 100 negara menghadapi masalah ini dengan kerugian sekitar US $42,3 miliar
per tahun. Pada tahun 2025 nanti, diperkirakan jumlah orang yang mengalami
masalah ini mencapai 1,8 milyar jiwa. Sejak tahun 1960 lebih dari 1/5 hutan
tropis hilang dan nilai laju kehancuran hutan tropis pada dekade 1970 adalah
11,3 juta ha/tahun yang meningkat menjadi 15,4 juta ha/tahun pada dekade
1980-an dan 17 juta ha/tahun pada dasawarsa 1990-an.
Agar bencana di atas
dapat dicegah atau minimal dikurangai, maka perlu diubah cara pandang dan
perilaku manusia terhadap lingkungan. Ada beberapa perilaku dan cara pandang yang
harus diperbaiki untuk menangani krisis lingkungan dunia modern ini:
a. Bahwa alam
adalah semata-mata diciptakan untuk manusia sehingga boleh sewenang-wenang dalam
memanfaatkannya.
b. Bahwa
manusia adalah sumber semua tata nilai yang ada (antroposentris).
c. Bahwa
kesuksesan hanya diukur dari materi.
d. Bahwa sumber
daya materi dan energi tidak terbatas.
e. Bahwa
produksi dan konsumsi barang dapat meningkat terus tanpa batas.
f. Bahwa tidak
perlu beradaptasi dengan lingkungan karena ada sain dan teknologi.
g. Bahwa fungsi
negara adalah membantu (segelintir) manusia dalam mengeksploitasi alam untuk
meningkatkan kesejahteraan (sekelompok) rakyat.
Pengisapan sumber
daya alam saat ini tanpa menghiraukan fungsi lingkungan yang harus dilestarikan
adalah causa prima kemandegan dan
kejumudan berpikir untuk dan atas nama kelompok dan golongan. Hubungan manusia
dengan alam adalah reversible, saling
mempengaruhi yang dapat bernilai positif maupun negatif. Sikap arif dan bersahabat dengannya dapat
mengurangi bencana yang mungkin muncul karena krisis lingkungan adalah
manifestasi dari krisis akal dan jiwa. Agar bencana tidak meluas, maka
diperlukan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber pemicu
dan pemacu reformasi perilaku yaitu religiositas.
Konsepsi pembangunan
adalah ibadah dalam dimensi perilaku. Dimensi inilah yang patut dikembangkan
karena manusia memikul tanggung jawab spiritual dan material (lingkungan).
Hanya manusia (bukan flora dan fauna) yang mendapat amanat dan mampu membina
dunia dan isinya walaupun dia dapat menjadi lebih buas dari binatang terbuas,
dari the best menjadi the beast. *
Artikel yang berkaitan, bisa download
Signifikansi Pendidikan Lingkungan di Perguruan Tinggi
Reposisi Pengetahuan ke Pendidikan Lingkungan
Education for Sustainable Development
Pendidikan Lingkungan di Indonesia
Artikel yang berkaitan, bisa download
Signifikansi Pendidikan Lingkungan di Perguruan Tinggi
Reposisi Pengetahuan ke Pendidikan Lingkungan
Education for Sustainable Development
Pendidikan Lingkungan di Indonesia