Oleh Gede H. Cahyana
Hari Bumi 22 April 2013 meninggalkan
catatan yang berkaitan dengan perubahan iklim, penghangatan (warming) atau pemanasan Bumi. Bersamaan dengan itu, masalah lain terus
menguntit seperti lubang ozon dan pencairan es di kutub. Yang tak kalah penting
ialah ledakan populasi yang berpola geometric growth dan ketimpangan sebaran penduduk, hanya
berkumpul di pulau-pulau besar yang ekonominya sudah berkembang pesat.
Dunia Paradoks
Pesat sekali pertumbuhan
penduduk Bumi. Tahun 1950-an hanya 2,5 miliar orang. Dalam tempo 55 tahun menjadi
6,2 miliar orang. Pada akhir 2007 lalu 6,5 miliar orang dan 1,5 miliar berada di
bawah garis kemiskinan. Satu miliar di antaranya hidup di negara berkembang.
Dekade lalu, dengan populasi hanya 20% dari populasi total, negara maju
mengonsumsi 80% kayu hutan. Konsumsi satu bayinya setara dengan 15 bayi di negara
miskin. Negara kaya pun membuang limbah terbanyak, mencapai 90%, termasuk
limbah B3 dan melepas 90% CFC (chlorofluorocarbon),
senyawa pelubang lapisan ozon.
Parahnya lagi, karbondioksida
(CO2) terus bertambah akibat penggunaan BBM, zat kimia dan penebangan hutan. Pertahun saja, 1% hutan tropis di Bumi ini lenyap sehingga mereduksi fotosintesis
yang berdampak pada kenaikan temperatur Bumi. Tibet yang biasanya dingin
misalnya, temperatur udaranya pernah mencapai 25 derajat Celcius selama 23
hari. Permukaan air laut pun naik di Kep. Bermuda, Hawaii, Fiji dan pencairan
gunung es Gangotri, India dan es di Peg. Andes di Peru. Bukti lainnya, dekade
terpanas terjadi pada akhir abad ke-20, yaitu tahun 1990-an dan tahun
terpanasnya ialah tahun 1998, 2001, dan 2005.
Kalau pemanasan itu terus
berlanjut, pada tahun 2100 diduga muka air laut naik antara 15 – 95 cm sehingga
pulau-pulau kecil tenggelam, pantai menyempit, intrusi makin jauh ke darat. Terjadi
reduksi luas pulau sehingga timbul masalah demografi dan gangguan kesehatan seperti
malaria, demam berdarah, filariasis, flu burung, SARS (pernapasan akut). Juga memicu
gelombang panas yang jauh lebih ganas dan makin luas paparannya, seperti kejadian
di kawasan Amerika- Eropa. Badai Noel, topan Katrina, puting beliung terjadi di
mana-mana, terakhir di Bangladesh yang diporak-porandai oleh badai Sidr yang
menewaskan 2.400-an orang.
Pola hujan dan salju
pun berubah, mengubah pola siklus hidrologi, mengganggu suplai air bersih. Intrusi
mengasinkan sumur, memperluas krisis air. Karena terjadi ledakan jumlah
penduduk, muncullah ancaman kekurangan pangan sehingga makin luaslah eksploitasi
lahan baru di gunung, bukit, hutan, dan dataran banjir. Semuanya terpaksa
dieksploitasi demi penyediaan kebutuhan pangan. Di satu daerah terjadi banjir
pantai, di daerah lain justru kekeringan. Hadirlah paradoks iklim dan cuaca di
seluruh dunia. Keragaman hayati berkurang, spesiesnya punah, gagal panen dan kelaparan
meluas. Yang paling menderita tentu saja masyarakat miskin.
Semua fenomena di
atas berkaitan dengan efek rumah kaca (greenhouse
effect). Ilustrasinya begini. Andaikan kita berada di dalam mobil, di bawah
panas matahari. Akan terasa ada peningkatan panas apalagi ditambah dengan CO2
hasil pernapasan kita. Makin banyak orang di dalam mobil, makin cepatlah terasa
panas. Atmosfer Bumi pun dapat diserupakan dengan atap kaca yang tembus cahaya
sehingga sinar matahari dapat masuk dan sampai ke permukaan Bumi lalu dipantulkan
kembali ke atmosfer. Hanya saja, pantulan sinar inframerah (gelombang panjang) dihalangi
gas rumah kaca sehingga berbalik memantul ke Bumi. Inilah yang meningkatkan
panas muka Bumi. Contoh yang jelas ialah sesaat sebelum hujan ketika ada banyak
awan (uap air) sehingga temperatur terasa lebih panas dan berakhir setelah
hujan turun.
Jika demikian, jahatkah
efek rumah kaca? Tidak! Sebab, secara alamiah efek ini menguntungkan karena
temperatur Bumi menjadi hangat. Efek yang dikendalikan oleh gas beratom dua
atau lebih ini menyerap inframerah di Troposfer. Masalahnya, konsentrasi CO2
dan gas lainnya terus meningkat sehingga pemanasan Bumi menjadi tak terkendali,
temperaturnya terus naik dan diistilahkan dengan Global Warming (GW). Pada kasus ini kondisi Bumi sudah lampu kuning
dan tanda peringatan waspada (warning)
telah menyala.
Tanggung Jawab?
Siapa yang
bertanggung jawab atas GW? Tentu saja semua negara! Namun, jika dikaitkan
dengan CO2, maka yang paling bertanggung jawab ialah negara industri karena
merekalah yang terbanyak mengemisi CO2. Sekadar contoh, emisi orang Amerika
Serikat (AS) lima kali lebih besar daripada orang Meksiko, bahkan 19 kali lebih
besar daripada orang India. Walaupun hanya 20% orang tinggal di negara maju tetapi
kontribusinya 63% dari total emisi. Memang betul, kalau dihitung berdasarkan
negaranya, maka Cinalah pengemisi terbesar lantaran jumlah penduduknya memang terbanyak.
Namun secara individu emisi tujuh orang Cina setara dengan satu orang AS. Tujuh
orang setara dengan satu orang!
Terkait dengan CO2
tersebut, tanggung jawab terbesar haruslah dipikul oleh negara maju seperti AS.
Sama sekali keliru membandingkannya dengan Cina dan India meskipun banyak penduduknya.
Sebab, emisi gas rumah kaca khususnya CO2, tidak berkorelasi linier dengan
jumlah populasi secara langsung. Bisa saja penduduk suatu negara sangat banyak tetapi
sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Meskipun, memang, pertanian juga
menjadi kontributor gas rumah kaca, khususnya setelah panen padi tapi tidak
sebanyak yang diemisikan oleh industri dan transportasi.
Di situlah letak
kekeliruan AS dalam menanggapi kesepakatan reduksi aktivitas ekonomi (industri
dan transportasi). Padahal yang dideritanya juga dialami negara-negara maju
lainnya, kelompok G7 (Kelompok Utara). AS merasa Protokol Kyoto adalah
“penggusuran” terhadap aktivitas ekonominya sekaligus menentang Deklarasi
Stockholm, sebuah komitmen bersama tentang pembangunan (industri) ramah
lingkungan yang terlanjutkan. Juga melawan kesepakatan perlindungan lapisan
ozon yang diputuskan pada Konvensi Wina tahun 1985, sebagai “landmark” aksi
lingkungan dan Protokol Montreal tahun 1987 dengan serial amandemennya tahun
1990 di London, 1992 di Kopenhagen dan di Wina lagi pada 1996.
Lebih jauh lagi, AS
pun mengingkari KTT Bumi di Rio de Janeiro pada Juni 1992 dengan Agenda 21
Globalnya yang merupakan cetak-biru sustainable
development abad ke-21. Ketika itu, di bawah Konvensi Perubahan Iklim,
negara-negara maju setuju mereduksi emisi gas rumah kaca. KTT Bumi plus 5 pun
telah dilaksanakan di kota yang sama pada Juni 1997 dengan spirit serupa.
Kemudian, Protokol Kyoto 1997 yang dimasalahkan oleh Presiden George W. Bush
adalah lanjutan dari Protokol Montreal 1987. Isinya masih berorientasi pada reduksi
emisi gas rumah kaca dan perusak ozon Stratosfer seperti metana,
karbondioksida, kloroflorokarbon, halon, karbon tetraklorida dan metil
kloroform.
Selain GW, efek yang
juga riskan ialah hujan asam (hujas) atau acid
rain, acid deposition. Menurut Gorham, dengan kadar 0,03% CO2 dari seluruh
gas atmosfer maka derajat keasaman air hujan sekitar 5,7. pH-nya turun karena
ada tambahan asam dari asam nitrat dan asam sulfat dengan sumber SO2 dan NOx. Pada
tahun 2007 ini, pH air hujan di Jakarta sudah 4 – 4,5. Di Denpasar pun, mulai
Ubung sampai Renon, sudah dipadati kendaraan, emitor CO2. Tapi untung Denpasar
dekat dengan Samudera Indonesia yang kuat hembusan anginnya sehingga mudah
terjadi dispersi polutan udara.
Sebetulnya, potensi
GW oleh CO2 tidaklah besar. Metana 21 kali lebih besar daripada CO2. CFC malah
7.300 kali lebih besar daripada CO2. Hanya saja, karena kadar CO2 sangat banyak
maka gas inilah yang paling besar kontribusinya pada GW, yaitu 50%. Sumber gas
rumah kaca itu ialah BBM (57%), CFC 17%, pertanian 14%, dan penebangan hutan
9%. Dulu, Protokol Montreal mewajibkan penghentian produksi CFC (chlorofluorocarbon) pada tahun 1996.
Tetapi faktanya, produk itu masih saja beredar. Untunglah pemerintah Indonesia
telah berkehendak melarang impor CFC, halon, dan metil bromida tahun depan.
Opsi Solusi
Ada sejumlah upaya
tindak yang dapat dilakukan. Yang pertama, mengurangi emisi CO2, mengurangi
penebangan hutan (legal & illegal). Menghentikan produksi CFC lalu
menggantinya dengan zat kimia ramah lingkungan. Mereduksi emisi metana dari sawah
dengan mengurangi rendaman jerami, kurangi pembakaran biomassa, hindari pembakaran
sampah (insinerasi, PLTSa: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), termasuk kurangi
pemakaian pupuk kaya nitrogen.
Sebaliknya, giatkan
proses fotosintesis, tarutama padi. Absorbsi CO2 oleh padi akan meningkatkan
produksi beras sekaligus mereduksi GW. Ada riset di Jepang yang menyatakan pemberian
CO2 sebanyak 700 ppmv (sekitar 200% kadar CO2 di udara) dapat menaikkan
produksi 20 – 30%. Ini dicoba oleh periset di Shizukuishi, Iwate Prefecture
Jepang dan dinamai The Rice Face. FACE
(Free-Air CO2 Enrichment) adalah
pembubuhan CO2 ke sawah tanpa mengubah ekosistemnya.
Yang dapat ditempuh
juga ialah perluasan penggunaan sumber energi angin (bayu, PLTB) seperti di
Nusa Penida, energi surya (PLTS), dan energi air (PLTA). Inilah potensi sumber
energi masa depan dengan memanfaatkan sains dan teknologi. Energi biomassa juga
boleh, asalkan jangan PLTSa (Sa: Sampah)!
Akhir kata, mari
hayati tulisan E. F. Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena
pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern.” *
Saya titip info ya..
BalasHapusMungkin berguna untuk pengunjung blog ini. Bagi pemilik usaha rumah makan ataupun siapa saja yang ingin memulai usaha makanan, maka dapat menggunakan Box Makanan dari saya yang sudah terbukti 100% Food grade serta aman dan ramah terhadap lingkungan.
Informasi lebih lanjut dapat lihat detailnya di sini.