• L3
  • Email :
  • Search :

25 April 2013

Hari Bumi 2013, Catatan Dunia Paradoks


Oleh Gede H. Cahyana

Hari Bumi 22 April 2013 meninggalkan catatan yang berkaitan dengan perubahan iklim, penghangatan (warming) atau pemanasan Bumi. Bersamaan dengan itu, masalah lain terus menguntit seperti lubang ozon dan pencairan es di kutub. Yang tak kalah penting ialah ledakan populasi yang berpola geometric growth dan ketimpangan sebaran penduduk, hanya berkumpul di pulau-pulau besar yang ekonominya sudah berkembang pesat.

Dunia Paradoks
Pesat sekali pertumbuhan penduduk Bumi. Tahun 1950-an hanya 2,5 miliar orang. Dalam tempo 55 tahun menjadi 6,2 miliar orang. Pada akhir 2007 lalu 6,5 miliar orang dan 1,5 miliar berada di bawah garis kemiskinan. Satu miliar di antaranya hidup di negara berkembang. Dekade lalu, dengan populasi hanya 20% dari populasi total, negara maju mengonsumsi 80% kayu hutan. Konsumsi satu bayinya setara dengan 15 bayi di negara miskin. Negara kaya pun membuang limbah terbanyak, mencapai 90%, termasuk limbah B3 dan melepas 90% CFC (chlorofluorocarbon), senyawa pelubang lapisan ozon.

Parahnya lagi, karbondioksida (CO2) terus bertambah akibat penggunaan BBM, zat kimia dan penebangan hutan. Pertahun saja, 1% hutan tropis di Bumi ini lenyap sehingga mereduksi fotosintesis yang berdampak pada kenaikan temperatur Bumi. Tibet yang biasanya dingin misalnya, temperatur udaranya pernah mencapai 25 derajat Celcius selama 23 hari. Permukaan air laut pun naik di Kep. Bermuda, Hawaii, Fiji dan pencairan gunung es Gangotri, India dan es di Peg. Andes di Peru. Bukti lainnya, dekade terpanas terjadi pada akhir abad ke-20, yaitu tahun 1990-an dan tahun terpanasnya ialah tahun 1998, 2001, dan 2005.

Kalau pemanasan itu terus berlanjut, pada tahun 2100 diduga muka air laut naik antara 15 – 95 cm sehingga pulau-pulau kecil tenggelam, pantai menyempit, intrusi makin jauh ke darat. Terjadi reduksi luas pulau sehingga timbul masalah demografi dan gangguan kesehatan seperti malaria, demam berdarah, filariasis, flu burung, SARS (pernapasan akut). Juga memicu gelombang panas yang jauh lebih ganas dan makin luas paparannya, seperti kejadian di kawasan Amerika- Eropa. Badai Noel, topan Katrina, puting beliung terjadi di mana-mana, terakhir di Bangladesh yang diporak-porandai oleh badai Sidr yang menewaskan 2.400-an orang.

Pola hujan dan salju pun berubah, mengubah pola siklus hidrologi, mengganggu suplai air bersih. Intrusi mengasinkan sumur, memperluas krisis air. Karena terjadi ledakan jumlah penduduk, muncullah ancaman kekurangan pangan sehingga makin luaslah eksploitasi lahan baru di gunung, bukit, hutan, dan dataran banjir. Semuanya terpaksa dieksploitasi demi penyediaan kebutuhan pangan. Di satu daerah terjadi banjir pantai, di daerah lain justru kekeringan. Hadirlah paradoks iklim dan cuaca di seluruh dunia. Keragaman hayati berkurang, spesiesnya punah, gagal panen dan kelaparan meluas. Yang paling menderita tentu saja masyarakat miskin.

Semua fenomena di atas berkaitan dengan efek rumah kaca (greenhouse effect). Ilustrasinya begini. Andaikan kita berada di dalam mobil, di bawah panas matahari. Akan terasa ada peningkatan panas apalagi ditambah dengan CO2 hasil pernapasan kita. Makin banyak orang di dalam mobil, makin cepatlah terasa panas. Atmosfer Bumi pun dapat diserupakan dengan atap kaca yang tembus cahaya sehingga sinar matahari dapat masuk dan sampai ke permukaan Bumi lalu dipantulkan kembali ke atmosfer. Hanya saja, pantulan sinar inframerah (gelombang panjang) dihalangi gas rumah kaca sehingga berbalik memantul ke Bumi. Inilah yang meningkatkan panas muka Bumi. Contoh yang jelas ialah sesaat sebelum hujan ketika ada banyak awan (uap air) sehingga temperatur terasa lebih panas dan berakhir setelah hujan turun.

Jika demikian, jahatkah efek rumah kaca? Tidak! Sebab, secara alamiah efek ini menguntungkan karena temperatur Bumi menjadi hangat. Efek yang dikendalikan oleh gas beratom dua atau lebih ini menyerap inframerah di Troposfer. Masalahnya, konsentrasi CO2 dan gas lainnya terus meningkat sehingga pemanasan Bumi menjadi tak terkendali, temperaturnya terus naik dan diistilahkan dengan Global Warming (GW). Pada kasus ini kondisi Bumi sudah lampu kuning dan tanda peringatan waspada (warning) telah menyala.

Tanggung Jawab?
Siapa yang bertanggung jawab atas GW? Tentu saja semua negara! Namun, jika dikaitkan dengan CO2, maka yang paling bertanggung jawab ialah negara industri karena merekalah yang terbanyak mengemisi CO2. Sekadar contoh, emisi orang Amerika Serikat (AS) lima kali lebih besar daripada orang Meksiko, bahkan 19 kali lebih besar daripada orang India. Walaupun hanya 20% orang tinggal di negara maju tetapi kontribusinya 63% dari total emisi. Memang betul, kalau dihitung berdasarkan negaranya, maka Cinalah pengemisi terbesar lantaran jumlah penduduknya memang terbanyak. Namun secara individu emisi tujuh orang Cina setara dengan satu orang AS. Tujuh orang setara dengan satu orang!

Terkait dengan CO2 tersebut, tanggung jawab terbesar haruslah dipikul oleh negara maju seperti AS. Sama sekali keliru membandingkannya dengan Cina dan India meskipun banyak penduduknya. Sebab, emisi gas rumah kaca khususnya CO2, tidak berkorelasi linier dengan jumlah populasi secara langsung. Bisa saja penduduk suatu negara sangat banyak tetapi sebagian besar bergerak di sektor pertanian. Meskipun, memang, pertanian juga menjadi kontributor gas rumah kaca, khususnya setelah panen padi tapi tidak sebanyak yang diemisikan oleh industri dan transportasi.

Di situlah letak kekeliruan AS dalam menanggapi kesepakatan reduksi aktivitas ekonomi (industri dan transportasi). Padahal yang dideritanya juga dialami negara-negara maju lainnya, kelompok G7 (Kelompok Utara). AS merasa Protokol Kyoto adalah “penggusuran” terhadap aktivitas ekonominya sekaligus menentang Deklarasi Stockholm, sebuah komitmen bersama tentang pembangunan (industri) ramah lingkungan yang terlanjutkan. Juga melawan kesepakatan perlindungan lapisan ozon yang diputuskan pada Konvensi Wina tahun 1985, sebagai “landmark” aksi lingkungan dan Protokol Montreal tahun 1987 dengan serial amandemennya tahun 1990 di London, 1992 di Kopenhagen dan di Wina lagi pada 1996.

Lebih jauh lagi, AS pun mengingkari KTT Bumi di Rio de Janeiro pada Juni 1992 dengan Agenda 21 Globalnya yang merupakan cetak-biru sustainable development abad ke-21. Ketika itu, di bawah Konvensi Perubahan Iklim, negara-negara maju setuju mereduksi emisi gas rumah kaca. KTT Bumi plus 5 pun telah dilaksanakan di kota yang sama pada Juni 1997 dengan spirit serupa. Kemudian, Protokol Kyoto 1997 yang dimasalahkan oleh Presiden George W. Bush adalah lanjutan dari Protokol Montreal 1987. Isinya masih berorientasi pada reduksi emisi gas rumah kaca dan perusak ozon Stratosfer seperti metana, karbondioksida, kloroflorokarbon, halon, karbon tetraklorida dan metil kloroform.

Selain GW, efek yang juga riskan ialah hujan asam (hujas) atau acid rain, acid deposition. Menurut Gorham, dengan kadar 0,03% CO2 dari seluruh gas atmosfer maka derajat keasaman air hujan sekitar 5,7. pH-nya turun karena ada tambahan asam dari asam nitrat dan asam sulfat dengan sumber SO2 dan NOx. Pada tahun 2007 ini, pH air hujan di Jakarta sudah 4 – 4,5. Di Denpasar pun, mulai Ubung sampai Renon, sudah dipadati kendaraan, emitor CO2. Tapi untung Denpasar dekat dengan Samudera Indonesia yang kuat hembusan anginnya sehingga mudah terjadi dispersi polutan udara.

Sebetulnya, potensi GW oleh CO2 tidaklah besar. Metana 21 kali lebih besar daripada CO2. CFC malah 7.300 kali lebih besar daripada CO2. Hanya saja, karena kadar CO2 sangat banyak maka gas inilah yang paling besar kontribusinya pada GW, yaitu 50%. Sumber gas rumah kaca itu ialah BBM (57%), CFC 17%, pertanian 14%, dan penebangan hutan 9%. Dulu, Protokol Montreal mewajibkan penghentian produksi CFC (chlorofluorocarbon) pada tahun 1996. Tetapi faktanya, produk itu masih saja beredar. Untunglah pemerintah Indonesia telah berkehendak melarang impor CFC, halon, dan metil bromida tahun depan.

Opsi Solusi
Ada sejumlah upaya tindak yang dapat dilakukan. Yang pertama, mengurangi emisi CO2, mengurangi penebangan hutan (legal & illegal). Menghentikan produksi CFC lalu menggantinya dengan zat kimia ramah lingkungan. Mereduksi emisi metana dari sawah dengan mengurangi rendaman jerami, kurangi pembakaran biomassa, hindari pembakaran sampah (insinerasi, PLTSa: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah), termasuk kurangi pemakaian pupuk kaya nitrogen.

Sebaliknya, giatkan proses fotosintesis, tarutama padi. Absorbsi CO2 oleh padi akan meningkatkan produksi beras sekaligus mereduksi GW. Ada riset di Jepang yang menyatakan pemberian CO2 sebanyak 700 ppmv (sekitar 200% kadar CO2 di udara) dapat menaikkan produksi 20 – 30%. Ini dicoba oleh periset di Shizukuishi, Iwate Prefecture Jepang dan dinamai The Rice Face. FACE (Free-Air CO2 Enrichment) adalah pembubuhan CO2 ke sawah tanpa mengubah ekosistemnya.

Yang dapat ditempuh juga ialah perluasan penggunaan sumber energi angin (bayu, PLTB) seperti di Nusa Penida, energi surya (PLTS), dan energi air (PLTA). Inilah potensi sumber energi masa depan dengan memanfaatkan sains dan teknologi. Energi biomassa juga boleh, asalkan jangan PLTSa (Sa: Sampah)!

Akhir kata, mari hayati tulisan E. F. Schumacher, “Krisis lingkungan terjadi bukan karena pengembangan sains dan teknologi, tetapi hasil dari sikap mental dan life-style (gaya hidup) dunia modern.” *

1 komentar:

  1. Saya titip info ya..
    Mungkin berguna untuk pengunjung blog ini. Bagi pemilik usaha rumah makan ataupun siapa saja yang ingin memulai usaha makanan, maka dapat menggunakan Box Makanan dari saya yang sudah terbukti 100% Food grade serta aman dan ramah terhadap lingkungan.

    Informasi lebih lanjut dapat lihat detailnya di sini.

    BalasHapus