Ujian Nasional Amburadul, Sebuah Kilas Balik
Oleh Gede H. Cahyana
Amburadul, inilah kata yang tepat untuk pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA, SMK, MA tahun 2013 ini. Betapa tidak, ada 11 provinsi yang dijadwal
ulang, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, NTB dan NTT. Dalam kondisi normal saja, nyaris
semua siswa, terutama yang ingin lulus dengan nilai maksimal, menjadi tegang. Apalagi
ada pengunduran jadwal, ketegangan ini bisa membebani psikologisnya sehingga
hasil ujian justru bisa memburuk.
Aneh memang. Pada zaman internet dan alat komunikasi serba canggih ini, juga alat cetak yang cepat, masih saja terjadi masalah dalam pengadaan logistik ujian. Sungguh di luar nalar normal. Patut dicurigai, yakni buruk sangka demi kebenaran, terjadi "sesuatu" di Kemendikbud dan mesti diusut serta harus bertanggung jawab karena sudah menderitakan murid-murid yang siap-siap UN. Secuek-cueknya murid yang tidak peduli pada masa depan pendidikannya, menurut amatan saya ketika menjadi murid dulu, mereka ternyata takut tidak lulus. Bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena frustrasi pada hasil ujian berupa EBTANAS pada masa itu.
Dulu, ketika belum ada komputer seperti sekarang, offset masih orde dua, ujian tetap bisa berlangsung lancar, terlepas dari ada tidaknya joki dan main-mata di antara pendidik, murid dan guru serta bimbingan belajar yang mulai tumbuh pada dekade 1980-an itu. Di bawah ini sekadar kisah tentang sejarah ujian, tes,
evaluasi, atau apapun namanya pada masa Orde Baru.
Waktu di SD dulu ada yang namanya Test Diagnostik. Karena
namanya Diagnostik, mungkin waktu itu pemerintah ingin mendiagnosa
murid-muridnya, “penyakit akademis” apa saja yang bersarang di tubuhnya. Entah
apa dan bagaimana hasilnya, sampai sekarang saya tidak tahu. Di kelas enam SD,
ada ujian akhir yang disebut EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). Yang diujikan
adalah semua materi pelajaran kelas 1 s.d kelas 6. Tetapi praktiknya, yang
diujikan adalah materi kelas 4 hingga kelas 6. Kelulusan murid tidak hanya ditentukan
oleh EBTA tetapi diramu dengan nilai ulangan harian dan perilaku, etikanya.
Waktu itu ujiannya sudah bersifat regional, karena soal-soalnya dibuat oleh tim
guru di Dinas P dan K (Pendidikan dan Kebudayaan) Kabupaten Tabanan. Hanya
saja, hasil EBTA ini tidak bisa dijadikan alat untuk lulus ke tingkat SMP.
Lulusan SD harus ikut testing lagi di SMP yang diminatinya.
Tiga tahun di SMPN I Tabanan, tidak ada ujian lain yang
membuat jantung berdebar-debar selain EBTA. Hasil EBTA ini bisa dijadikan alat
kelulusan untuk ke tingkat SMA. Yang nilainya mencapai standar tertentu, juga
wajib melampirkan nilai raport selama di SMP, dipersilakan daftar tanpa harus
ikut ujian masuk SMA. Karena sudah diberlakukan sistem rayon, maka murid tidak
bebas memilih SMAN-nya. Dinas P dan K waktu itu memilah sekolah berdasarkan
batas administrasi yang banyak menimbulkan protes dan ketakpuasan murid dan
orang tua. Namun..., peraturan tetap wajib diikuti kalau tak hendak disebut
subversif pada masa Orde Baru itu. Beruntunglah saya karena masuk ke rayon
Utara yang jatahnya di SMAN I Tabanan. Berbekal nilai EBTA dan raport,
diterimalah saya di SMA idamanku itu. Namun demikian, karena ingin juga
merasakan ujian masuk SMA, akhirnya saya pun ikut ujian.
Pada semester kelima di SMA, murid diminta mengisi borang
PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan) untuk dinilai di Jakarta yang akan
digunakan sebagai alat kelulusan di perguruan tinggi pilihan murid. Beberapa
kali dilaksanakan latihan pengisian borang agar tidak salah sebelum akhirnya
mengisi borang asli. Waktu itu sudah ada rayon sehingga banyak murid yang
protes atau kesal karena tidak bisa memilih dua pilihan di luar rayonnya. Satu
pilihan harus di dalam rayon (Bali dan Nusa Tenggara) dan satu pilihan lagi
boleh di luar rayon. Yang dinyatakan lulus pilihan kedua wajib mengambil
jatahnya itu dan tidak boleh ikut ujian masuk perguruan tinggi Sipenmaru:
Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru. Kalau tetap tidak mau kuliah di jurusan
pilihan kedua, mau tak mau harus rela ikut tes Sipenmaru pada tahun berikutnya.
Lantaran takut diluluskan di pilihan kedua maka beberapa orang akhirnya menulis
pilihannya untuk satu pilihan saja, umumnya di luar rayon. Andaikata tidak
lulus, mereka siap untuk tes Sipenmaru dan dapat bebas memilih dua atau bahkan
tiga (IPS) jurusan di rayon yang diminatinya.
Setelah pengisian borang PMDK itu, datanglah EBTANAS.
Karena labelnya nasional, maka soalnya dari pusat (Jakarta). Nilai EBTANAS
digabung dengan nilai lokal dan perilaku, etika murid untuk menentukan
kelulusannya. Tetapi..., nilai EBTANAS (dan EBTA) ini tidak bisa digunakan
sebagai alat kelulusan di perguruan tinggi. Lulusan SMA dan sederajat harus ikut
Sipenmaru. Yang bersikeras ingin kuliah di luar Bali akhirnya hijrah dan
mendaftar langsung di rayon yang dicita-citakannya setelah ikut bimbingan
belajar yang mulai marak di kota-kota besar.
Tentu saja, dalam spirit idealismenya, UN ini memang ada
positifnya. Dalam keputusan meng-UN-kan murid pasti ada niat baik untuk
memajukan kualitas pendidikan kita. Mungkin caranya yang belum tepat karena
rentang mutu sekolah sangat beragam, Jawa dan Papua, Papua Barat misalnya, mulai
dari guru, murid, prasarana, sarana, kemampuan ekonomi murid, dll. Berbagai
pihak tentu saja boleh mengajukan kritik dan keberatan atas pelaksanaan UN ini
sambil memberikan masukan, nasihat, saran kepada pemerintah. Yang pasti, guru
memiliki hak otonomi dalam menilai murid-muridnya selama proses belajar, apakah
layak lulus ataukah tidak. Jadi, bukan semata-mata ditentukan oleh ujian sekali
saja yang disebut UN itu.
UN yang amburadul ini, plus kurikulum baru yang bakal
mendera dan berbagai peraturan yang dibuat oleh kalangan “pintar” dan “guru
besar” sembari cuek terhadap dosen dan “guru kecil”, mereka seperti “kacang
lupa akan kulitnya.” Mereka adalah pejabat pembuat peraturan untuk pendidikan
kita, baik di Dikdasmen maupun Dikti. Inilah wajah pendidikan kita yang sedikit-banyak
dapat dijadikan peta akademis generasi mendatang.
Untuk murid-murid, anak-anak didikku, siapkan saja
dirimu, belajarlah. Apapun yang terjadi nanti, itulah hasilnya. Tak usah stres
apalagi sampai menyudahi hidup yang cuma sekali saja di Bumi ini. Kamu sudah
berusaha, que sera sera, what
ever will be... will be. Kita berikan salam untuk Pak Menteri P dan K,
semoga segera menemukan jalan yang tepat untuk generasi muda Indonesia, para
pelajar dan mahasiswa. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar