• L3
  • Email :
  • Search :

16 April 2013

Ujian Nasional Amburadul, Sebuah Kilas Balik


Ujian Nasional Amburadul, Sebuah Kilas Balik
Oleh Gede H. Cahyana

Amburadul, inilah kata yang tepat untuk pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMA, SMK, MA tahun 2013 ini. Betapa tidak, ada 11 provinsi yang dijadwal ulang, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Bali, NTB dan NTT. Dalam kondisi normal saja, nyaris semua siswa, terutama yang ingin lulus dengan nilai maksimal, menjadi tegang. Apalagi ada pengunduran jadwal, ketegangan ini bisa membebani psikologisnya sehingga hasil ujian justru bisa memburuk.

Aneh memang. Pada zaman internet dan alat komunikasi serba canggih ini, juga alat cetak yang cepat, masih saja terjadi masalah dalam pengadaan logistik ujian. Sungguh di luar nalar normal. Patut dicurigai, yakni buruk sangka demi kebenaran, terjadi "sesuatu" di Kemendikbud dan mesti diusut serta harus bertanggung jawab karena sudah menderitakan murid-murid yang siap-siap UN. Secuek-cueknya murid yang tidak peduli pada masa depan pendidikannya, menurut amatan saya ketika menjadi murid dulu, mereka ternyata takut tidak lulus. Bahkan ada yang sampai mengakhiri hidupnya karena frustrasi pada hasil ujian berupa EBTANAS pada masa itu. 

Dulu, ketika belum ada komputer seperti sekarang, offset masih orde dua, ujian tetap bisa berlangsung lancar, terlepas dari ada tidaknya joki dan main-mata di antara pendidik, murid dan guru serta bimbingan belajar yang mulai tumbuh pada dekade 1980-an itu. Di bawah ini sekadar kisah tentang sejarah ujian, tes, evaluasi, atau apapun namanya pada masa Orde Baru. 

Waktu di SD dulu ada yang namanya Test Diagnostik. Karena namanya Diagnostik, mungkin waktu itu pemerintah ingin mendiagnosa murid-muridnya, “penyakit akademis” apa saja yang bersarang di tubuhnya. Entah apa dan bagaimana hasilnya, sampai sekarang saya tidak tahu. Di kelas enam SD, ada ujian akhir yang disebut EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir). Yang diujikan adalah semua materi pelajaran kelas 1 s.d kelas 6. Tetapi praktiknya, yang diujikan adalah materi kelas 4 hingga kelas 6. Kelulusan murid tidak hanya ditentukan oleh EBTA tetapi diramu dengan nilai ulangan harian dan perilaku, etikanya. Waktu itu ujiannya sudah bersifat regional, karena soal-soalnya dibuat oleh tim guru di Dinas P dan K (Pendidikan dan Kebudayaan) Kabupaten Tabanan. Hanya saja, hasil EBTA ini tidak bisa dijadikan alat untuk lulus ke tingkat SMP. Lulusan SD harus ikut testing lagi di SMP yang diminatinya.

Tiga tahun di SMPN I Tabanan, tidak ada ujian lain yang membuat jantung berdebar-debar selain EBTA. Hasil EBTA ini bisa dijadikan alat kelulusan untuk ke tingkat SMA. Yang nilainya mencapai standar tertentu, juga wajib melampirkan nilai raport selama di SMP, dipersilakan daftar tanpa harus ikut ujian masuk SMA. Karena sudah diberlakukan sistem rayon, maka murid tidak bebas memilih SMAN-nya. Dinas P dan K waktu itu memilah sekolah berdasarkan batas administrasi yang banyak menimbulkan protes dan ketakpuasan murid dan orang tua. Namun..., peraturan tetap wajib diikuti kalau tak hendak disebut subversif pada masa Orde Baru itu. Beruntunglah saya karena masuk ke rayon Utara yang jatahnya di SMAN I Tabanan. Berbekal nilai EBTA dan raport, diterimalah saya di SMA idamanku itu. Namun demikian, karena ingin juga merasakan ujian masuk SMA, akhirnya saya pun ikut ujian.

Pada semester kelima di SMA, murid diminta mengisi borang PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan) untuk dinilai di Jakarta yang akan digunakan sebagai alat kelulusan di perguruan tinggi pilihan murid. Beberapa kali dilaksanakan latihan pengisian borang agar tidak salah sebelum akhirnya mengisi borang asli. Waktu itu sudah ada rayon sehingga banyak murid yang protes atau kesal karena tidak bisa memilih dua pilihan di luar rayonnya. Satu pilihan harus di dalam rayon (Bali dan Nusa Tenggara) dan satu pilihan lagi boleh di luar rayon. Yang dinyatakan lulus pilihan kedua wajib mengambil jatahnya itu dan tidak boleh ikut ujian masuk perguruan tinggi Sipenmaru: Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru. Kalau tetap tidak mau kuliah di jurusan pilihan kedua, mau tak mau harus rela ikut tes Sipenmaru pada tahun berikutnya. Lantaran takut diluluskan di pilihan kedua maka beberapa orang akhirnya menulis pilihannya untuk satu pilihan saja, umumnya di luar rayon. Andaikata tidak lulus, mereka siap untuk tes Sipenmaru dan dapat bebas memilih dua atau bahkan tiga (IPS) jurusan di rayon yang diminatinya.

Setelah pengisian borang PMDK itu, datanglah EBTANAS. Karena labelnya nasional, maka soalnya dari pusat (Jakarta). Nilai EBTANAS digabung dengan nilai lokal dan perilaku, etika murid untuk menentukan kelulusannya. Tetapi..., nilai EBTANAS (dan EBTA) ini tidak bisa digunakan sebagai alat kelulusan di perguruan tinggi. Lulusan SMA dan sederajat harus ikut Sipenmaru. Yang bersikeras ingin kuliah di luar Bali akhirnya hijrah dan mendaftar langsung di rayon yang dicita-citakannya setelah ikut bimbingan belajar yang mulai marak di kota-kota besar.

Tentu saja, dalam spirit idealismenya, UN ini memang ada positifnya. Dalam keputusan meng-UN-kan murid pasti ada niat baik untuk memajukan kualitas pendidikan kita. Mungkin caranya yang belum tepat karena rentang mutu sekolah sangat beragam, Jawa dan Papua, Papua Barat misalnya, mulai dari guru, murid, prasarana, sarana, kemampuan ekonomi murid, dll. Berbagai pihak tentu saja boleh mengajukan kritik dan keberatan atas pelaksanaan UN ini sambil memberikan masukan, nasihat, saran kepada pemerintah. Yang pasti, guru memiliki hak otonomi dalam menilai murid-muridnya selama proses belajar, apakah layak lulus ataukah tidak. Jadi, bukan semata-mata ditentukan oleh ujian sekali saja yang disebut UN itu.

UN yang amburadul ini, plus kurikulum baru yang bakal mendera dan berbagai peraturan yang dibuat oleh kalangan “pintar” dan “guru besar” sembari cuek terhadap dosen dan “guru kecil”, mereka seperti “kacang lupa akan kulitnya.” Mereka adalah pejabat pembuat peraturan untuk pendidikan kita, baik di Dikdasmen maupun Dikti. Inilah wajah pendidikan kita yang sedikit-banyak dapat dijadikan peta akademis generasi mendatang.

Untuk murid-murid, anak-anak didikku, siapkan saja dirimu, belajarlah. Apapun yang terjadi nanti, itulah hasilnya. Tak usah stres apalagi sampai menyudahi hidup yang cuma sekali saja di Bumi ini. Kamu sudah berusaha, que sera sera, what ever will be... will be. Kita berikan salam untuk Pak Menteri P dan K, semoga segera menemukan jalan yang tepat untuk generasi muda Indonesia, para pelajar dan mahasiswa. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar