Rentang
sejarah bioteknologi anaerob sangat panjang. Berbagai tipe raktor telah dibuat dan banyak yang gagal, tinggal namanya saja. Namun, banyak juga yang berhasil
dan menjadi cikal perkembangan biotek anaerob selanjutnya. Awalnya, bioreaktor
ini dianggap buruk kinerjanya. Lalu, pada awal tahun 1970-an, mulai ditemukan
teknologi yang membuat proses anaerob mampu ditandingkan dengan proses aerob.
Malah laju aplikasinya melesat di banyak negara. Sejumlah keunggulannya adalah
hemat lahan, rendah timbulan sludge, dan penghasil energi listrik.
Kata kunci: bioteknologi, anaerob, kelirumologi, swahenti
Kilas
Balik
Sebelum tiba pada era reaktor modern, telah panjang
sejarah perkembangan proses anaerob. Oleh sebab itu, ada banyak data yang
berbeda utamanya soal tahun penemuan atau pembuatan unit pengolah yang ditulis
di jurnal, paper dan/atau buku. Juga, bisa saja ada negara yang sudah
menerapkannya, tetapi tak terpantau, tak ditulis atau tak dipublikasikan.
Karenanya, kapan, di mana dan siapa yang pertama kali menerapkannya masih bisa
diperdebatkan. Artinya, kronologis catatan itu, termasuk yang direkam di
artikel ini bisa berubah setiap saat mengikuti temuan baru.
Historisnya, bioteknologi (singkat: biotek) pengolahan
air limbah secara anaerob berkembang lebih awal daripada proses aerob. Namun
demikian, di banyak negara termasuk Indonesia, justru proses ini jarang
diterapkan di industri maupun domestik komunal. Indikatornya, jumlah unitnya
sangat sedikit dibandingkan dengan proses aerob. Bahkan ada kesan, banyak yang
“alergi” terhadap proses yang sesungguhnya potensial ini. Lalu, siapa yang
salah? Barangkali sejarahlah (atau si pembuat sejarah, para desainer) yang
salah. Sebab, selama ini ia hanya didesain untuk mengolah lumpur (sludge) dari klarifir primer dan
sekunder proses aerob dan limbah ternak (manure).
Lepas dari “dosa sejarah” itu, proses metanogenesis sudah
lama diketahui. Tahun 1776, fisikawan Italia Alessandro Volta, telah
mengidentifikasi metana dari busukan sedimen danau (Nyns, 1986; Leiderberg,
1992). Selain itu, semua habitat archae
atau metanogen adalah sumbernya. Mulai dari sludge
digester, perut hewan, rumen, sanitary
landfill, tangki septik, cubluk, sawah, genangan hingga ke sumber air panas
dan geotermal. Gas yang tak larut di dalam air (insoluble) ini, atom karbonnya hanya satu dan dinamai pula gas rawa
(marsh gas) karena sering muncul di
rawa-rawa. Yang terpenting dari gas ini adalah potensi energinya yang tidak
kalah dengan energi surya ataupun mikrohidro dalam hal penyediaan energi murah.
Meski begitu, hampir seabad kemudian proses ini baru
dipraktikkan untuk mengolah lumpur dan air limbah. Aplikasinya yang relatif
lama itu diawali oleh Mouras automatic
scaverager pada 1860 di Prancis. Reaktor yang didesain oleh Louis H. Mouras
ini, tulis Wang (1994), adalah digester (pencerna) lumpur pertama di dunia.
Lalu pada 1895, Donald Cameron membuat tangki septik pengolah lumpur di Exeter,
Inggris. Dialah identifikator pertama metana dari unit pengolah limbah dan
energinya itu digunakan untuk penerangan di sekitar instalasinya.
Seiring dengan perjalanan waktu, implementasi tangki
septik tadi kian luas dan mampu mengurangi masalah polusi pada saat itu,
terutama dari air limbah dan sludge domestik. Tapi karena berupa desain awal
atau prototipe maka muncul juga masalah yang disebabkan oleh gas yang
dihasilkannya. Pasalnya, gas yang kemudian disebut biogas itu ikut mengapungkan
padatan tersuspensi atau bioflok bakteri yang telah dan akan mengendap sehingga
melayang di muka air. Juga terbentuk busa kehitaman, berisi material tak
terolah (indigestible). Bahkan
endapan di dasar tangki pun ikut melayang sehingga merusak mutu efluennya.
Inilah sebabnya mengapa para desainer berupaya keras mencarikan solusinya.
Empat tahun kemudian, pada 1899, Harry Clark punya ide,
yakni memisahkan tangki sedimentasi dengan tangki digester. Hasilnya, kinerja
proses meningkat karena mampu mereduksi resuspensi lumpur dan bioflok.
Selanjutnya pada 1904 di Hampton Inggris dibangun ‘dual-purpose tank’, yaitu separasi tangki sedimentasi dengan tangki
pengolah lumpur (digester). Pada Travis
hydrolytic tank ini, air limbah masuk ke hydrolysing chamber yang berperan sebagai digester. Adapun padatan
tersuspensinya (suspended solid)
diendapkan di saluran atau kanal (channel).
Kedua ruang itu dipisahkan oleh sekat (baffle).
Pada tahun itu juga, Dr. Karl Imhoff dari Jerman membuat
‘dual-purpose two-story tank’ yakni
pemisahan ruang sedimentasi dengan ruang hidrolisis (hydrolysing) atau digester. Tangki yang dipatenkan dengan nama Imhoff tank ini, juga dianggap pionir
separasi tangki sedimentasi dengan digester. Dengan hanya satu unit reaktor, ia
punya dua ruang (bikamar) yang fungsinya berbeda. Karena jasanya itulah, nama
penemunya dijadikan nama jalan di Bandung, Jalan Imhoff Tank di dekat
instalasinya yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Kini rangkanya masih
bisa dilihat di dekat jalan itu, berbaur dengan pemukiman.
Semua unit pengolah yang dipaparkan di atas terfokus pada
pengolahan lumpur atau padatan tersuspensi dari limbah domestik. Sebab, hingga
ujung abad ke-19 itu memang belum banyak ada industri sehingga kasus polusi air
lebih banyak disebabkan oleh air limbah domestik. Selain itu, juga karena
tingkat polusinya tidak separah sekarang sehingga masih tertangani dengan
teknologi klasik. Begitu pun pengolahan limbah kotoran ternak dengan digester,
idenya dipioniri oleh Ducellier dan Isman dari Prancis pada tahun 1941.
Adapun yang dianggap pionir dalam bidang pengolahan air
limbah domestik (jadi bukan padatannya) adalah Scott-Moncrieff di Inggris pada
1891. Tangki pengolahnya terdiri atas dua kompartemen, bagian atas dan bagian
bawah. Segmen atas diisi batu sedangkan bagian bawahnya dibiarkan kosong.
Aliran airnya dari bawah ke atas, melewati sela-sela batu yang sekarang dikenal
dengan porositas reaktor. Boleh jadi, inilah ide awal dari filter anaerobik
yang dibuat oleh Young & McCarty delapan puluh tahun kemudian, awal
1970-an.
Tipe reaktor selanjutnya dibuat oleh Winslow dan Phelps
pada 1910. Pada reaktor ini telah ada sentuhan inovasi dari pendahulunya berupa
bentuk kerucut. Tangki kerucut yang dinamai “biolytic” ini, digunakan untuk
mengolah air limbah domestik yang dialirkan dari bawah ke atas (upflow), melewati lapisan atau selimut (blanket) lumpur. Dengan waktu tinggal (residence time) yang singkat, hanya 8,5
jam, penyisihan padatannya menyamai tangki septik. Seperti halnya filter
anaerob buatan Young & McCarty, dapatkah reaktor ini disebut sebagai ide
awal dari UASB (upflow anaerobic sludge
blanket) yang dikembangkan Lettinga dkk pada 1970-an di Belanda?
Selanjutnya, di sektor air limbah industri, menurut
Henze, et.al (1996), IPAL pertama di
dunia dibuat tahun 1929 di Slagelse, Denmark. Reaktor klasik dengan proses Anaerobic Contact ini digunakan untuk
mengolah air limbah pabrik ragi (Danish
Destillers). Perkembangan selanjutnya, ia digunakan juga untuk air limbah
pabrik gula dan minuman. Di Kopenhagen misalnya, pada 1970 dibangun Kontak
Anaerob (Contact Anaerobic Reactor)
yang unit sedimentasinya difasilitasi dengan lamella atau lembar pengendap. Ketika bukunya terbit tahun 1996,
IPAL itu masih berfungsi dengan baik.
Sampai 1950, sejarah perkembangan dan inovasi reaktor
anaerob kian banyak saja yang semuanya demi perbaikan proses dan mutu
efluennya. Juga mulai dikenal dasar-dasar proses, teknik kendali, desain tangki
dan peralatannya. Karenanya, setelah yakin pada kelebihan digester bikamar itu
dirancanglah digester laju tinggi (high
rate) yang diterapkan secara luas. Tapi sayangnya, seperti disebut di atas,
digester cepat itu hanya digunakan untuk mengolah lumpur. Tak diperluas untuk
mengolah air limbah sehingga menjadi sejarah kelam bagi perkembangannya di
kemudian hari. Baru pada pasca 1950, lewat riset di sejumlah digester anaerob,
karakteristik biokimia dan mikrobiologinya kian dipahami, di antaranya kondisi
lingkungan (temperatur, pH) dan biodegradabilitas (keterolahan secara biologi)
zat organik.
Apa yang dibahas di atas adalah rentetan evolusi reaktor
klasik konvensional yang kecepatan olahnya masih rendah atau digester lambat.
Karenanya, upaya perbaikan pun terus dilakukan. Schroepfer, misalnya, pada
tahun 1955 meresirkulasi endapan lumpur (biomassa aktif) yang ada di unit
sedimentasi. Kemudian Stander pada 1966 membuat Clarigester, dilengkapi dengan settler
agar biomassa aktifnya tidak hanyut. Akhirnya tahun 1970 dan sesudahnya,
kesulitan operasi teratasi setelah hadir inovasi proses anaerob laju tinggi.
Reaktor inovatif itu adalah Anaerobic
Filter (Young, McCarty, 1969), UASB
(Lettinga, 1979), Fluidized Bed
(Jerish, 1982), Expanded Bed (Jewel,
1979, Switzenbaum, 1980, Speece, 1983), Baffled
Reactor (Bachmann et al., 1985),
dan Anaerobic Rotating Biological
Contactor (Friedman, 1980).
Kecuali UASB, semua reaktor tersebut menggunakan media (carrier) sebagai tempat melekat bakteri.
Jadi, berupa reaktor pertumbuhan lekat (attached
growth). Khusus Anaerobic Filter
aliran ke atas (upflow),
kekurangannya adalah ada peluang penyumbatan (clogged) pada ruang antarmedia (porositas reaktor) dan endapan
lumpur di dasarnya. Melihat hal itu, muncullah inovasi anyar. Genung (1985)
memodifikasinya menjadi reaktor bastar atau hibrid yang bagian atasnya untuk
pertumbuhan lekat sedangkan ruang di bawahnya untuk pertumbuhan tersuspensi.
Yang unggul dan banyak diterapkan sekarang di industri
adalah reaktor inovatif itu. Ia juga dinamai reaktor nir-konvensional atau
modern karena merujuk pada kecepatan olahnya yang sangat tinggi. Bukan hanya
itu, reaktor modern ini pun mampu mengolah air limbah yang mengandung zat
toksik atau senyawa recalcitrant
seperti chlorinated aliphates,
chlorinated aromates, nitroaromates dan zat xenobiotik lainnya. Sebab
itulah ia disebut sebagai teknologi yang terjamin (a proven technology), menjadi tumpuan harapan pada basis
pendekatan ujung pipa (the end of pipe),
sebagai pelengkap pendekatan teknologi bersih (clean technology). Kedua pendekatan itu, mau tak mau, mesti
diakomodasi oleh kalangan industri.
Keunggulan
Anaerob
Dibandingkan dengan proses aerob, ada sejumlah kelebihan
atau manfaat dari proses anerob dalam pengolahan air limbah. Speece (1996)
berhasil mengompilasinya menjadi beberapa poin.
(1). Stabilitas proses.
Meskipun kondisi lingkungannya bervariasi, kalau proses
mampu menghasilkan swahenti biomassa maka akan dicapai proses yang stabil. Yang
bisa melakukan itu adalah reaktor anaerob modern dengan biomassa berujud
ganular (biobutir) dan slime (fixed film).
Selain itu, mesti dipenuhi juga kebutuhan mineral runutnya (trace).
(2). Reduksi volume lumpur dan luas lahan
Salah
satu masalah krusial dalam proses aerob adalah volume lumpurnya yang sangat
besar. Untuk membuangnya perlu biaya dan lahan. Sedangkan lumpur proses anaerob
sedikit sekali, biayanya hanya 10% dari biaya penanganan lumpur proses aerob.
Dengan demikian, hemat biaya dan lahan.
(3). Beban organiknya besar
Kecepatan pembebanan organik yang mampu dicapai proses
anaerob adalah 3,2 - 32 kg/m3.hari. Sedangkan yang aerob hanya 0,5 - 3,2
kg/m3.hari.
(4). Potensi energi.
Kalau proses aerob membutuhkan energi untuk aerasinya,
proses anerob justru menghasilkan energi. Per 1.000 kg COD yang diubah menjadi
metana dihasilkan tak kurang dari 12 juta BTU. Dan ini potensial buat energi
listrik, minimal di instalasinya.
Kelirumologi
Pada “Kilas Balik” di atas telah dipaparkan evolusi
reaktor anaerob dan mengapa perkembangannya demikian lamban sehingga
popularitasnya dikalahkan oleh proses aerob. Dari paparan itu dapat diketahui
bahwa dominasi unit pengolah ketika itu adalah reaktor pengolah lumpur saja
(digester). Dengan demikian, kalau dicari biang keladi dari stagnasi proses
ini, ia tak lain dari unit pengolah lumpur anaerob (anaerobic sludge digester). Inilah yang dianggap memunculkan
pandangan keliru terhadap keandalan proses anaerob dalam mengolah air limbah (wastewater).
Sejumlah parameter keliru yang biasanya dijadikan
tolok-ukur atau tolok-banding proses ini dengan proses aerob, dibahas berikut
ini.
(1).
Efisiensi.
Hingga 1970-an, selain limbah ternak, proses anerob pun
banyak diterapkan untuk mengolah lumpur IPAL aerob yang menggunakan lumpur
aktif (activated sludge) dan
modifikasinya. Sebab itulah istilah yang digunakan digestion (pencernaan) dan bukan treatment (pengolahan). Sebagai reaktor klasik, tentu saja
kemampuan digester sangat rendah dalam mengolah limbah sehingga kalau
efisiensinya dibandingkan dengan IPAL aerob, pasti kalah. Perbandingan seperti ini, menurut pakar pengolahan air
limbah Henze et.al., (1995), sungguh
tidak tepat. Digester anaerob tidak sama dengan pengolahan air limbah anaerob.
Karena itu, menjadi tidak comparable
jika dibandingkan dengan pengolahan air limbah secara aerob.
Pada pengolahan air limbah, lanjut pakar dari Denmark
itu, sebagian besar zat organik dalam keadaan terlarut (dissolved organic) dan waktu tinggal hidrolisnya (hydraulic retention time) sangat jauh
berbeda (uncoupled) dengan umur
lumpurnya (sludge age). Sedangkan
pada digester lumpur, baik yang prosesnya aerob maupun anaerob, didominasi oleh
zat organik berupa suspensi bakteri dan waktu tinggal hidrolisnya sama dengan
umur lumpur. Maka, ia pun dianggap tidak efisien karena lumpur memang lebih
sulit diolah daripada zat organik terlarut. Dari sinilah kesan itu muncul bahwa
proses anaerob sangat lamban dalam mendegradasi pencemar organik jika dibandingkan
dengan proses pengolahan air limbah aerob.
(2).
Stabilitas
Selain masalah mikrobiokimia, ketakstabilan digester
anaerob juga banyak terjadi lantaran salah mendesain reaktornya. Misalnya,
terjadi banyak ruang nirguna (dead space)
di dalam reaktor. Atau karena kurang pengadukan sehingga terjadi arus pendek (short circuiting). Akibatnya, belum
sempurna air limbah diolah sesuai dengan waktu tinggal hidrolis yang didesain,
sudah langsung menuju outlet (titik
keluar).
Selain itu, juga karena hingga akhir 1960-an, karakteristik bakteri pengendali prosesnya belum banyak terungkap. Metanogen, bakteri yang berperan kunci pada proses itu ternyata sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan: temperatur dan pH. Inilah sebabnya kenapa archae, nama yang lebih tepat untuk metanogen, menjadi terganggu pada temperatur kurang dari 20o C dan pH kurang dari 6,0 atau jika fluktuasinya terlalu lebar. Pandangan keliru juga terjadi karena, menurut Speece, tidak paham prinsip dasar proses atau tidak benar desain dan/atau operasinya. Dari fakta yang dikumpulkannya, reaktor konvensional hasil observasinya banyak yang salah desain sehingga laju atau kecepatannya rendah.
Juga banyak yang keliru membandingkan efisiensi digester anaerob pengolah lumpur dengan reaktor pengolah air limbah aerob. Yang disebut kedua adalah pengolah zat organik terlarut di dalam air limbah. Sedangkan digester anaerob adalah pengolah lumpur dari proses aerob dan yang berasal dari klarifir pertama. Memang lebih sulit daripada mengolah zat organik terlarut. Inilah cikal-bakal, mengapa proses anaerob dikatakan proses yang tak efisien. Padahal, digester aerob pun kurang efisien jika dibandingkan dengan pengolahan air limbah aerob. Sesungguhnya, proses anaerob dapat didesain untuk mengolah zat organik terlarut secepat atau bahkan lebih cepat daripada proses aerob, dengan KPO (kecepatan pembebanan organik, organic loading rate) tinggi.
Selain itu, juga karena hingga akhir 1960-an, karakteristik bakteri pengendali prosesnya belum banyak terungkap. Metanogen, bakteri yang berperan kunci pada proses itu ternyata sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan: temperatur dan pH. Inilah sebabnya kenapa archae, nama yang lebih tepat untuk metanogen, menjadi terganggu pada temperatur kurang dari 20o C dan pH kurang dari 6,0 atau jika fluktuasinya terlalu lebar. Pandangan keliru juga terjadi karena, menurut Speece, tidak paham prinsip dasar proses atau tidak benar desain dan/atau operasinya. Dari fakta yang dikumpulkannya, reaktor konvensional hasil observasinya banyak yang salah desain sehingga laju atau kecepatannya rendah.
Juga banyak yang keliru membandingkan efisiensi digester anaerob pengolah lumpur dengan reaktor pengolah air limbah aerob. Yang disebut kedua adalah pengolah zat organik terlarut di dalam air limbah. Sedangkan digester anaerob adalah pengolah lumpur dari proses aerob dan yang berasal dari klarifir pertama. Memang lebih sulit daripada mengolah zat organik terlarut. Inilah cikal-bakal, mengapa proses anaerob dikatakan proses yang tak efisien. Padahal, digester aerob pun kurang efisien jika dibandingkan dengan pengolahan air limbah aerob. Sesungguhnya, proses anaerob dapat didesain untuk mengolah zat organik terlarut secepat atau bahkan lebih cepat daripada proses aerob, dengan KPO (kecepatan pembebanan organik, organic loading rate) tinggi.
Kekeliruan selanjutnya berkaitan dengan termodinamika
proses. Perolehan energi oleh mikroba anaerob sangat sedikit dari reduksi zat
organiknya. Makanya muncul salah tafsir, bahwa proses ini rendah laju
penyisihannya. Mikroba aerob memang mampu mendapatkan energi yang lebih banyak
pada zat yang sama daripada yang anaerob. Dari gula misalnya, yang aerob mampu
mendapatkan energi 14 kali lebih banyak daripada yang anaerob. Terasa, mikroba
anaerob kurang efisien dibandingkan yang aerob.
Tapi sebenarnya, ini tidak berdampak pada kinetika
pengolahannya. Dari sisi pengolahan, ada dua akibat, yaitu mikroba aerob
menghasilkan lebih banyak lumpur per satuan zat yang terolah. Lantas, energi
yang tidak diperoleh mikroba anaerob, hasilnya pada pembentukan metana. Karena
kerapkali lumpur menimbulkan masalah maka jumlahnya yang rendah adalah
keuntungan proses anaerob, selain sebagai sumber energi murah.
Penutup
Biotek anaerob dimulai dari reaktor yang tidak diminati
teknologinya. Namun, dalam perubahan zaman, justru menjadi reaktor yang
menjanjikan. Ini didukung lagi oleh reaktor semacam UASB, filter anaerobic dan hybrid.
Dalam reaktor tersebut, banyak dijumpai keunggulannya dibandingkan proses
aerob. Kuncinya adalah publikasi dengan cara menyebarluaskan teknologinya.