Mudik
ke Kampung Akhirat
Oleh Gede H. Cahyana
Mudik sudah menjadi budaya menjelang
Idulfitri. Sudah menjadi siklus tahunan, berulang pada sepekan terakhir bulan
Ramadhan. Mudik sebagai bukti cinta tanah kelahiran, tertaut daerah asal, rindu
ranah turunan. Meskipun sudah tahu pasti karena sudah mengalami berkali-kali,
yaitu antri dalam kemacetan lalu-lintas, tetap saja perindu tanah leluhur
berduyun-duyun menapak jejak dengan motor, mobil, bis, kereta api, pesawat, atau
kapal. Bahkan ada yang naik becak dan kuda.
Mudik pastilah pelik. Ada tiga
kelompok kondisi orang mudik. Yang kesatu, pemudik yang melengkapi dirinya
dengan fasilitas yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Mereka berkendara, baik
pribadi maupun publik, dengan fasilitas AC, disajikan makanan-minuman yang
enak, bergizi, dan aman lalu-lintasnya. Yang kedua, pemudik yang pertengahan,
tidak terlalu nyaman tetapi tidak pula menderita. Mereka pengguna moda angkutan
tanpa AC, hanya dihidangkan air minum dan agak berdesakan. Yang ketiga adalah
pemudik yang menderita karena bekalnya sedikit, bahkan nyaris tanpa bekal
kecuali baju yang lekat di badan. Moda angkutannya parah, sering mogok,
kepanasan, tersiksa lahir batin.
Ketiga kelompok pemudik ini, setelah
tiba di kampungnya, juga mengalami perlakuan yang berbeda. Yang pertama, karena
membawa bekal yang banyak, fasilitas mobil yang nyaman dan aman, oleh-olehnya
disedekahkan kepada tetangga, menjadi persona yang penuh pesona. Ia memesona.
Ia dihormati, dielu-elukan. Yang kedua, memperoleh perlakuan pertengahan,
sedangkan yang ketiga menjadi kelompok yang menderita. Tanpa membawa bekal dan
oleh-oleh, malah membuat buruk suasana. “Untuk apa kau merantau di kota kalau
pulang-pulang tidak membawa apa-apa yang bermanfaat buat dirimu. Kalau bisa,
ada juga manfaatnya untuk saudara dan tetanggamu, “ begitu ujaran yang mendesak
telinganya.
Lantas, bagaimana dengan mudik ke
Kampung Akhirat? Kampung Akhirat adalah mudik yang khas karena tiada arus
balik. Mudik tanpa balik. Ketika semua orang sudah sampai di kampung tujuannya,
misalnya di Trenggalek, di Pacitan, di Garut, maka sekian hari kemudian mereka
akan balik. Ada arus balik yang juga menimbulkan kemacetan. Tetapi, kalau tiba
waktunya, orang yang mudik ke Kampung Akhirat, tentu tidak akan pernah balik.
Tidak ada yang bisa balik meskipun ada yang ingin balik dan memohon kepada Sang
Khalik agar ia diizinkan balik (ke dunia). Tetapi sayang, tiada arus balik di
akhirat. Manusia hanya memiliki tiket satu arah. Oneway ticket.
Bagaimanapun kondisi negara, tradisi
mudik patutlah dipertahankan karena ia penuh rasa persaudaraan. Ada fenomena
sebaran ekonomi dari kota ke desa, ada penguat tali persaudaraan. Uang yang
biasanya terpusat di kota-kota bisa dinikmati di desa dan pelosok dusun karena
ada eksodus mudik. Pada saat yang sama, mudik memberikan pelajaran kepada
pemudik bahwa mereka pun akan mudik ke Kampung Akhirat. Setelah tiga pekan
puasa, memasuki pekan keempat, mereka berbarengan menuju kampung, menahan marah
akibat motor, mobil disenggol pemudik lainnya, dan bahkan ridha pada apapun
yang terjadi di jalan. Sabar dan ridha dalam kemacetan, dalam kepanasan, dalam
antrian panjang menjadi latihan langsung setelah tiga pekan puasa. Latihan sabar
dan menahan marah, emosi yang meletup dan egoisme pribadi.
Setiap orang akan mudik, tidak hanya
yang percaya pada adanya Sang Khalik, tetapi semua makhluk, baik manusia,
hewan, maupun tumbuhan. Semua akan mati. Mati adalah sesi menuju perjalanan mudik
ke Kampung Akhirat.
Selamat mudik, semoga selamat sampai
tujuan. *