(JANGAN) TUTUP TPA SARIMUKTI
Oleh Gede H. Cahyana
NIMBY, not in my back yard adalah sikap yang ingin enak sendiri. Sampahku
adalah limbahmu. Timbulkan sampah sebanyak-banyaknya, tetapi ingin rumah tetap
bersih. Bau asam menyengat diberikan ke tetangga. Bisakah diamalkan prinsip waste for one is added value for another?
Sampah diubah menjadi bernilai tambah dan berkah? Teoretisnya bisa, tetapi
praktisnya belum terlaksana. Penyakit NIMBY ini tidak hanya terjadi di keluarga
tetapi juga “keluarga” dalam makna pemerintahan daerah. Pemerintah Kabupaten
Bandung Barat (KBB), sebelumnya Kabupaten Bandung, merasa dijadikan tong sampah
oleh Pemerintah Kota Bandung dan Kota Cimahi.
Kondisi Teknis
TPA Sarimukti bisa disebut
sebagai korban “kekerasan dalam rumah tangga” pemerintah daerah. Betapa tidak,
lokasi ini muncul sebagai tanggap darurat atas longsor TPA Leuwigajah pada 21
Februari 2005 dengan korban meninggal yang tercatat 176 orang. Karena darurat,
tentu sifatnya sementara. Tetapi ternyata menjadi satu dekade. Ini tentu pelanggaran
terhadap komitmen awal pada waktu itu, bahwa akan dibangun TPA berbasis sanitary landfill di suatu tempat di
Bandung atau sekitarnya. Rentang waktu sejak bencana sampah sampai dengan medio tahun 2015 ini 10 tahun. Apalagi tidak ada yang namanya sel-sel sampah
lahan urug saniter di Sarimukti. Bentuknya hanya gunungan sampah yang dibuang
begitu saja tanpa pelapisan tanah urug atau material lainnya yang layak dan
teruji. Open dumping. Sarimukti
adalah open dump untuk 5.000 m3
sampah per hari. Kalau
berat jenis sampah 0,25 maka rata-rata beratnya menjadi 1.250 ton per hari. Apabila berat seekor gajah adalah
1,25 ton maka di Kota Bandung timbul gajah
“sampah” sebanyak 1.000 “ekor” setiap hari.
Jika merujuk pada Undang-Undang
no. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah pasal 44, pemerintah daerah harus
berupaya keras melaksanakan amanat undang-undang tersebut, yaitu menutup open dump. Tahun 2013 lalu adalah batas
akhir bagi pemerintah untuk meninggalkan open
dump seperti di Sarimukti. Ini adalah cara buruk dalam pandangan konservasi
fungsi lingkungan. Dengan acuan tersebut, TPA harus hijrah dari tempat
pembuangan akhir menjadi tempat pemrosesan akhir. Salah satu opsinya ialah sanitary landfill (sanfil) atau minimal controlled landfill (confil). Tempat
Pemrosesan Akhir, yaitu tempat terakhir sampah dalam tahap pengelolaannya sejak
di sumber, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan penimbunan
(pembuangan). TPA ini selayaknya menjadi lokasi isolasi sampah yang aman
sehingga tidak mengganggu lingkungan. Oleh sebab itu, perlu penyediaan
fasilitas dan perlakuan yang betul agar keamanan tersebut dapat dicapai.
Mengacu pada definisi di
atas, kondisi teknis yang melekat pada TPA Sarimukti sudah di luar marka
perundang-undangan. Tampaknya aman-aman saja, seolah-olah tidak bergejolak, tidak
bermasalah. Ini lantaran luput dari pemberitaan media massa cetak, media elektronik,
dan media sosial FB dan Twitter. Apalagi mayoritas warga Bandung Raya belum
pernah melihat langsung kondisi gunung sampah yang rawan longsor itu. Sekadar
pembanding, tanah yang diikat akar pepohonan saja bisa longsor seperti terjadi di
Desa Jemblung, Kecamatan Karang Kobar, Banjarnegara, Jawa Tengah pada 12 Desember
2014. Tentu tumpukan sampah yang tidak ada material pengikat antar komponennya
lebih mudah longsor daripada tanah. Lagi pula, tumpukan sampah itu sudah sangat
tinggi, bahkan Monas pun tenggelam jika ditusukkan ke dalam gunung sampah itu.
Stadion Senayan pun masih kalah luas dibandingkan dengan Open Dump Sarimukti.
Berbeda dengan warga
Bandung, pemimpin daerah tidak hanya wajib blusukan ke lokasi TPA, tetapi juga
agar makin yakin bahwa masalah sampah adalah penting & mendesak (crucial). Taman boleh dibangun di
mana-mana, festival kuliner bisa digelar rutin setiap malam minggu, lukisan
mural, grafiti menghiasi dinding-dinding kota. Ini semua positif. Sampah pun
selayaknya lebih diperhatikan karena dampaknya luas. Gerakan Pungut Sampah
(GPS) tentu positif, denda terhadap sopir angkot yang mobilnya tidak
menyediakan wadah sampah sebagai pemberlakuan Perda K3 di Kota Bandung juga
diapresiasi. Pertanyaannya, pernahkah para kepala daerah menatap gunung sampah
di Sarimukti? Menghirup hawa khasnya saat kemarau? Seorang pemimpin akan merasa
aman-aman saja kalau tidak pernah melihat langsung keruwetan dan risiko kerja
operator di lokasi TPA. Empati akan muncul kalau pernah menyaksikannya.
Blusukan ke TPA itu penting agar diperoleh gambaran aktual berkaitan dengan
operasi, keadaan pemulung, kesehatan pekerja dan operator, serta kondisi
alat-alat beratnya sebagai landasan pembuatan kebijakan.
Selain kondisi urugan sampah,
Sarimukti juga gagal dalam mengolah air lindinya. Instalasi Pengolahan Lindi
(IPL) tidak mampu menurunkan pencemaran organik ke taraf yang aman bagi badan
air penerima. Apatah lagi nitrogen, fosfat, dan logam-logam berat. Polutan ini
bebas mengalir ke lingkungan di sekitar TPA dan mencemari air tanah dan air
permukaan. Dari amatan di lokasi, ini terjadi lantaran keliru dalam mendesain
hidrodinamika aliran lindi sehingga berpengaruh pada intensitas adukan secara
hidrolis (Gambar 1).
Desain pengadukan (mixing) secara alamiah, tanpa bantuan mixer atau aerator (sehingga menjadi murah investasi, operasi, dan
perawatannya) menjadi penentu keberhasilan proses pengolahan. Juga karena gagal
“beternak bakteri” sebagai ciri khas dalam bioproses akibat derajat keasamannya
(pH) tidak stabil dalam rentang basa, yaitu di atas tujuh.
Sebagai IPL berjenis
bioproses, pengolahan di Sarimukti terdiri atas kolam stabilisasi (anaerobik),
kolam fakultatif, dan kolam maturasi. Prinsipnya sama dengan IPAL domestik di
Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Bedanya, konstruksi IPL di Sarimukti berbahan
beton sedangkan IPAL Bojongsoang berbahan tanah. Varian IPL juga ada, biasanya
berupa unit biofilter atau wetland seperti
tampak pada Gambar 2. Ada juga yang menyediakan kolam seeding. Namun demikian, unit yang lengkap seperti gambar tersebut ada
juga yang gagal dalam operasi dan pemeliharaannya. Apa sebabnya?
Kata kunci agar IPL optimal
operasinya sesungguhnya sama persis dengan IPAL. Prosedur
operasi dan
pemeliharaan IPL harus
dilaksanakan secara tepat, misalnya debit dan kualitas lindinya harus rutin
dipantau. Debit lindi yang masuk ke IPL harus terkendali sehingga tidak menyebabkan
gangguan pada proses pengolahan, terutama fluktuasi
debit lindi. Namun, debit lindi yang lebih kecil
daripada debit desainnya, biasanya tidak bermasalah selama kualitas lindinya
relatif stabil. Yang bermasalah adalah ketika debitnya di atas debit desain,
apalagi kalau jauh melampauinya..
Start-Up
Kegagalan IPL biasanya diawali pada tahap start up. Ada IPL yang dioperasikan
tanpa tahap ini karena mengira bahwa IPL itu seperti mesin yang siap bekerja
setelah dibeli tanpa perlu pengondisian awal. Padahal semua unit bioproses,
tahap start up diperlukan ketika
memulai operasi dan setelah terjadi kegagalan proses pengolahan (restart up). Ada beberapa hal yang harus
ditempuh untuk memulai langkah ini.
1. Isilah bak Anerobik dengan air tanah (sungai) sampai penuh. Cek dan catat pH-nya.
2. Alirkan lindi ke dalam bak tersebut, cek dan catat pH-nya. Pantau pH
setiap hari.
3. Apabila pH kurang dari tujuh, tambahkan alkali
(kapur tohor, NaOH atau sejenis) sampai pH menjadi tujuh atau lebih. Jika
digunakan kapur, pembubuhan dilakukan dengan mencampurkan kapur dan air di
dalam ember sebelum diituangkan di lokasi inlet.
4. Cek dan catat COD setiap hari. Kondisi tunak
tercapai kalau diperoleh perbedaan angka COD efluen sekitar 10%. Dalam kondisi
normal proses ini berlangsung dua sampai tiga bulan.
5. Laksanakan cara yang sama
di bak fakultatif dan bak maturasi.
6. Selama start
up, pantau parameter pH, BOD, COD.
a. pH cairan di bak
(kolam) dijaga antara 7 – 9. Apabila kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali ke dalam bak sampai
pH-nya minimal tujuh.
b. BOD
dan COD efluen dicek setiap hari sampai fluktuasi 10% (kondisi
tunak).
Pengukuran Debit
Fluktuasi debit berpengaruh
pada kualitas pengolahan. Debit yang melebihi desain atau batas atas debit
desain dapat menggagalkan pengolahan. Pelapisan dasar pada awal konstruksi TPA
sangat menentukan debit lindi, terutama pada musim hujan. Gambar 3
memperlihatkan kekeliruan dalam pelapisan dasar pada awal konstruksi TPA
Sarimukti. Jaringan pipa induk dan lateral langsung diletakkan di atas tanah,
tidak dialasi geotekstil dan geomembran.
Setiap IPL memiliki syarat debit lindi yang mampu diolahnya. Akurasi debit ini
berpengaruh pada kualitas air olahan. Tetapi faktanya, nyaris 99% IPL tidak
dilengkapi dengan alat ukur debit. Alat ukur ini ada yang sederhana seperti alat ukur Thompson. Apabila alat ukur tersebut tidak dipasang, maka dapat
dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menggunakan ember dan stopwatch. Prosedur pengukuran
debit di alat ukur Thompson sebagai berikut.
1.
Bersihkanlah sampah di sekitar alat ukur agar tidak menghalangi skala pada mistar.
2.
Catatlah tinggi muka air lindi di bagian hulu alat ukur.
3.
Hitung debit dengan pendekatan rumus Q = 1,4.H5/2.
Prosedur dengan menggunakan ember:
1.
Siapkan ember yang diketahui volumenya.
2.
Tampung lindi di dalam ember sambil diukur waktunya.
3.
Debit adalah volume lindi di dalam ember dibagi kebutuhan waktu untuk memenuhi
ember.
Pantauan Rutin
IPL harus
dipantau agar kinerjanya optimal. Pemantauan kinerja ini bisa secara fisika dan
biokimia. Parameter fisika yang dipantau adalah bau dan warna sedangkan biokimianya:
pH, BOD, COD.
Untuk mendiagnosis kinerja
pengolahan, ada tiga kondisi yang dijadikan acuan:
1. Apabila warna lindi tidak berubah, bau tidak
berubah, pH tetap, tetapi penyisihan BOD, COD makin rendah maka disimpulkan
bahwa waktu tinggal lindi di unit IPL terlalu singkat. Cek kedalaman kolam dan
kuraslah sebagian lumpurnya.
2. Apabila warna lindi menjadi kuning (pucat) baunya
menyengat, penyisihan BOD, COD rendah, pH kurang dari 5, maka disimpulkan ada
zat racun di dalam lindi. Cara penanggulangannya ada dua:
a). Hentikan
aliran lindi ke IPL, alirkan lindi (bypass)
ke kolam berikutnya, ganti lindi dengan air sungai atau air tanah. Ulangi
langkah start up.
b). Cara
kedua: biarkan lindi yang kuning tersebut (pH kurang lebih 5), kemudian
tambahkan alkali ke dalam kolam lindi. Jaga pH-nya agar lebih besar atau sama
dengan tujuh. Dalam waktu dua sampai dengan tiga bulan, kondisi akan pulih
kembali.
3. Terjadi reduksi volume kolam karena
akumulasi endapan. Kejadian ini dapat mempersingkat waktu tinggal lindi
sehingga kinerja IPL menurun. Tanggulangi dengan cara mengecek tinggi endapan
dengan tongkat (bambu, kayu) di bagian inlet, tengah dan outlet unit IPL.
Apabila endapannya tinggi, maka perlu dikuras atau ditiriskan dengan pompa dan
lumpurnya dibiarkan mengering. Setelah kering, gunakan alat berat untuk
mengeruknya atau dicangkul secara manual.
Tindakan
di atas bersifat kuratif, dilaksanakan setelah terjadi penurunan kinerja
pengolahan. Upaya preventifnya dengan cara memantau rutin. Prosedurnya: 1.
Gunakan pH-meter atau lakmus untuk mengecek pH lindi di setiap unit IPL. 2.
Jika pH lindi kurang dari tujuh, maka tambahkan alkali (basa) untuk menaikkan
pH hingga minimal tujuh. 3. Pertahankan pH tetap minimal tujuh. 4. Cek BOD dan
COD efluen IPL. Kalau terjadi perubahan yang mencolok, ulangi prosedur start up.
Berdasarkan bahasan di atas,
kinerja IPL ini berubah-ubah dan kerapkali gagal. Atas kondisi ini, pengelola
TPA tidak bisa serta merta menyalahkan operator. Siapapun yang menjadi operator
di Sarimukti, pasti tidak akan berdaya mengendalikan kualitas lindi yang masuk
dan yang keluar dari instalasi. Ini lantaran kondisi TPA bukanlah sanitary landfill dengan rangkaian pipa
kolektor lindi, pipa gas, dan pelapisan sel sampah. Debit lindi tidak bisa
diduga atau diperkirakan, apalagi pada saat hujan. Debit yang jauh melebihi
kapasitas desain IPL otomatis akan merusak komunitas mikroba, andaikata sudah
tumbuh dan berkembang sehingga operasi IPL mulai lagi dari awal (start up). Kejadian ini bisa terjadi
berkali-kali, bergantung pada kondisi cuaca. Terlebih lagi kalau tidak ada
operator khusus IPL, yaitu orang yang bertugas hanya di IPL, tidak rangkap
tugas sebagai pengatur lalu-lintas truk dan urusan titik bongkar sampah atau
pencatatan masuk-keluar truk di TPA.
(Jangan) Tutup Sarimukti
Menurut perundang-undangan
yang berlaku seperti disebut di atas, warga dan LSM di KBB tidak perlu bersusah
payah menuntut penutupan TPA Sarimukti. Protes ini sering terjadi, seperti
tampak pada Gambar 4. Secara otomatis sebetulnya TPA itu sudah harus ditutup
dan sampah Kota Bandung dan Kota Cimahi dialihkan ke lokasi lain yang
selayaknya lebih baik daripada kondisi Sarimukti. Peran Pemprov. Jawa Barat
tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mempertemukan tiga pemerintah daerah
yang terkait dengan sampah ini. Prinsip pengelolaan sampah adalah win win solution, bukan NIMBY.
Selain warga dan LSM
setempat, DPRD KBB pun pada November 2014 menuntut pembicaraan kembali tentang
nota kesepahaman (MoU) TPA Sarimukti.
Ini wajar saja lantaran mereka adalah wakil masyarakat tempat minta tolong
apabila ada kasus dan kondisi yang merugikan ekonomi dan kesehatan warga. Salah
satu tugas utama dewan di KBB adalah menuntaskan TPA ini agar diperoleh solusi
yang menguntungkan bagi tiga pihak (KBB, Kota Bandung, Kota Cimahi) dan
melapangkan jalan tugas dan fungsi Pemprov. Jawa Barat. Terlebih lagi, warga
sudah melek informasi (dari ponsel, Facebook, Twitter, radio, televisi, dan
koran) berkaitan dengan audit keuangan dan Kompensasi Dampak Negatif (KDN).
Distribusi dana KDN tersebut
juga menjadi pertanyaan warga di sekitar TPA dan warga yang dilewati truk-truk
sampah. Setiap truk yang lewat selayaknya diperhitungkan retribusinya terhadap
warga terdampak, baik melalui mekanisme di pemerintahan maupun langsung kepada
pejabat desa setempat yang diketahui oleh warga. Di Sarimukti juga ada jembatan
timbang yang mencatat rutin jumlah truk dan berat sampah yang diangkutnya.
Dicatat pula sumber sampahnya dari mana, kelurahan apa, kecamatan, dan
kabupaten atau kota. Data di jembatan timbang ini bisa dijadikan acuan tiga
pihak yang bersengketa ini asalkan pencatatan dan pelaporannya sesuai dengan
SOP (standar operasi – prosedur) yang sudah disepakati. Saling percaya dan
dicatat secara komputasi. Bahkan bisa di-sharing
online kepada semua SKPD yang terkait
di tiga pemerintahan dan provinsi pada detik ketika truk di atas jembatan
timbang selesai didata.
Kesimpulan, pertama,
peraturan negara ini sudah menegaskan bahwa open
dumping seperti TPA Sarimukti harus ditutup secepat-cepatnya, terlepas dari
lancar tidaknya atau dibayar-ditunggak dana untuk KDN. Tiada lagi alasan yang
bisa memperpanjang lifetime
Sarimukti. Kedua, Pemprov. Jawa Barat membantu Kota Bandung dan Cimahi agar
memiliki TPA sanitary landfill, baik
bekerja sama dengan KBB, Kab. Bandung, maupun kabupaten lainnya. Ketiga, dan
ini adalah alasan kemanusiaan untuk warga Kota Bandung dan Cimahi, jangan tutup
dulu TPA Sarimukti sebelum sanfil-nya
siap digunakan. Berapa lama waktunya? Bergantung pada gerak cepat Pemprov. Jawa
Barat dan kabupaten – kota terkait.
Jika demikian, tanda kurung
judul tulisan ini bisa dihapus sehingga menjadi “Jangan Tutup TPA Sarimukti”
untuk sementara ini dengan alasan humanisme, estetika, dan kesehatan warga.
Pada saat yang sama pemerintah Kota Bandung melunasi tunggakan dan memberikan
kompensasi kepada warga terdampak di sekitar lokasi. Semoga ini menjadi win win solution bagi semua pihak dan
dapat terwujud pada tahun 2015, sepuluh tahun setelah kasus Leuwigajah,
bencana terbesar TPA sampah di Asia Tenggara. *