• L3
  • Email :
  • Search :

28 Januari 2019

Debat Kedua Pilpres 2019: Pangan Energi Air, dll

Debat Kedua Pilpres 2019: Pangan, Energi, Air, dll
Oleh Gede H. Cahyana

(Tulisan berikut adalah tema debat calon presiden pada 17 Februari 2019, yaitu pangan, energi, air (SDA), lingkungan hidup, dan infrastruktur).

*** 
Pasal 33 UUD 1945 adalah modal konstitusional bangsa Indonesia dalam ekonomi dan ekologi. Inilah pasal yang peduli pada kelestarian fungsi sumber daya alam (SDA): air, tanah, dan udara. Secara politis, pasal sosioekologis ini mendahului pidato terkenal senator Amerika Serikat, Gaylord Nelson, di Seattle tahun 1969. Pidato bertema advokasi lingkungan ini disambut antusias rakyat Amerika Serikat sehingga ditetapkan menjadi Earth Day pada tanggal 22 April 1970.

Di Indonesia, wanti-wanti agar kita peduli lingkungan sudah dirilis oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 sudah mengingatkan pemerintah Orde Baru bahwa akan terjadi booming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau tidak arif dalam menyikapinya. Harus ada teknologi protektif (protective technology) atas lingkungan. Idenya itu dipublikasikan setahun sebelum Orde Baru membentuk Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Menneg KLH) pada tahun 1978.

Mengacu pada pasal 33 UUD 1945 tersebut, ada tiga poin penting dalam visi misi Prabowo–Sandi, yaitu: (1) Swasembada pangan, (2) Swasembada energi, (3) Swasembada air bersih, (selain (4) Lembaga pemerintahan yang kuat, (5) Angkatan perang/tentara yang kuat). Tiga hal pertama, yaitu pangan, energi, dan air, biasa disebut FEW: Food, Energy, Water selalu terkait dengan SDA, hutan, iklim global, industrialisasi, dan kebencanaan (gempa, tsunami, letusan gunung, topan, banjir, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, dst).

Air Minum
Bumi adalah planet yang kaya air. Biasa disebut Planet Air. Tak kurang dari 70% diliputi air. Mayoritas berupa air laut (97,3%). Sisanya adalah air tawar di sungai, danau, waduk, kolam, air tanah, es, salju, gletser, dst. Air tawar menjadi sumber air baku untuk air minum, industri, dan kebutuhan perkotaan. Tetapi potensi air tawar ini terus berkurang. Terjadi krisis air minum pada musim kemarau di banyak kabupaten di Indonesia. Sungai, danau, waduk, embung menyusut airnya, bahkan ada yang kering.

Itu sebabnya, pemerintah harus menggiatkan pembuatan embung, waduk, dan sistem storasi lainnya. Pada saat yang sama, melaksanakan konservasi daerah tangsap (tangkap dan resap) air hujan, dan menghutankan kembali bukit dan gunung yang gundul. Daerah bekas hutan ini jangan diganggu sehingga secara alamiah bisa menjadi hutan kembali dalam jangka waktu 25 tahun. Cara ini untuk memulihkan daya dukung lingkungan yang terus berkurang akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan ledakan jumlah penduduk dan kurangnya lapangan kerja di desa dan kota.

Di bidang teknologi pengolahan air minum, bisa dikatakan bahwa PDAM sudah mampu mengolah air dengan cara yang baik dan benar. Air sungai yang keruh sudah bisa diubah menjadi air minum. Air lautpun sudah bisa dijadikan air tawar yang layak diminum. Hanya saja, investasi dan biaya operasi-rawatnya masih mahal. Perlu terus diperluas riset dan terapan teknologi yang murah tetapi tepat guna untuk masyarakat desa, petani, nelayan, dan penduduk permukiman kumuh (slum area) di kota-kota besar.

Air Limbah
Mayoritas air minum atau air bersih akan berubah menjadi air limbah. Tak kurang dari 85% air minum berubah menjadi air limbah. Apabila satu orang menggunakan 100 liter air perhari untuk minum, mandi, cuci, kakus, maka yang dibuang adalah 85 liter perhari. Volume air limbah ini bervariasi menurut lokasi geografis (tropis, subtropis), topografis (gunung, pantai), budaya, agama, pendidikan, dan status ekonomi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa pernah mengangkat isu air limbah dalam peringatan Hari Air Dunia (World Water Day) tanggal 22 Maret 2017. Isu ini untuk melindungi kesehatan masyarakat, mencegah perusakan sumber daya lingkungan dan degradasi perairan akibat kontaminasi air limbah. Hingga saat ini mayoritas air limbah domestik dibuang langsung ke badan air atau diresapkan ke dalam tanah. Begitu juga air limbah industri, menyebar dan mencemari tanah dan air, sekaligus kehilangan sumber nutrien dan zat kimia yang masih bisa dimanfaatkan lagi. Paradigma “olah-buang” ini hendaklah diubah, bahwa air limbah bernilai tambah, baik air limbah tinja (black water, septic water) maupun air limbah cucian (grey water). Keduanya bisa digunakan untuk produksi pupuk, siram tanaman, halaman ruang terbuka hijau, air pendingin dan irigasi.

PBB sudah mendeklarasikan bahwa akses terhadap air minum dan sanitasi (air limbah) adalah Hak Asasi Manusia (HAM) dan didukung oleh 122 negara pada September 2010. Banyak negara di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Selatan yang berkutat dengan kesulitan air minum dan keburukan sistem sanitasi air limbah. Di Indonesia, menurut Kementerian PUPR, tingkat layanan total pengelolaan air limbah kurang lebih 56%. Ini pun dalam mutu pengelolaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang belum optimal, baik secara biaya ekonomi maupun efisiensi unit operasi dan prosesnya. IPAL sistem setempat (on-site) di wilayah perkotaan Indonesia sekira 72% sedangkan sistem terpusat (off-site) 2,33% di 11 kota di Indonesia. Adapun di perdesaan, dengan menggunakan jamban pribadi dan fasilitas umum mencapai 33%.

Untuk peningkatan kualitas layanan dan kualitas infrastruktur dan suprastrukturnya, maka integrasi perencanaan (planning), perancangan (designing), pembangunan (constructing), supervisi (supervising), operasi dan perawatan (operation – maintenance) perlu dikoordinasikan sejak awal sebuah projek dengan melibatkan berbagai kementerian dan dinas terkait. Tujuannya ialah ekoefisiensi, yaitu kombinasi efisiensi ekologi dan efisiensi ekonomi. Kita juga harus meniru perilaku alam yang tidak pernah menghasilkan limbah. Limbah adalah sisa produksi yang harus bisa dijadikan bahan baku oleh proses produksi lain dengan cara daur ulang dan daur guna. Waste for one is added value for another.

Reboisasi Hutan
Ada ungkapan yang menarik minat ahli lingkungan dan kehutanan, “Banyak orang yang tahu tentang bulan tetapi tidak tahu luas hutan di Bumi,” Ini adalah komentar Persson pada tahun 1974. Begitu juga ungkapan mantan Sekretaris Jenderal PBB, U Thant, "Hari Bumi adalah momentum penting untuk mengingatkan kita bahwa planet ini sangat kecil dan rapuh."

Hutan tumbuh di permukaan Bumi. Sebuah planet air yang rapuh. Dengan luas darat yang hanya 30%, dan di antara luasan itulah tumbuh hutan-hutan yang terus berkurang. Padahal fungsi hutan adalah menaikkan resapan air hujan, mengisi reservoir air tanah atau akifer untuk cadangan air pada musim kemarau. Juga mengurangi limpasan air, mengurangi risiko banjir bandang. Menjaga kesetimbangan debit air pada musim hujan dan musim kemarau. Hutan juga bisa sebagai pengatur iklim. Tetapi ini rusak karena kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.  

Kebakaran hutan kerapkali terjadi di dua pulau besar tersebut. Satelit NOAA sering memantau ratusan titik panas (hot spot) di pulau tersebut. Yang dikatakan titik itu hakikatnya bukan noktah tetapi bentang api yang luas. Temperatur udara luar mencapai 38C dengan rentang jarak 200 -500 m saja! Visibilitas berkurang dan membahayakan tranportasi darat, laut dan udara. Kecelakaaan dapat saja terjadi sewaktu-waktu. Polusi asap bahkan bisa sampai ke Malaysia dan Singapura. Kebakaran hutan adalah cause célèbre, kejadian besar yang melawan konsep ecodevelopment, merugikan ekonomi dan kesehatan rakyat. Juga mempercepat pemanasan global. 

Survivalitas hutan bergantung pada kontrol dan regulasi. Berbagai kebijakan yang tertuang di dalam perundang-undangan harus dijamah dan ditegakkan (enforcement) untuk mewujudkan penaatan hukum. Diperlukan penaatan hukum yang kreadibilitasnya tinggi dengan peraturan yang jelas dan tegas. Ada konsistensi sanksi, adil dan ada kemauan penguasa dan pengusaha. Setiap keputusan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan sosioekologi karena masyarakat selalu terpojok menderita social cost yang besar berkaitan dengan kesehatan, pendidikan, kenyamanan hidup.

Iklim Global
Pesat sekali pertumbuhan penduduk Bumi. Tahun 1950-an hanya 2,5 miliar orang. Dalam tempo 55 tahun menjadi 6,2 miliar orang. Pada akhir 2007 6,5 miliar orang dan 1,5 miliar berada di bawah garis kemiskinan. Satu miliar di antaranya hidup di negara berkembang. Dekade lalu, dengan populasi hanya 20% dari populasi total, negara maju mengonsumsi 80% kayu hutan. Konsumsi satu bayinya setara dengan 15 bayi di negara miskin. Negara kaya pun membuang limbah terbanyak, mencapai 90%, termasuk limbah B3 dan melepas 90% CFC (chlorofluorocarbon), senyawa pelubang lapisan ozon. Kondisi terkini tentu jauh lebih parah. 

Parahnya lagi, karbondioksida (CO2) terus bertambah akibat penggunaan BBM, zat kimia dan penebangan hutan. Pertahun saja, 1% hutan tropis di Bumi ini lenyap sehingga mereduksi fotosintesis yang berdampak pada kenaikan temperatur Bumi. Tibet yang biasanya dingin misalnya, temperatur udaranya pernah mencapai 25 derajat Celcius selama 23 hari. Permukaan air laut pun naik di Kep. Bermuda, Hawaii, Fiji dan pencairan gunung es Gangotri, India dan es di Peg. Andes di Peru. Bukti lainnya, dekade terpanas terjadi pada akhir abad ke-20, yaitu tahun 1990-an dan tahun terpanasnya ialah tahun 1998, 2001, dan 2005.

Kalau pemanasan itu terus berlanjut, pada tahun 2100 diduga muka air laut naik antara 15 – 95 cm sehingga pulau-pulau kecil tenggelam, pantai menyempit, intrusi makin jauh ke darat. Di Jakarta, intrusi bahkan sudah mencapai Monas. Selanjutnya terjadi reduksi luas pulau sehingga timbul masalah demografi dan gangguan kesehatan seperti malaria, demam berdarah, filariasis, flu burung, SARS (pernapasan akut). Juga memicu gelombang panas yang jauh lebih ganas dan makin luas paparannya, seperti kejadian di kawasan Amerika- Eropa. Badai Noel, topan Katrina, puting beliung terjadi di mana-mana di Indonesia.

Pola hujan dan salju pun berubah, mengubah pola siklus hidrologi, mengganggu suplai air bersih. Intrusi mengasinkan sumur, memperluas krisis air. Karena terjadi ledakan jumlah penduduk, muncullah ancaman krisis pangan sehingga makin luaslah eksploitasi lahan baru di gunung, bukit, hutan, dan dataran banjir. Semuanya terpaksa dieksploitasi demi penyediaan kebutuhan pangan. Di satu daerah terjadi banjir pantai, di daerah lain justru kekeringan. Hadirlah paradoks iklim dan cuaca di seluruh dunia. Keragaman hayati berkurang, spesiesnya punah, gagal panen dan kelaparan meluas. Yang paling menderita tentu saja masyarakat miskin.

Siapa yang bertanggung jawab atas Global Warming? Tentu saja semua negara! Namun, jika dikaitkan dengan CO2, maka yang paling bertanggung jawab ialah negara industri karena merekalah yang terbanyak mengemisi CO2. Sekadar contoh, emisi orang Amerika Serikat (AS) lima kali lebih besar daripada orang Meksiko, bahkan 19 kali lebih besar daripada orang India. Walaupun hanya 20% orang tinggal di negara maju tetapi kontribusinya 63% dari total emisi. Memang betul, kalau dihitung berdasarkan negara, maka Cinalah emitor terbesar lantaran jumlah penduduknya terbanyak. Namun secara individu emisi tujuh orang Cina setara dengan satu orang AS.

Selain Global Warming, efek yang juga riskan ialah hujan asam (hujas) atau acid rain, acid deposition. Menurut Gorham, dengan kadar 0,03% CO2 dari seluruh gas atmosfer maka derajat keasaman air hujan sekitar 5,7. pH-nya turun karena ada tambahan asam dari asam nitrat dan asam sulfat dengan sumber SO2 dan NOx. Sebetulnya, potensi Global Warming oleh CO2 tidaklah besar. Metana 21 kali lebih besar daripada CO2. CFC malah 7.300 kali lebih besar daripada CO2. Hanya saja, karena kadar CO2 sangat banyak maka gas inilah yang paling besar kontribusinya pada Global Warming, yaitu 50%. Sumber gas rumah kaca itu ialah BBM (57%), CFC 17%, pertanian 14%, dan penebangan hutan 9%.  

Opsi Solusi
Ada sejumlah upaya tindak yang dapat dilakukan. Yang pertama, mengurangi emisi CO2, mengurangi penebangan hutan (legal dan illegal). Menghentikan produksi CFC lalu menggantinya dengan zat kimia ramah lingkungan. Mereduksi emisi metana dari sawah dengan mengurangi rendaman jerami, kurangi pembakaran biomassa, hindari pembakaran sampah (insinerasi, PLTSa: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dengan cara pembakaran sampah, bisa dimodifikasi dengan gasifikasi yang relatif lebih bersahabat dengan lingkungan, tetapi tetap dengan kalkulasi yang tepat dan taat asas dalam operasinya), termasuk kurangi pemakaian pupuk kaya nitrogen.

Sebaliknya, giatkan proses fotosintesis, tarutama padi. Absorbsi CO2 oleh padi akan meningkatkan produksi beras sekaligus mereduksi Global Warming. Ada riset di Jepang yang menyatakan pemberian CO2 sebanyak 700 ppmv (sekitar 200% kadar CO2 di udara) dapat menaikkan produksi 20 – 30%. Ini dicoba oleh periset di Shizukuishi, Iwate Prefecture Jepang dan dinamai The Rice Face. FACE (Free-Air CO2 Enrichment) adalah pembubuhan CO2 ke sawah tanpa mengubah ekosistemnya. Yang dapat ditempuh juga ialah perluasan penggunaan sumber energi angin (bayu, PLTB) seperti di Nusa Penida, energi surya (PLTS), dan energi air (PLTA) dan mikrohidro, serta energi hayati (nabati, bioenergy). Intinya adalah energi baru yang terbarukan (renewable energy). Inilah potensi sumber energi masa depan dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi.

Mitigasi Bencana
Tsunami sunyi akibat runtuhan lereng Gunung Anak Krakatau yang menerjang pantai barat Banten adalah bencana yang patut disesalkan. Bukan lantaran kejadiannya tetapi karena pemerintah (BMKG) seolah-olah kehilangan jati diri. Gamang dalam bertindak, plin-plan orang bilang. Begitu pula di Palu, di Lombok, dan beberapa bencana banjir dan tanah longsor di berbagai daerah. Bantuan pemerintah belum optimal dan banyak warga kecewa. Adapun tsunami yang diakibatkan oleh gempa sudah bisa diduga dan diprediksi, bahkan bisa diketahui perkiraan waktu tempuh gelombang smong tersebut ketika menghempas pantai. Gunung meletus juga bisa diduga dengan alat seismograf dan alat lainnya. Begitu juga banjir bandang dan kemungkinan angin topan yang menghantam suatu daerah.

Perihal gempa, walaupun sulit dideteksi, ada sejumlah indikasi yang dianggap mengawali gempa. Misalnya, emisi gas radon dari sumur-sumur, kenaikan abnormal muka tanah, hewan air dan darat berperilaku aneh dan panik. Tingkah hewan ini menyiratkan gempa akan terjadi beberapa saat lagi. Khusus untuk anomali kenaikan muka tanah, mari dilihat kasus di Niigata, Jepang. Proses gempa sudah dimulai sepuluh tahun sebelum hari H. Muka tanah di daerah pantai Nezugasaki di Timur Laut Niigata naik setinggi 12 cm lalu turun lagi menjadi 8 cm sebelum terjadi gempa. Begitu pun di sepanjang pantai Selatan dari Nezugasaki menuju Niigata. Sedangkan di Selatan Niigata, muka tanahnya justru turun antara 4 sampai 12 cm. Akhirnya, pada 1964 terjadilah gempa yang episenternya di Laut Jepang, di dekat Pulau Awashima sekuat 7,5 skala Richter.

Untuk upaya peringatan dini, pengembangan ilmu dan teknologi dengan meningkatkan riset kompetitif di bidang mitigasi kebencanaan menjadi opsi utama. Pemerintah harus memberikan prioritas pada temuan baru, baik novelty maupun invention, dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada dosen dan peneliti yang terus berkutat dengan tema penelitian kebencanaan. Tepat apabila pemerintah baru nanti, seperti spirit yang disampaikan oleh Pak Prabowo Subianto bahwa beliau akan membentuk dan memapankan Kementerian Mitigasi dan Kebencanaan atau apapun nanti nomenklaturnya, akan fokus pada penyiapan masyarakat dan pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi bencana dan upaya tindak cepat dalam penanggulangannya.

Semoga sukses Bapak Prabowo dan Bang Sandiaga sebagai presiden dan wakil presiden harapan rakyat Indonesia demi perubahan ke arah yang lebih baik, menuju Indonesia adil dan makmur. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar