Pembubaran BPPSPAM, Revitalisasi
Cipta Karya Kementerian Dalam Negeri
Oleh
Gede H. Cahyana
Pengamat
Air Minum dan Sanitasi, Universitas Kebangsaan
Diterbitkan
di Majalah Air Minum, Agustus 2020, edisi 299
Pada
tanggal 20 Juli 2020 Presiden Jokowi mengumumkan Peraturan Presiden No. 82/2020
tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Isinya
beberapa macam termasuk pembubaran 18 badan, tim kerja, satuan tugas, komite. Satu
di antara lembaga yang dibubarkan adalah BPPSPAM (Badan Peningkatan
Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum).
Sejarah
Pada
tahun 1999 Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 47/1999 tentang
Pedoman Penilaian Kinerja PDAM. PDAM berada di bawah Depdagri dan secara teknis
dibina oleh Departemen Pekerjaan Umum dan sebagai “pemilik” adalah kepala
daerah (gubernur, bupati, walikota). Spirit evaluasi kinerja menguat pada
suasana eforia reformasi, tidak hanya evaluasi aspek keuangan PDAM tetapi juga aspek
operasional dan administrasi seiring dengan pemberlakuan Undang-Undang No.
29/1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan Undang-Undang No.
8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pembenahan
PDAM terus berlangsung meskipun lamban. Banyak pihak (eksekutif, legislatif,
yudikatif) yang “membasahkan” diri di dalamnya. Antara tahun 2001 – 2004
kondisi PDAM masih menyedihkan. Hanya 10% yang sehat; 90% kurang sehat dan
sakit (Sumber: PDAM Bangkrut? Awas Perang Air, 2004). Lantas lahir UU No. 7/2004
tentang Sumber Daya Air. Waktu itu masyarakat dan akademisi memberikan koreksi
pada naskah akademik undang-undang tersebut. Namun konten pasal demi pasal
menjadi hak DPR. Timbul gugatan yang didaftarkan ke Mahkamah
Konstitusi. Hasilnya, Mahkamah Konstitusi menguatkan eksistensi UU No. 7/2004 dalam
kondisi dua hakim yang dissenting opinion.
Setelah itu lahirlah enam
peraturan pemerintah yang mengacu pada UU SDA, di antaranya PP No. 16/2005 tentang
Badan Penyelenggara SPAM. Pada saat itu Indonesia ikut dalam Deklarasi
Millenium, yaitu Millenium Development
Goals (MDG’s) oleh 189 negara
dengan delapan tujuan yang harus dicapai sebelum 2015. Air minum menjadi subbagian
dari tujuan itu. Dengan
landasan PP No. 16/2005 tersebut
dibentuklah BPPSPAM. Landasan hukum
pelaksanaan penilaian kinerja PDAM dirilis tahun 2010, yaitu di dalam SK Ketua
BPPSPAM No. 002/KPTS/K-6/IV/2010 tentang Penilaian Kinerja Pelayanan
Penyelenggaraan Pengembangan SPAM pada PDAM.
Dalam
kurun satu dekade itu kegiatan yang berkaitan dengan air minum dan PDAM menjadi
booming. Ditjen Cipta Karya merilis
proyek RISPAM (Rencana Induk SPAM), advisory
SPAM, konstruksi IPAM, idle-capacity,
embung, dll. Begitu juga dinas di provinsi dan kabupaten/kota. BPPSPAM juga melaksanakan
penilaian kinerja PDAM, meningkatkan kinerja PDAM dan memberikan rekomendasi
kepada pemerintah pusat dan daerah. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus
meningkat.
Sampailah
pada Februari 2015 ketika Mahkamah Konstitusi merilis keputusan tentang
pembatalan UU SDA. Esensi pembatalan berkenaan dengan privatisasi (penswastaan)
air minum dan penguasaan negara atas air. Pemerintah kembali ke UU No. 11/1974
tentang Pengairan. Akibatnya semua peraturan turunan UU SDA dibatalkan sehingga
BPPSPAM pun demisioner. Agar pembangunan sektor air minum terus berlangsung
maka lahirlah PP No. 122/2015 tentang Sistem PAM yang pasal 37-nya dijadikan
acuan oleh Peraturan Presiden No. 90/2016 untuk membentuk BPPSPAM.
BPPSPAM
beraktivitas kembali. Kemudian hadir PP No. 54/2017 tentang BUMD. Kementerian
Dalam Negeri lantas menerbitkan modul dan materi teknis perihal penilaian
kinerja PDAM pada tahun 2018. Materi inilah yang digunakan untuk menilai
kinerja PDAM. Yang terakhir adalah kelahiran kembali UU SDA, yaitu UU No.
17/2019 sebagai penegasan pasal sosioekologi: pasal 33 UUD 1945.
Kinerja
Kinerja
PDAM adalah tingkat keberhasilan pengelolaan PDAM dalam satu tahun buku
tertentu. Indikator adalah tolok-ukur tingkat keberhasilan suatu aspek. Ada empat
aspek penilaian kinerja, yaitu keuangan, pelayanan, operasional, dan sumber
daya manusia yang terdiri atas 18 indikator. Pada akhir tahun 2019 BPPSPAM
mengeluarkan Buku Kinerja BUMD Penyelenggara SPAM 2019.
Saat
ini ada 416 kabupaten dan 98 kota sehingga diasumsikan jumlah PDAM pun sekian. Jumlah
PDAM yang dinilai tahun 2019 adalah 380 unit. Tahun 2018 sejumlah 374 unit dan
tahun 2017 sejumlah 378 unit. Ada penambahan jumlah PDAM sehat, ada pengurangan
PDAM sakit. Dari 380 PDAM yang dievaluasi diperoleh 224 PDAM sehat (58,95%),
102 PDAM kurang sehat (26,84%), dan 54 PDAM sakit (14,21%). Dibandingkan dengan
tahun 2004 ada kenaikan PDAM sehat hampir 50% dalam waktu 15 tahun.
Apabila
dianalisis, BPPSPAM memiliki tiga aktivitas, yaitu tracing, testing, treating. Tracing
adalah menelusuri, melacak kondisi PDAM di seluruh Indonesia. Dari semua PDAM,
mayoritas berpelanggan di bawah 50.000 SL atau 88%. Pelanggan antara 20.000 –
50.000 SL sejumlah 104 PDAM (28%). Antara 10.000 – 20.000 SL sejumlah 99 PDAM
(26%). Pelanggan kurang dari 10.000 SL sejumlah 129 PDAM (34%). BPPSPAM bisa
berperan besar untuk peningkatan kinerja PDAM kecil tersebut.
BPPSPAM
juga melaksanakan testing, menguji
atau menilai PDAM apakah sudah memenuhi 18 indikator yang ditetapkan. Dalam
prosesnya dilibatkan tim dari BPKP. Penilaian ini meliputi inventarisasi data,
penyelarasan data, dan penetapan kinerja. Dari hasil penilaian kinerja ini
lantas dilaksanakan treating, yaitu
memperbaiki PDAM. Yang sehat diupayakan nilai kinerjanya naik. Yang kurang
sehat dipandu agar sehat, yang sakit dibimbing agar menjadi kurang sehat atau
sehat. Tahap treating adalah kaizen (continuous quality improvement),
perbaikan kualitas sinambung.
Tentu
saja capaian kinerja PDAM bukanlah kinerja BPPSPAM semata. Ada kontribusi stakeholders seperti kepala daerah,
DPRD, internal PDAM, masyarakat (pelanggan), dan swasta. Juga peran Kementerian
Dalam Negeri dan Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR. Peningkatan kinerja PDAM
bukanlah one department show. Namun
demikian, BPPSPAM sebagai leading sectordi lapangan. Lantas mengapa BPPSPAM dibubarkan?
Ada
tiga parameter, yaitu keefektifan (effectiveness),
efisiensi, dan outcome. Bisa diduga
dalam lima hari terakhir sebelum pembubaran ada evaluasi mendadak dengan tiga
parameter tersebut. Keefektifan bisa dinilai dari peningkatan jumlah PDAM sehat
atau dari nilai kinerjanya. Efisiensi dianalisis dari penggunaan anggaran
terhadap anggaran yang tersedia yang dikaitkan dengan outcome, yaitu manfaat yang diperoleh insan PDAM dan dampak yang
dirasakan oleh pelanggan di 380 PDAM. Untuk poin terakhir ini, dari mana Kantor
Staf Presiden memperoleh datanya? Apakah Menteri PUPR berupaya mempertahankan
lembaga tersebut?
Akhir
kata, boleh jadi alasan utama bukanlah karena kinerja BPPSPAM (misalnya divonis
buruk oleh presiden dan KSP) melainkan karena prioritas alih-guna anggaran
akibat wabah Covid-19. Bisa juga untuk revitalisasi Ditjen Cipta Karya
Kementerian PUPR dalam membina PDAM bersama Kementerian Dalam Negeri seperti pada
masa Orde Baru. Back to basic.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar