Flotasi vs Sedimentasi
Oleh Gede H. Cahyana
Format pdf bisa unduh di sini.
Majalah Air Minum edisi 167, Agustus 2009 sudah memuat tulisan tentang unit operasi sedimentasi. Pada edisi kali ini akan dibahas unit operasi yang mekanisme penyisihan (removal) zat padat (solid) penyebab kekeruhan berlawanan dengan mekanisme pada sedimentasi, yaitu flotasi. Di dalam bahasa Inggris ada yang menulis istilah ini dengan floatation; float = apung, ada juga yang menuliskannya dengan flotation. Keduanya bisa digunakan dan merujuk pada makna yang sama.
Sedimentasi adalah unit operasi di dalam IPAM untuk menjernihkan (clarification) air dengan cara memanfaatkan gaya tarik bumi untuk mengendapkan partikel padat (solid) sehingga bisa dipisahkan dari air (water) atau cairan (liquid). Zat padat tersebut antara lain lempung, lanau, pasir, grit atau dengan istilah umum adalah koloid, suspended solid dan coarse solid. Termasuk partikel flok (flocc particle). Semua zat padat atau flok yang berat jenisnya lebih besar daripada berat jenis air (atau cairan) akan mengendap dalam waktu tertentu. Waktu yang dibutuhkan untuk mengendap bergantung pada ukuran partikel dan posisi tinggi rendahnya partikel dari dasar bak sedimentasi.
Kebutuhan waktu untuk sampai ke dasar bak sedimentasi juga dipengaruhi oleh bentuk (shape factor) permukaan partikel dan ada tidaknya arus pendek air, pusaran air, tiupan angin, atau gaya-gaya lainnya yang bekerja pada partikel. Bentuk persegi panjang dan bentuk lingkaran juga berpengaruh pada waktu pengendapan partikel. Luas bak sedimentasi pun berpengaruh pada waktu pengendapan partikel. Bak yang luas berpotensi memperlama partikel terombang-ambing di dalam air sehingga butuh waktu lama untuk sampai di dasar bak. Konfigurasi jumlah, bentuk, dan sebaran zone inlet dan zone outlet juga berpengaruh pada kebutuhan waktu pengendapan partikel. Unit sedimentasi memang tampak sederhana dan airnya tampak tenang tetapi justru memiliki banyak parameter yang harus dipertimbangkan dalam desainnya agar optimal dalam penyisihan partikel dan flok setelah unit tersebut dibangun.
Namun faktanya, sampai sekarang unit sedimentasi memang lebih banyak digunakan dan lebih populer di PDAM atau Perumdam dibandingkan dengan flotasi. Tidak banyak IPAM yang menggunakan flotasi dalam pengolahan air baku PDAM. Adakah PDAM yang memiliki unit flotasi dalam pengolahan airnya? Semoga ada PDAM yang memberikan informasi ini sehingga bisa dijadikan objek studi lapangan. Sesungguhnya dalam kajian objektif, flotasi memiliki daya saing yang kompetitif terhadap sedimentasi.
Pada kondisi kualitas air baku tertentu, misalkan kekeruhan rendah yang didominasi oleh koloid justru lebih optimal menggunakan flotasi daripada sedimentasi. Flotasi tidak membutuhkan koagulan, tidak membutuhkan unit koagulasi dan flokulasi seperti pada sedimentasi. Terlebih lagi apabila air baku PDAM berasal dari sungai yang digunakan untuk transportasi kapal seperti sungai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi yang kerapkali kapal-kapal membuang air bilge atau dari ceceran minyak dan oli maka flotasi sangat tepat digunakan. Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, begitu peribahasanya.
Secara alamiah, di dalam unit sedimentasi aliran horizontal juga bisa terjadi fenomena flotasi, yaitu ketika air baku berisi minyak, lemak, deterjen, dan zat lainnya yang berat jenisnya lebih ringan daripada air secara otomatis terapung di permukaan bak sedimentasi. Oleh sebab itu, sepatutnya unit sedimentasi dilengkapi dengan alat pengumpul (skimming devices) untuk memisahkan material apungan di permukaan airnya. Apabila air baku PDAM berpotensi terpolusi oleh minyak, deterjen, lemak maka sedimentasi wajib dilengkapi dengan skimming devices dan harus dioperasikan dengan baik, benar dan kontinyu. Apabila tidak dilengkapi maka akan menjadi beban berat bagi filter. Air supernatan (air di permukaan bak sedimentasi) mengalir ke filter bersama lemak, minyak, deterjen dan suspensi lainnya.
Air supernatan tersebut akan mempercepat filter tersumbat (clogging) sehingga harus lebih sering dicuci (backwash) yang artinya makin banyak air produksi digunakan untuk mencuci filter. Material apungan tersuspensi tersebut juga menimbulkan bau busuk akibat proses biodegradasi di dalam air. Akibatnya air filtrat yang masuk ke reservoir menjadi berbau tidak sedap. Memang ada kaporit atau gas chlor yang diinjeksikan di dalam reservoir. Senyawa halogen (chlorine) tersebut mampu mengoksidasi zat organik penimbul bau busuk. Tetapi ada potensi bahaya lainnya, yaitu timbulnya senyawa karsinogenik yang diindikasikan menjadi pencetus kanker, yaitu PAH (polyaromatic hydrocarbon), THM (trihalomethanes), dan organo-chlorine, organo-phosphorous.
Semua kejadian buruk pada sedimentasi tersebut di atas sampai berpengaruh pada filter dan reservoir tidak akan terjadi apabila yang digunakan sebagai unit penjernih adalah flotasi. Sebab, air yang akan dialirkan ke unit selanjutnya, yaitu filter adalah air bawah atau subnatan, bukan supernatan seperti di unit sedimentasi. Air subnatan hampir 99,99% bebas dari lemak, minyak dan semua material ringan lainnya. Adapun sabun dan deterjen bisa dikurangi signifikan apabila terbentuk emulsi dengan zat cair dan zat padat lainnya di dalam air. Flotasi juga bisa menaikkan pH air karena adanya aerasi intensif sedangkan pada sedimentasi justru pH menjadi rendah karena adanya proses koagulasi-flokulasi terutama yang menggunakan koagulan alum sulfat dan PAC.
Flotasi juga mampu menyisihkan zat padat penyebab kekeruhan yang berat jenisnya lebih besar daripada berat jenis air. Hal ini bisa terjadi dengan cara penerapan hukum Archimedes dengan memperbesar volume partikel dengan gelembung udara. Agar gelembung udara tidak mudah pecah maka ukurannya harus sekecil-kecilnya. Makin kecil ukuran gelembung udaranya maka makin banyak gelembung udara yang bisa menempel di permukaan partikel sehingga makin kuat gaya apungnya. Proses perlekatan gelembung udara di permukaan partikel bisa dilakukan dengan beberapa cara, yaitu flotasi dengan udara terdispersi (disperssed-air flotation), flotasi dengan udara terlarut (dissolved-air flotation), flotasi vakum (vacuum flotation).
Di dalam pengolahan air baku untuk air minum, unit flotasi dengan udara terlarut lebih layak digunakan karena lebih efektif daripada metode flotasi lainnya. Penyisihan kekeruhan nyaris sempurna, tanpa perlu zat kimia koagulan, zat pengatur pH atau zat kimia conditioning lainnya. Namun metode lainnya juga banyak digunakan tetapi biasanya untuk pengolahan air limbah. Pilihan metode lain ini karena alasan lebih murah dan mudah dalam operasi dan perawatannya. Namun keefektifannya di bawah flotasi dengan udara terlarut tersebut.
Sebagai contoh adalah unit grease trap atau bak penangkap lemak-minyak yang banyak digunakan di restoran, rumah sakit, dan hotel. Grease trap bentuknya sederhana saja, ada bagian inlet, trap, dan outlet. Fenomena yang terjadi di grease trap adalah flotasi alamiah. Fungsinya lebih pada penyisihan lemak dan minyak. Tetapi zat padat penyebab kekeruhan apabila ada juga bisa ikut terlekat di dalam emulsi minyak-lemak sehingga bisa disisihkan juga.
Begitu juga flotasi jenis tilted plate separator yang digunakan di kapal laut. Unit pemisah minyak ini memiliki pelat miring seperti halnya unit sedimentasi yang menggunakan plate atau tube settler. Pengapungan memisahkan minyak yang tercampur dengan air bilge (bilge water) di dalam kapal. Pelat miring dilewati oleh air yang sudah berkurang minyaknya. Air bilge tidak hanya berisi minyak tetapi juga oli, limbah domestik, zat kimia pembersih, karat, logam, bakteri, debu, jelaga, dll. Fenomena yang terjadi adalah flotasi alamiah.
Ada beberapa unit lagi yang memanfaatkan fenomena flotasi, yaitu aerated skimming tank, rectangular horizontal flow tank yang biasa digunakan di kilang minyak (refinery). Untuk bahasan tentang perbandingan antara flotasi dan sedimentasi dicukupkan hingga di sini. Tulisan ini dilanjutkan pada MAM edisi berikutnya dan akan membahas khusus flotasi dengan udara terlarut, sebuah unit operasi yang kompetitif terhadap sedimentasi tetapi tanpa zat koagulan, tanpa perlu unit proses koagulasi dan flokulasi.*