Gede H. Cahyana
Pelajaran matematika diberi perhatian khusus oleh Presiden Prabowo yang disampaikan kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. Abdul Mu’ti. Poin ini adalah cita-citanya untuk menguatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang dimulai sejak prasekolah atau pendidikan anak usia dini (PAUD). Murid dikenalkan pelajaran matematika atau berhitung sedini mungkin karena pelajaran ini bermanfaat luas dalam aktivitas hidup manusia.
Matematika adalah landasan untuk pengembangan ilmu dan teknologi. Matematika yang mulai dikenalkan di tingkat prasekolah kemudian diajarkan di SD, SMP hingga SMA akan menjadi fondasi kuat dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Dalam pidato, Prabowo kerapkali menyebut matematika dan ilmu pengetahuan alam (MIPA), yaitu astronomi, geofisika, meteorologi, fisika, kimia, biologi, ekologi, sosioekologi, dan farmasi.
Hal tersebut menjadi landasan pembagian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi menjadi Kementerian Kebudayaan, Kementerian Dikdasmen, dan Kementerian Dikti Sainstek. Idealnya pendidikan tinggi menghasilkan ilmu baru (sains) dan teknologi baru minimal dalam wujud kebaruan (novelty) sehingga tepatlah pendidikan tinggi digabungkan dengan sains dan teknologi.
Merujuk pada sejarahnya, pada masa Orde Baru ada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dep. P & K atau Depdikbud). Pada masa reformasi istilah departemen diubah menjadi kementerian. Nomenklatur kementerian di bidang pendidikan ini terus berubah-ubah di setiap penggantian presiden. Pernah berisi istilah riset dan kini berisi istilah sain atau sains (dgn huruf s, science). Pemisahan menjadi tiga kementerian di dalam Kabinet Merah Putih tersebut, menurut informasi di media massa, adalah agar lebih fokus dalam membangun setiap objek tugas pokok dan fungsi kementerian di bidang pendidikan untuk menguatkan kualitas ilmu dan teknologi rakyat Indonesia.
Sudah terbukti bahwa strata pendidikan dapat mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat dan kesejahteraannya. Cina misalnya, pada tahun 2021 mampu mereduksi secara signifikan kemiskinan ekstrem karena pemerintah sukses membangun kualitas pendidikan warganya, membangun infrastrukturnya, dan membantu penguatan ekonomi warga negaranya. Pendidikan telah terbukti meningkatkan kualitas sumber daya manusia negara tirai bambu tersebut.
Sumber daya manusia Indonesia jauh tertinggal. Mengutip data BPS (2020), tenaga kerja Indonesia sekitar 40% (50 juta orang) adalah lulusan SD. Ada 23 juta orang yang tamat SMP. Hanya 12 juta orang dari 128 juta angkatan kerja (usia di atas 15 tahun) yang lulus kuliah. Parahnya lagi, menurut Bank Dunia, 55% orang Indonesia buta-huruf fungsional (functionally illiterate), yaitu bisa membaca tetapi gagal memahami bacaan (gagal paham).
Negara Vietnam lebih baik kondisinya, hanya 14% yang buta-huruf fungsional padahal produk domestik bruto (PDB) Vietnam di bawah Indonesia. Begitu pula kemampuan baca (tidak mampu memahami gagasan utama di dalam teks), matematika (tidak menguasai teori dasar dan tidak mampu menjelaskan kalkulasinya), dan sains (tidak mampu menerapkan ilmu ke bidang yang lebih baru) murid Indonesia berada di rangking 74 dari 79 negara yang disurvei PISA (2018).
Baru saja pengumuman kabinet diberitakan di televisi dan media massa lainnya lantas timbul silang pendapat tentang perubahan kurikulum. Faktanya memang setiap berganti menteri berganti pula kurikulum bahkan hingga ke perguruan tinggi. Sekarang disebut MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka), bahkan sudah dijadikan poin di dalam borang Lembaga Akreditasi Mandiri-Teknik (Lamtek).
Pergantian kurikulum biasanya mengubah nomenklatur dan struktur kurikulum. Yang paling merasakan dampaknya adalah guru, yayasan penyelenggara pendidikan, murid dan orang tuanya. Bahkan bisnis bimbingan belajar (bimbel) pun kena imbasnya. Tentu boleh mengubah sedikit atau banyak bahkan mengganti kurikulum. Perubahan dan penggantian demi perbaikan mutu SDM Indonesia agar menjadi kelas menengah di rangking PISA pada 100 tahun Indonesia merdeka tentu patut didukung.
Spirit pendidikan adalah mengurangi yang buruk dan meningkatkan kualitas yang sudah baik serta menambah hal-hal baru yang baik dan benar. Sisi buruk Kurikulum Merdeka tentu ada dan perlu dievaluasi untuk diperbaiki. Yang sudah baik dan berjalan di rel yang benar menurut kajian pakar pendidikan tentu layak dipertahankan kemudian ditingkatkan kualitasnya. Adapun yang sulit dilaksanakan dan problematis maka bisa diganti dengan yang lebih tepat dengan melibatkan kajian pakar pendidikan dan praktisi dunia kerja.
Esensi kurikulum adalah memberikan arah dan rel menuju kualitas manusia yang terdidik apik, adil, beradab, dan bertakwa. Caranya bisa berbeda-beda bergantung pada kondisi murid, guru, infrastruktur dan suprastruktur, serta peta-jalan pendidikan menuju 100 tahun Indonesia merdeka yang disepakati oleh pemerintah dan masyarakat.*