Setelah
Nahdlatul Ulama, akhirnya Muhammadiyah menerima tawaran pemerintah untuk
mengelola tambang. Landasan yuridis formalnya adalah Wilayah Izin Usaha Pertambangan
Khusus (WIUPK) yang termaktub di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25/2024 yang
berkaitan dengan pertambangan mineral dan batubara sebagai pengganti PP No.
96/2021. Dalam sejarah bangsa Indonesia pemberian izin konsesi tambang kepada
ormas (keagamaan) baru kali ini terjadi sehingga menuai polemik.
https://news.detik.com/kolom/d-7497961/berharap-maslahat-tambang-di-tangan-ormas-agama
Tanggapan
ormas ada dua: ada yang menolak (KWI, PGI, HKBP, NW) dan ada yang menerima,
yaitu NU dan Muhammadiyah. Pihak di luar ormas yang menolak antara lain elite
partai politik, tokoh agama, insan pers, LSM, hingga akademisi. Dianggap tidak
memiliki kompetensi dan keluar dari misi pokok sebagai ormas keagamaan adalah
dua argumentasi kalangan yang menolak. Bahkan beberapa organisasi di bawah
Muhammadiyah dan NU juga ada yang menolak, taerutama kalangan mahasiswa.
Apabila
diretas, ada tiga aspek utama dalam pertambangan, yaitu ekologi, ekonomi, dan
etika lingkungan. Ketiganya berkaitan tetapi faktanya selama ini penerima
konsesi lebih fokus pada aspek ekonomi dan melupakan ekologi dan etika seperti
pencemaran, transisi energi, dan kependudukan.
Hikmah
Ekologi
Elite
PBNU menerima konsesi tambang sebagai peluang ibadah sosial. Selama ini fikih ibadah
ritual lebih diutamakan dalam dakwah. Pilihan ritual ini pasti tepat lantaran
tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Namun demikian,
ibadah sosial ekonomi juga mampu meningkatkan kualitas ibadah ritual apabila
rambu hukum halal haramnya dijalani. Ibadah sosial yang sudah lama menjadi
gerakan ormas Islam adalah pendidikan. Kyai dan ulama memiliki ilmu halal haram
yang diajarkan di pendidikan formal, nonformal, dan informal. Adapun advokasi
masalah tataruang, konflik agraria dan krisis ekologi dilaksanakan oleh lembaga
bantuan hukum internal ormas.
Di
kalangan NU kajian ekologi yang berasaskan fikih sudah pula dibahas di dalam
buku Fiqih Lingkungan Hidup, terbit tahun 2006, oleh KH. Ali Yafie. Ulama yang
aktif di ICMI dan PBNU ini memaparkan tanggung jawab kaum muslimin dalam konservasi
fungsi lingkungan lokal dan global dan diperinci dengan ayat Qur’an dan hadis. Mantan
ketua MUI ini pun memberikan opsi pintu darurat sebagai solusi masalah
lingkungan akibat perbuatan manusia (Surat ar Ruum: 41). Dampak buruk perbuatan
manusia itu sudah terjadi di darat (tanah), udara, dan air (sungai, danau,
rawa, pantai, laut).
Fikih
lingkungan senapas dengan spirit ekologi yang menyatakan bahwa semua makhluk
adalah mulia (muhtarom) yang harus dijaga eksistensinya. Dilarang membunuh
makhluk (hewan) tanpa maksud yang jelas, misalnya untuk latihan memanah atau
menembak. Sebab, semua makhluk hidup dan makhluk tak hidup seperti tanah, air,
udara, dan barang tambang adalah ciptaan Sang Khaliq. Bahkan dalam penyembelihan
hewan disyariatkan menggunakan pisau supertajam agar tidak menyiksa hewan. Ada
juga riwayat bahwa seorang pelacur bisa masuk ke surga karena memberikan air
minum kepada anjing kehausan.
Hikmah
ekologi lainnya adalah redesain kawasan tambang berlandaskan fikih lingkungan
dengan dalil dan kajian ulama salaf dan khalaf. Fikih menyatakan bahwa lahan
harus ditata untuk permukiman, lahan pertanian-perkebunan (iqta), kawasan
lindung (harim), cagar alam dan margasatwa (hima). Kyai dan ulama
(NU-Muhammadiyah) tentu lebih paham pada prinsip fikih untuk diterapkan pada tataruang
dan ekologi. Inilah yang belum pernah diterapkan oleh penerima konsesi selama
ini dan menjadi poin utama bagi Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah.
Hikmah
Ekonomi
Puluhan
juta orang Indonesia adalah pengikut NU dan diakui oleh PBNU bahwa mereka lemah
ekonomi. Dibutuhkan dana untuk meningkatkan kesejahteraan, rehabilitasi
madrasah, pesantren, masjid, gaji guru dan asatidz. Diyakini bahwa konsesi
tambang dapat menghidupkan ekonomi anggota NU dan non-anggota. Selama ini pesantren,
madrasah, dan perguruan tinggi milik NU dan Muhammadiyah adalah penggerak
ekonomi. Mahasiswa, alumni, dan akademisi di kampus NU dan Muhammadiyah adalah aset
aktivitas ekonomi bangsa Indonesia. Yang lebih penting lagi, tambang dikelola
oleh orang Indonesia, bukan oleh perusahaan asing atau keluarga konglomerat
yang berjaya sejak Orde Baru.
Praktik
ekonomi tersebut adalah bottom-up, bukan top-down apalagi trickle
down effect yang sulit berkeadilan sosial. Akan terjadi redistribusi uang
dan giat ekonomi di seluruh cabang ormas. Jaringan ekonomi ormas bahkan sudah
terbentuk sejak NU dan Muhammadiyah berdiri. Tentu saja praktik tersebut bisa
diawasi oleh kyai dan ulama yang paham hukum ekonomi Islam dan memiliki rasa
takut berdosa apabila berbuat jahat. Selain untuk anggota ormas, dampak sosial ekonomi
juga merambat ke orang di luar ormas. Maka upaya untuk mendekati keadilan
sosial bisa dirasakan atau minimal bisa meratakan giat ekonomi ke banyak orang.
Kemampuan
NU dan Muhammadiyah dalam membela ekonomi dan hak masyarakat sudah terbukti
pada kasus UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Gugatan Muhammadiyah dan
kelompok masyarakat lainnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga kasus
ini menjadi fakta penting bagi pasal sosioekologi (33 UUD 1945). Hal senada
tentu bisa diterapkan dalam konsesi tambang.
Etika
Lingkungan
Kemaslahatan
umum adalah tujuan etika lingkungan. Pemanfaatan sumber daya alam dan
pengubahan rona lingkungan diperbolehkan dengan syarat fungsinya lestari. Yang
harus dibatasi adalah lokasi dan luasan yang boleh dieksploitasi. Etika
lingkungan mewajibkan rehabilitasi kawasan bekas galian. Apabila lokasi yang
diberikan adalah tambang bekas maka konsesi ini seperti spirit ihya al mawat,
yaitu memanfaatkan lahan telantar untuk kemakmuran rakyat. Umar bin Khattab
(sebagai pemerintah atau khalifah) membolehkan ambil alih lahan yang tidak
digarap selama tiga tahun.
Etika
lingkungan sepatutnya dijadikan parameter utama dalam izin pertambangan. Semua
lahan yang tidak produktif lagi wajib direboisasi agar menjadi sumber oksigen.
Di poin inilah ormas keagamaan seharusnya mampu memberikan praktik baik etika
lingkungan. Peran kyai dan ulama diharapkan dapat memberikan pengawasan melekat
di tingkat ranting, cabang, wilayah hingga pusat.
Sepatutnya elite ormas malu kepada semua
orang Indonesia dan sangat malu kepada Allah apabila tidak mampu menerapkan
praktik baik pertambangan, hanya business as usual, tidak berbeda
signifikan dengan praktik hitam perusahaan tambang sekarang. *
Gede H. Cahyana, Pengamat Lingkungan Universitas Kebangsaan RI