• L3
  • Email :
  • Search :

26 Juli 2025

Tips Menulis Latar Belakang

Tips Menulis Latar Belakang

Menulis karya ilmiah semisal Tugas Akhir (TA) atau apapun istilahnya di berbagai perguruan tinggi tentu bermaksud dibaca oleh orang lain, selain untuk menyelesaikan kuliah. Pembacanya biasanya memiliki minat yang sama atau hampir sama dengan tema TA lantaran sedang menulis laporan ilmiah yang memerlukan rujukan penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, penulisan TA harus informatif, mampu memberikan informasi kepada pembacanya dengan bahasa yang lugas, kalimat efektif, bermakna tunggal (tidak makna ganda, tidak multitafsir) dan sesuai dengan ejaan yang betul (Ejaan Yang Disempurnakan, EYD). Agar semua bagian karya ilmiah dibaca maka karya ilmiah harus menarik bahkan dibaca beberapa kali.

Latar Belakang

Subbab ini berisi dinamika pikiran peneliti. Beragam pendapat, pertanyaan ada di dalam benaknya setelah membaca artikel (makalah) ilmiah atau ilmiah populer. Atau setelah melihat kejadian seperti pencemaran air sumur, bukit erosi dan longsor, tumpukan sampah plastik, keramik kotor karena air tanah meskipun sudah ada filter air, lumpur aktif mengolah air limbah pabrik minyak goreng, asap knalpot diolah dengan zat tertentu, dll. Dinamika pikiran tersebut lantas menimbulkan niat atau keinginan untuk melaksanakan penelitian. Ingin mencari jawaban atau solusi atas kejadian-kejadian tersebut. Hasil penelitian diharapkan bisa memberikan manfaat untuk ilmu dan manfaat praktis bagi masyarakat.

Peneliti harus yakin bahwa fenomena tersebut adalah masalah aktual dan relevan. Agar tahu bahwa masalah tersebut masih aktual maka peneliti harus membaca banyak artikel ilmiah dengan tema yang serupa atau sama. Aktual berarti belum using (obsolete) karena ada hal-hal yang belum terjawab meskipun sudah banyak diteliti. Aktual dan relevan diperlukan karena harus ada manfaat ilmiah (teoretis) dan manfaat praktis yang dihasilkan. Namun demikian, boleh saja mengulang penelitian orang lain untuk membuktikan sesuatu yang dianggap tidak jelas, meragukan, ingin membuktikan sendiri, dll yang biasa disebut replikasi (replicate).

Bagaimana cara menuliskan dinamika pikiran tersebut di dalam Latar Belakang? Cara bertutur boleh berbeda. Setiap orang punya cara khas masing-masing. Tetapi konten yang perlu ditulis adalah sama, dijelaskan di bawah ini.

Di paragraf pertama Latar Belakang tulislah masalah utama (problem issue) yang menimbulkan minat untuk menelitinya. Tulislah bahwa tema penelitian tersebut sudah bermanfaat untuk masyarakat dan masih aktual. Bisa dengan cara mengutip manfaat dari artikel penelitian orang lain. Kutiplah misalnya lima artikel (makalah) penelitian orang lain yang berisi manfaat hasil penelitian dengan tema tersebut. Terutama bermanfaat untuk masyarakat karena sudah luas digunakan. Ini ditulis di paragraf pertama secara kronologis (urutan waktu) agar pembaca memiliki minat untuk membacanya lebih lanjut. Eye catching. Meskipun sudah luas diteliti dan digunakan, tulis juga bahwa masih ada hal-hal atau masalah lain yang perlu diteliti untuk menambah khazanah ilmu dan mudah-mudahan bermanfaat bagi masyarakat. Catatan, semua kutipan harus diparafrase, ditulis dengan kalimat sendiri. Tidak boleh copy-paste secara verbatim.

Di paragraf selanjutnya, berkaitan dengan aktual dan relevan maka tulislah kutipan-kutipan dari penelitian yang bertema sama. Misalnya, tiga tahun terakhir. Kalau tidak ada, boleh lima tahun terakhir atau sepuluh atau tiga puluh tahun terakhir. Kalau tidak ada, berarti penelitian yang dilaksanakan ini berpeluang menjadi penelitian baru dengan temuan baru (novelty). Meskipun, ini menurut orang bijak bestari, tidak ada yang baru 100% di kolong langit ini. Semuanya berasal dari temuan-temuan sebelumnya yang berubah sedikit demi sedikit selama ribuan tahun.

Paragraf selanjutnya adalah tulisan tentang “masih ada masalah” yang perlu diteliti. Meskipun sudah banyak penelitian di dalam tema yang sama, selalu ada saja celah untuk meneliti aspek lainnya. Misalnya, penelitian tentang slow sand filter, sudah banyak jenis media filter yang diteliti: pasir silika, pasir laut, pasir sungai, pasir urug, antrasit, garnet, pelet plastik, dll. Apabila peneliti dapat menemukan media yang belum diteliti, baik media alami maupun sintetis, ini juga masih bisa dijadikan penelitian baru. Ada kebaruan (novelty). Demikian juga variasi ketinggian media, diameter media, diameter alat filter, variasi kecepatan, variasi pH, temperatur, dll. Usahakan masalah-masalah yang masih ada dan akan diteliti ini ditulis di Latar Belakang dan akan dibuatkan kalimat per-tanya-an di subbab Rumusan Masalah dan kalimat per-nyata-an di subbab Tujuan Penelitian.

Setelah menuliskan sejumlah masalah tersebut maka tulislah apa yang akan dilakukan. Apa agenda penelitiannya. Misalnya, metode apa yang akan digunakan untuk memperoleh solusi atas masalah tersebut. Ditulis satu atau dua kalimat saja. Lengkapnya ditulis di bab Metodologi di laporan TA atau di Alat dan Bahan (Materials and Methods) di artikel jurnal ilmiah. Tulisan di TA lebih lengkap (perinci) daripada di jurnal ilmiah. Oleh sebab itu, laporan TA yang akan diubah menjadi artikel ilmiah harus dirombak mengikuti struktur artikel (makalah) ilmiah. Berbeda lagi apabila TA ditulis untuk pembaca majalah atau koran atau media online, formatnya berbeda. Bisa saja menulis untuk masyarakat awam (umum) ini lebih sulit karena tulisan harus renyah dibaca (artikel ilmiah populer) dan hanya 800 kata. Dewan redaksi majalah atau koran memiliki tatacara seleksinya, mana yang layak diterbitkan mana yang tidak.

Untuk menegaskan lagi pentingnya atau manfaat peneltian, boleh ditulis dalam satu kalimat saja tentang manfaat penelitian bagi masyarakat di akhir Latar Belakang. *

Tulisan tentang Latar Belakang TA atau artikel ilmiah bisa juga dibaca di beberapa link ini. 

Cara Menulis TA

Menulis Laporan TA

ReadMore »

22 Juli 2025

Study Tour Dilarang Kami Di Bali Didukung

Study Tour Dilarang, Kami Di Bali Didukung

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melarang study tour. Sedangkan Walikota Bandung, M. Farhan mengizinkan. Ada pro dan kontra tentu saja. Protes ramai di media sosial. Ramai juga di jalan, di depan gedung atau kantor gubernur. Tulisan ini tidak masuk ke pro-kontra. Tetapi sebuah kisah nyata saja.

Saya dan teman-teman di Tabanan Bali sangat jarang bepergian ke Pulau Jawa. Mendengar kata Jawa saja kami sudah demikian kagum. Dalam benak orang Bali, pada dekade sebelum 1980-an, yang ada adalah Nak Bali dan Nak Jawe (Jawa). Waktu itu tahun 1980-1985 adalah periode belum ada televisi swasta. Hanya TVRI. Acaranya kurang banyak. Tapi memuaskan. Informasi tentang objek wisata di Pulau Jawa tidak banyak yang ditayangkan. Kami dahaga hiburan.

Saya atau kami, yaitu murid-murid seangkatan di SMPN 1 Tabanan Bali, dan kakak serta adik-adik kelas sudah tahu bahwa pada masa kenaikan kelas (kesamen), yaitu naik kelas dari kelas dua ke kelas tiga, akan dilaksanakan karya wisata ke Jawa. Istilahnya Karya Wisata, yang sekarang mungkin bisa disamakan dengan study tour. Bepergian ke objek wisata yang sering dibaca di buku pelajaran atau diberitahu oleh guru. Ingin melihat wujud aslinya di Jawa.

Semua murid, sejak awal di kelas satu SMPN 1 Tabanan Bali, menabung setiap bulan. Saya lupa nilai rupiahnya. Tetapi kami rutin menabung yang dibayarkan ke TU bersamaan dengan uang SPP. Mungkin kurang lebih menabung selama 2 tahun kali 12 bulan, sama dengan 24 bulan kali sekian rupiah. Dari uang yang terkumpul itu kami bisa Karya Wisata ke Pulau Jawa tanpa perlu tambahan biaya lagi. Kami naik bis pergi pulang. Hanya perlu uang bekal yang diminta kepada orang tua masing-masing tentu saja.

Tujuan daerah wisata berbeda-beda dari tahun ke tahun. Pada waktu angkatan kami, tujuannya adalah Malang dan Surabaya. Tentu dalam perjalanan, kami berhenti di Pantai Pasir Putih Indah, Situbondo. Kondisi jalan pada tahun 1981/1982 belum sebaik sekarang. Tetapi kendaraan sedikit. Tidak macet. Singkat cerita, sampailah kami di Surabaya. Wow, kota yang ada di buku pelajaran Sejarah. Kota Pahlawan. Ada kawan yang komentar, dalam bahasa Bali tentu saja, “he… itu DK-nya kok L.” Begitulah, ada di antara kami yang belum tahu bahwa pelat mobil dan motor di Surabaya adalah L sedangkan di Bali adalah DK.

Surabaya kota impian, pada waktu itu, dalam benak kami. Objek wisata yang dituju antara lain adalah Kebun Binatang Wonokromo. Kemudian ke Malang. Objek wisata yang dituju adalah Selecta. Juga pasar modern seperti Sarinah. Bendungan Karangkates. Ada juga candi, tetapi saya lupa namanya. Juga memetik buah apel langsung di kebun dan bayar sebelum ke luar kebun. Saya lupa lagi objek yang lainnya. Kami berfoto bersama. Kamera waktu itu ada yang kecil. Filmnya berukuran setengah dari kamera standar waktu itu. Harganya Rp11.000 sebuah. Waktu itu harga satu kilogram telur ayam Rp400/kg. Saya hapal karena sering membeli telur ayam di tetangga yang juga masih saudara.

Yang ingin saya sampaikan, bahwa biaya untuk karya Wisata dicicil setiap bulan. Mungkin ada orang tua yang tidak punya uang setiap bulan. Kami paham itu. Tetapi pembayaran itu bisa dicicil kapan saja, nanti pada waktu tertentu petugas TU akan menanyakan kepada murid. Kami juga waktu di SMPN 1 Tabanan membayar uang bangunan dengan cara dicicil setiap bulan selama dua tahun. Memang berat bagi orang tua. Makanya kepala sekolah (waktu itu Bapak Drs. I Gusti Ngurah Sukerta) selalu mengundang orang tua/wali ke sekolah setiap masa libur. Pasti ada orang tua yang berat membayar setiap bulan karena itu juga cerita yang saya dengar dari teman-teman. Termasuk orang tua saya, pasti berat juga, dengan lima orang anak yang semuanya murid.

Apakah kami mendapatkan ilmu dan pengetahuan dari karya wisaya itu? Jawaban saya, dapat. Ilmu dapat, pengalaman sudah pasti dapat. Puas. Senang. Banyak yang bisa diceritakan kepada adik, adik kelas, saudara yang lain dan kepada orang tua. Cerita ini menjadi keseharian dan menggembirakan karena faktanya, jarang kami bepergian ke Pulau Jawa. Kami orang Tabanan, khususnya murid atau teman saya mayoritas tinggal di Bali pada umur SMP itu. Waktu SMA juga tidak banyak dan memang tidak ada keperluan untuk pergi ke Jawa. Pada waktu itu kami kagum kepada para orang tua yang sering berkata, “Pan Momon luwas ke Jawe (Pak Momon pergi ke Jawa).”

Kembali ke study tour. Bagi kami, karya wisata sungguh bermanfaat. Tiada terkira yang diperoleh, baik yang dilihat dan dialami, sepanjang perjalanan. Betapa kami surprised menyaksikan kapal Ferry di Gilimanuk – Ketapang, lalu berdiri di dek kapal dengan tiupan angin kencang. Kami berdiri dan saling bicara, saling berkomentar. Ramai. Kami juga menyaksikan truk gandeng yang tidak ada di Bali. Betapa kami takjub melihat jejeran pohon asam di sepanjang jalan antara Banyuwangi - Surabaya. Asam semua dan sudah ranum. Sudah coklat tua kulitnya. Ingin memetik dan mengemilnya tetapi tidak kesampaian. Titik saja liur ini jadinya.

Demikianlah perihal karya wisata yang kami lakukan. Pada kali lain, tahun berikutnya, seingat saya, tujuan karya wisata adalah Borobudur dan sekitarnya. Jumlah bus mungkin lima atau enam. Waktu itu kami kelas dua ada enam kelas, kelas A, B, C, D, E, F. Rata-rata 40 murid per kelas.

Terima kasih kepada para guru yang sudah mewujudkan keingintahuan kami sebagai murid kelas dua SMP perihal objek wisata di Pulau Jawa.*

ReadMore »

13 Juli 2025

Research Integrity Risk Index (RI2) Kita Perlu Introspeksi

Research Integrity Risk Index (RI2): Kita Perlu Introspeksi

Laporan Dr. Lokman Meho et.al., seorang dosen di American University of Beirut , menimbulkan diskusi panjang di kalangan dosen dan peneliti di Indonesia. Terlebih lagi kalangan yang menjadi dosen atau peneliti di kampus yang diteliti oleh tim Lokman Meho.

Di tengah protes dan ketidaksetujuan para pejabat dan rektor dan insan perguruan tinggi, ada baiknya merenung dan introspeksi. Ada 1.500 perguruan tinggi di seluruh dunia yang diuji oleh Meho dan ada 13 kampus di Indonesia yang diuji, karena dianggap kampus yang kelas atas.

Bagaimana dengan kampus lain? Sudah banyak dibahas di koran-koran online seperti Kompas, Tempo, dan lain-lain. Dalam rentang 2017 - 2020 terjadi tsunami artikel ilmiah di Indonesia. Kuantitas artikel membludak, ranking satu di Asia Tenggara. Saran bijak dari sesepuh pendidikan di Indonesia, hendaklah kita lebih mementingkan kualitas ketimbang kuantitas. 

Pemerintah sepatutnya segera memikirkan upaya terbaik agar kejadian ini hanya terjadi sekali ini saja. Dikaji lagi peraturan tentang publikasi oleh mahasiswa (S1, S2, S3), publikasi penelitian dosen, persyaratan kenaikan pangkat (jabatan fungsional), laporan semester BKD dan lain-lain. Sebab, artikel atau makalah ilmiah yang bermasalah muncul dari hal-hal tersebut.

Kebijakan yang tepat, dengan olah pikir para ahli di Kementerian Pendidikan Tinggi dan Saintek diharapkan dapat mengembalikan marwah pendidikan tinggi Indonesia. Sekarang saatnya. Sebab, Meho akan rutin merilis laporannya. Tujuan Meho positif. Sebagai katalisator ke arah kebaikan, kebenaran, tanggung jawab. 

Meho hopes that the RI² will gradually be used “not just to detect and flag, but to help universities benchmark their performance, design better policies, and celebrate those who uphold high standards in responsible research practices."

Sebagai negara ber-Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Mahaesa, sudah selayaknya menjunjung tinggi integritas sebagai pengajar, peneliti, dan pengabdi kepada msyarakat. Tridharma yang esensial, bukan artifisial. 

Introspeksi lebih bermanfaat daripada menggugat metodologi Meho dkk.

Di bawah ini dikutipkan perihal RIRI tersebut.

 

Di bawah ini di-copy paste-kan nama kampusnya:

Zona Merah – Risiko Tinggi:

– Bina Nusantara University (BINUS)

– Universitas Airlangga (UNAIR)

– Universitas Sumatera Utara (USU)

– Universitas Hasanuddin (UNHAS)

– Universitas Sebelas Maret (UNS)

Zona Oranye – Risiko Sedang Tinggi:

-Universitas Diponegoro (UNDIP)

-Universitas Brawijaya (UB)

-Universitas Padjadjaran (UNPAD)

Zona Kuning – Risiko Sedang:

-Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)

-Universitas Indonesia (UI)

-Institut Teknologi Bandung (ITB)

-Institut Pertanian Bogor (IPB)

-Universitas Gadjah Mada (UGM)

-------------------------------

The Research Integrity Risk Index (RI²): A Composite Metric for Detecting Risk Profiles

The RI² is the first metric explicitly designed to profile research integrity risks using empirically grounded, transparent indicators. Unlike conventional rankings that reward research volume and citation visibility, RI² shifts focus toward integrity-sensitive metrics that are resistant to manipulation and bibliometric inflation. In its current form, RI² comprises two primary components:

    1. Retraction Risk: Measures the extent to which a university’s research portfolio includes retracted articles, particularly those retracted due to data fabrication, plagiarism, ethical violations, authorship or peer review manipulation, or serious methodological errors (Fang et al., 2012; Ioannidis et al., 2025). It is calculated as the number of retractions per 1,000 articles over the most recent two full calendar years before the last (e.g., 2022-2023 for an analysis conducted in 2025), normalizing for research output and time-lag effects. Elevated retraction rates may reflect weaknesses in research oversight and institutional culture.The analysis uses retraction data from three databases to evaluate institutional vulnerability to research misconduct or oversight failures. The author extracted and uploaded into SciVal all available original DOIs and PubMed IDs (PMIDs) associated with retracted articles from Retraction Watch, Medline, and Web of Science. As of June 18, 2025, Retraction Watch Database listed 43,482 entries marked as “Retraction” and classified under the following document types: case reports, clinical studies, guidelines, meta-analyses, research articles, retracted articles, review articles, letters when associated with research articles, and revisions when associated with review articles. These types were selected because, after cross-referencing, they corresponded to articles and reviews in Medline and Web of Science. Following the exclusion criteria used by Ioannidis et al. (2025), 2,238 records were removed due to non-author-related reasons (e.g., “Retract and Replace” and “Error by Journal/Publisher”). Of the remaining Retraction Watch entries, 38,316 successfully matched with SciVal records. The remaining 5,166 could not be matched, either because they were published in journals not indexed by SciVal or lacked identifiable DOIs or PMIDs in the databases.To supplement the Retraction Watch dataset, an additional 4,416 unique retracted articles were identified from Medline (2,737) and Web of Science (2,850) that were classified as “Retracted” or “Retracted Publication” and tagged as articles or reviews. In total, 42,732 unique retracted articles were matched to SciVal and included in the analysis. Scopus was excluded due to inconsistent classification practices: its “Retracted” label encompasses a broad range of document types, including letters and editorials, making it unsuitable for isolating retracted research articles and reviews.To account for the time lag between publication and retraction, the analysis focused on articles published in 2022 and 2023, rather than 2023-2024, to better capture recent institutional behaviors while ensuring a broader view of retraction activity (Candal-Pedreira et al., 2024; Feng et al., 2024; Fang et al., 2012; Gedik et al., 2024). By June 18, 2025, the number of retracted articles stood at 10,579 for 2022, 2,897 for 2023, and 1,601 for 2024. Worldwide, as of June 18, 2025, the retraction rate for 2022-2023 averaged 2.2 per 1,000 articles, with the highest rates observed in mathematics (9.3) and computer science (7.6) and the lowest in arts and humanities (0.2).According to Retraction Watch, the 15 main reasons for retractions are: Investigation by Journal/Publisher (48%), Unreliable Results and/or Conclusions (42%), Investigation by Third Party (34%), Concerns/Issues About Data (30%), Concerns/Issues about Referencing/Attributions (26%), Paper Mill (25%), Concerns/Issues with Peer Review (23%), Concerns/Issues about Results and/or Conclusions (19%), Fake Peer Review (19%), Computer-Aided Content or Computer-Generated Content (18%), Duplication of/in Image (10%), Duplication of/in Article (8%), Euphemisms for Plagiarism (6%), Investigation by Company/Institution (6%), and Lack of IRB/IACUC Approval and/or Compliance (6%).
    2. Delisted Journal Risk: Quantifies the proportion of an institution’s publications that appear in journals removed from Scopus or Web of Science due to violations of publishing, editorial, or peer review standards (Cortegiani et al., 2020). This is measured over the most recent two full calendar years (e.g., 2023-2024 for an analysis conducted in 2025) and reflects structural vulnerabilities in quality control and publishing practices. Such publications continue to influence bibliometric metrics even after delisting, potentially distorting evaluative benchmarks. This component includes all articles published in journals delisted by Scopus in 2023-2024. It also includes articles in journals delisted by Web of Science in 2023-2024 and still actively indexed in Scopus.Scopus discontinues or delists journals through an ongoing title re-evaluation program. Journals may be flagged for re-evaluation due to underperformance on key bibliometric benchmarks (citation rate, self-citation rate, and CiteScore); (2) formal complaints about publication practices; (3) outlier publishing behaviors detected algorithmically (e.g., sudden spikes in output or geographic concentration); and (4) continuous curation feedback from the Content Selection and Advisory Board. Journals that fail re-evaluation are delisted, with indexing discontinued prospectively while retaining prior content.Web of Science delists journals following an in-depth editorial re-evaluation conducted by its independent in-house editors, who assess journals against 24 quality and four impact criteria. Titles are re-evaluated when flagged by internal monitoring, community feedback, or observed shifts in editorial quality. If a journal no longer meets quality standards, such as lacking editorial rigor, publishing ethically questionable content, or deviating from peer-review norms, it is removed from coverage, with future content no longer indexed. In serious cases, previously indexed articles may also be withdrawn. Between 2009 and June 2025, a total of 974 unique journals were delisted—855 by Scopus and 169 by Web of Science. Of these, 206 were delisted in 2023-2024 and had 124,945 articles in the Scopus database. Institutional affiliations for these articles were tracked globally to evaluate exposure to low-integrity publication channels.

Data for both components serve as proxies for broader research integrity concerns, such as paper mills (businesses that sell authorship), citation cartels (reciprocal citation networks used to inflate impact), citation farms (organizations or networks that generate or sell citations), fraudulent authorship practices, and other forms of metric gaming (Abalkina, 2023; Maisonneuve, 2025; Candal-Pedreira et al., 2024; Feng et al., 2024; Ioannidis & Maniadis, 2024; Lancho Barrantes et al., 2023; Smagulov & Teixeira da Silva, 2025; Teixeira da Silva & Nazarovets, 2023; Wright, 2024). Importantly, both components reflect verifiable outcomes rather than inferred behaviors, making them robust indicators of institutional-level risk.

Source: https://sites.aub.edu.lb/lmeho/methodology/

A Catalyst for Change

Although Meho does not consider the RI2 a quick fix for all academic publishing issues, he does believe it highlights the importance of research integrity in institutional assessment and university rankings. Meho hopes that the RI² will gradually be used “not just to detect and flag, but to help universities benchmark their performance, design better policies, and celebrate those who uphold high standards in responsible research practices."

Future releases will continue to rank the top 1,500 most publishing universities, while also assigning RI² ratings to an additional 1,000 universities and the 100 most publishing research centers. This broader coverage will allow for broader regional comparisons and more effective monitoring of global trends over time.

Sources:

https://www.aub.edu.lb/articles/Pages/Lokman-Meho-Research-Integrity-Risk-Indicator-garners-global-attention.aspx

https://sites.aub.edu.lb/lmeho/ri2/?_ga=2.78544660.1212921256.1752607533-319775669.1752607531&_gl=1*1kjb19q*_ga*MzE5Nzc1NjY5LjE3NTI2MDc1MzE.*_ga_5G09CXDJQ3*czE3NTI2MDc1MzQkbzEkZzEkdDE3NTI2MDc1NTAkajQ0JGwwJGgw

https://sites.aub.edu.lb/lmeho/map/

ReadMore »

7 Juli 2025

Wapres Gibran Ke Pasar Dauh Pala Tabanan

Wapres Gibran Ke Pasar Dauh Pala Tabanan

Tidak banyak pejabat negara, katakanlah setingkat menteri, apalagi presiden atau wakil presiden yang berkunjung ke Tabanan. Terlebih lagi secara khusus mengunjungi pasar di Tabanan. Ini jarang di Tabanan. Mungkin sering terjadi di Denpasar atau di Kab. Badung. Apalagi Nusa Dua, sangat sering. Tetapi tidak demikian di Tabanan. Pada 5 Juli 2025 kemarin Wapres Gibran mengunjungi pasar Dauh Pala. Ini pasar yang sering saya datangi, menemani istri membeli ayam, buah, atau daging.

Lebaran beberapa bulan lewat itu saya beberapa kali ke pasar Dauh Pala. Membeli ayam untuk dibuat opor, membeli daging sapi dan sayur serta buah seperti jeruk dan pepaya. Sesekali buah naga. Esoknya beli jambu kristal, harganya lebih murah Rp2.000 per kilogram daripada di Bandung. Kadang-kadang membeli ketela pohon, ubi, bongkot. Bongkot ini enak banget dibuat sambel bongkot atau honje. Juga membeli sayur gondo. Jenis sayur ini tidak ada di Jawa Barat. Nikmatnya sayur gondo tidak terperikan! Hampir tidak ada pembandingnya. 

Saya masih hapal wajah ibu-ibu yang dagangannya dibeli oleh Wapres Gibran karena hampir dua hari sekali ke pasar Dauh Pala waktu libur di Tabanan. Pasar ini lokasinya menurun dari jalan raya karena di bagian barat pasar ada sungai. Letaknya di tikungan dan lalu lintas hanya satu arah sehingga tidak terlalu macet. Tambahan informasi, di bagian bawah pasar Dauh Pala ada IPAL domestik. Pipa sewer-nya bisa dilihat di jalan yang menurun (tampak penutup manhole-nya saja). Lokasinya di dekat los penjual daging ayam, sapi, babi. 

Di bagian bawah pasar juga ada beberapa pedagang ayam kampung dan ayam potong (sayur). Ayam merah juga ada. Itik, mentok juga ada. Mayoritas orang Tabanan membeli daging di pasar ini. Penjualnya ada orang Tabanan, ada dari madura, ada dari Banyuwangi. Sempat saya tanya kepada seorang pedagang es dawet hitam, ternyata dari Banjarnegara. Ia juga memelihara kambing di dekat pasar Dauh Pala, begitu katanya.

Kunjungan Wapres Gibran saya tulis di blogspot ini karena sangat jarang pejabat tinggi negara yang datang ke Tabanan. Apalagi blusukan di pasar. Di Tabanan sebetulnya ada pasar Tabanan, lokasinya di Jln. Gajah Mada. Sering juga saya belanja di pasar Tabanan ini. Entah kenapa, Wapres Gibran tidak berkunjung ke pasar ini. Pasar Tabanan malah jauh lebih sering lagi saya kunjungi karena inilah pasar pertama di kota Tabanan dan jaraknya hanya 1 km dari rumah orang tua saya. Dulu di belakang pasar ada gedung bioskop, namanya Kridha Theatre. Agak ke selatan ada bisokop Bali Theatre.

Terlepas dari sudut pandang politik, saya tidak membahas politik di tulisan ini, dan saya bukanlah politisi. Saya merasa senang ada wakil presiden yang berkunjung ke Tabanan dan belanja di pasar tempat saya juga sering belanja. Sebagai orang Tabanan, lahir hingga tamat SMAN 1 Tabanan, saya sungguh berterima kasih atas kehadiran Wapres Gibran ke Tabanan. Tabanan menjadi lebih diketahui oleh orang banyak. Sebab, mayoritas wisatawan hanya tahu Denpasar, Kuta, Sanur, Ubud. Kurang tahu tentang Tabanan. Padahal objek wisata di Tabanan juga banyak. Mulai yang konvensional sudah ada sejak tahun 1970-an hingga yang anyar-anyar seperti Nuanu.

Sekali lagi, saya tidak ada urusan dengan politik praktis, seperti halnya gugatan para purnawirawan, ormas dan orpol yang menentang Wapres Gibran. Dalam kunjungan tersebut saya lihat Wapres Gibran ditemani oleh Gubernur Bali I Wayan Koster yang juga kader PDIP. Kita tahu, PDIP kini berseberangan diametral dengan keluarga Presiden ketujuh Pak Jokowi.

Selain ke pasar Dauh Pala Tabanan, Wapres juga berkunjung ke beberapa lokasi di Kab. Badung dan Kota Denpasar. Tetapi tidak saya bahas karena interes tulisan ini adalah kunjungan Wapres Ke Tabanan, kota kelahiran saya.* 

ReadMore »

30 Juni 2025

Manusia Otentik, Kompas, ChatGPT, dan Membaca

Manusia Otentik, Kompas, ChatGPT, dan Membaca

Pada pekan terakhir Juni 2025 ini saya memperoleh tambahan informasi perihal manusia dan literasi atau baca-tulis dari tiga sumber, yaitu khutbah Jumat, 1 Muharam 1447 H atau 27 Juni 2025 di masjid Assalaam, kanal Youtube NU Online (28 Juni 2025) dan HUT ke-60 koran Kompas (30 Juni 2025 di Kompas TV).

Saya mulai dari tuturan Dr. Fahruddin Faiz di NU Online. Sudah beberapa kali saya mendengarkan ceramahnya di Youtube, khususnya yang tayang di MJS Channel. Temanya mayoritas filsafat. Tema kali ini adalah "manusia otentik", saya simak dari kanal Youtube NU Online sejam setelah tayang. Belakangan ini gawai ponsel saya kerapkali tersambung ke NU Online lantaran saya beberapa kali menyimak istilah Wahabi Lingkungan dari Gus Ulil, seorang ketua di PBNU yang juga tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal). 

Manusia otentik dipaparkan mulai dari Heidegger, Nieztsche, hingga Imam Al Ghazali dan Ibnu Arabi. Satu kata penting yang merelasi ke makna manusia otentik adalah insan kamil, manusia sempurna, paripurna. Tentu sosok paripurna ini hanya bisa dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tidak ada sosok manusia selain nabi yang sempurna. Istilah ini adalah batas cita-cita tertinggi yang perlu dicapai oleh manusia. Perilakunya mendekati akhlak karimah. 

Di bagian awal ceramahnya, dosen UIN SuKa Yogyakarta ini menyatakan bahwa ChatGPT tahu semua jawaban. Beliau berkata bahwa beliau menugaskan mahasiswa sekelas menulis makalah dengan tema yang berbeda tetapi hasilnya, ternyata, formatnya sama. Diduga kuat, mahasiswa menggunakan prompt yang sama, kemudian di-copas atau diedit sedikit. Berarti, ini sudah tidak otentik, demikian katanya. Penggunaan AI akan meniadakan kemanusiaan manusia sejati dalam berpikir, yang dimulai dari membaca dan menulis. Tulisannya bukan hasil analisis dan sintesis olah pikir, olah rasa, dan olah dayanya.  

Hal tersebut, yaitu ChatGPT, disebut juga di dalam wawancara wartawan Kompas dengan penerima hadiah Nobel Perdamaian tahun 2025. Wawancara singkat tersebut ditayangkan di acara HUT ke-60 koran Kompas, dihadiri oleh wakil ketua DPR, para menko dan para menteri serta dua orang penerima penghargaan kepenulisan. Nama penerima hadiah Nobel Perdamaian adalah Maria Ressa. Dalam jawabannya, ia menyatakan bahwa 16% jawaban ChatGPT adalah salah. Penggunaan ChatGPT juga berarti tidak faktual. Apabila jurnalis menulis dengan hanya mengandalkan bantuan AI maka jurnalisme akan mati. Siapa yang akan mengisi ekosistem informasi? 

Pertanyaan retoris penerima Nobel tersebut sepatutnya menjadi perhatian kalangan akademisi di pendidikan dasar dan menengah hingga perguruan tinggi. Juga harus menjadi PR (homework) serius Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Menteri Pendidikan Tinggi dan Saintek. AI yang di luar kendali akan merusak kemampuan literasi rakyat Indonesia. Akan tiba masanya, banyak karya tulis atas nama seseorang tetapi kemampuan riil penulisnya tidak sesuai dengan faktanya. Tidak otentik. 

Bertajuk Gala Literasi Nusantara, koran Kompas membuktikan diri sebagai penjaga bahasa Indonesia, pencipta kosakata, pemapan ejaan, dan menjadi suluh bagi literasi anak bangsa. Dalam skala yang lebih luas tentu termasuk juga semua koran dan majalah lainnya, seperti koran Pikiran Rakyat di Bandung, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Jawa Pos, dll. Semua media cetak yang juga sekarang hadir di ranah digital hendaklah senantiasa mengandalkan kemauan dan kemampuan membaca dan menulis. Bukan copy-paste, salin-tempel. Jurnalis wajib berperilaku benar dalam literasi. Bagi masyarakat umum, yang terpenting adalah mau membaca. Bagi akademisi, ditambah dengan mau menulis yang otentik, mengutip dilengkapi dengan sumber kutipan (sitasi). 

Perihal membaca dibahas pula oleh khatib di masjid Assalaam, pada 1 Muharam 1447 H atau Jumat 27 Juni 2025. Minimal, kata khatib, ada tiga kosakata yang berkaitan dengan membaca tetapi berbeda maknanya.

(1) Qara’ah atau iqra seperti di dalam surat al Alaq; maknanya membaca tanpa paham arti atau maknanya. Yang dipentingkan adalah lancar membaca, bisa betul, bisa salah. Misalkan seseorang membaca al Qur’an di kamarnya dan tidak ada rasa malu atas kesalahan dalam membaca. Yang penting lancar membaca saja. Baik atau tidak, lancar atau tidak, betul atau salah tidak menjadi perhatian. Ini seperti murid SD yang sekadar lancar membaca tanpa paham maknanya.

(2) Tartil, ini sudah lebih tinggi daripada qara’ah. Misalnya membaca yang sesuai dengan makhraj, sifat huruf, tajwid, tanca baca. Ini biasa dilaksanakan dalam bulan Ramadhan. Membaca sudah diikuti oleh cara membaca yang benar atau tahsin. Tahsin bukan memperbagus langgam atau nada bacaan seperti yang banyak dipahami orang tetapi membaca secara tartil. Taraf ini hendaklah dimiliki oleh murid, guru, dosen dan mahasiswa. Sudah mampu memahami ilmu, mampu mengolah dan mampu melaksanakan. 

(3) Tilawah adalah tingkat tertinggi membaca, yaitu mampu memahami arti, makna, maksud ayat yang dibaca. Membaca secara tartil plus paham makna dan tafsirnya. Tingkat tertinggi ini mampu memproduksi ilmu baru, menuliskannya dan menyebarkannya ke khalayak ramai. Inilah peran cendekiawan, manusia otentik berdedikasi tinggi pada literasi. 

Akhirnya, kata-kata bermakna dari penerima Nobel Maria Ressa, sentilan Dr. Fahruddin Faiz perihal tugas makalah yang mengandalkan ChatGPT dan materi khutbah tentang tiga tingkat membaca dapat dijadikan renungan bagi kalangan akademisi, yaitu mahasiswa S1, S2, S3 dan dosen-dosennya. 

Menjadilah manusia otentik. Orang asli, original, tidak palsu.*

ReadMore »

6 Juni 2025

Keunikan Dasar Semu Prasedimentasi

Keunikan Dasar Semu Prasedimentasi

Sudah menjadi pakem dalam teknologi pengolahan air minum bahwa setiap pengolahan air sungai selalu dilengkapi dengan pengolahan pendahuluan (praolah, preliminary treatment). Ada tiga opsi unit yang bisa dipilih untuk praolah tersebut, yaitu penampungan, roughing filter, prasedimentasi. Semua prosesnya adalah fisika. Penampungan digunakan untuk debit kurang dari 20 liter per detik. Roughing filter untuk debit antara 20 – 50 liter per detik.

Untuk debit besar, lebih dari 50 liter per detik dianjurkan menggunakan prasedimentasi. Fungsinya adalah menyisihkan partikel diskrit (discrete), yaitu partikel yang tidak berubah selama proses pengendapannya. Ukurannya tetap, bentuknya tetap, berat jenisnya juga tetap. Hal ini berbeda dengan partikel flok yang bentuk, ukuran dan berat jenisnya terus bertambah hingga floknya mengendap di dasar bak.

Dasar Semu

Desain bak prasedimentasi mengikuti hukum-hukum aliran air di dalam hidrolika seperti hukum Archimedes, hukum gravitasi Newton, hukum Stokes. Gaya-gaya yang bekerja pada partikel diskrit seperti pasir, grit, lanau, lempung adalah gaya apung (buoyant force), gaya gesekan (drag force), dan gaya gravitasi. Sejumlah asumsi digunakan dalam mendesain bak prasedimentasi, yaitu aliran airnya laminer atau tenang dan bak yang digunakan bersifat ideal. Asumsi tersebut merujuk pada uji pengendapan yang disebut Camp test. Artikel tentang Camp test sudah diterbitkan di MAM edisi 145, Oktober 2007.

Ada keunikan bak prasedimentasi ideal berkaitan dengan debit pengolahan dan ada tidaknya dasar semu (plate settler) yang dipasang horizontal. Secara teoretis ada tidaknya dasar semu berpengaruh pada besar kecilnya bak prasedimentasi atau banyak sedikitnya bak prasedimentasi untuk debit pengolahan yang sama. Juga berpengaruh pada biaya konstruksi, biaya operasi dan biaya perawatannya. Sebuah bak berukuran sama, misalnya panjang zone sedimentasinya 18 m, lebar 8 m, dan tinggi 2 m, apabila dipasang tiga dasar semu maka IPAM tersebut seolah-olah memiliki tiga unit prasedimentasi berukuran sama. Artinya, kapasitas pengolahannya bisa membesar tiga kali lipat dibandingkan dengan kapasitas semula ketika tanpa dasar semu.


ReadMore »

1 Mei 2025

Halal Bihalal Perpamsi dan MAM

Halal Bihalal Perpamsi dan MAM

Untuk memperkuat tali persaudaraan dan menyambut IWWEF (Indonesia Water and Wastewater Expo & Forum) 2025 yang akan dilaksanakan pada 11 – 13 Juni 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), Perpamsi dan Majalah Air Minum mengadakan silaturahim atau lebih dikenal dengan istilah halal bihalal.

Halal bihalal adalah tradisi tahunan di Indonesia pascalebaran yang pernah semarak sebelum pandemi Covid-19. Dengan penganan sederhana pun, tidak mesti di hotel atau restoran megah, tetap bisa dilaksanakan, baik dengan urunan atau infak bersama maupun dari kantor atau dana instansi atau perusahaan. Namun acara baik ini mulai terkikis, tidak banyak lagi kantor atau perusahaan yang melaksanakannya.

Namun demikian, terlepas dari kondisi terkini halal bihalal tersebut, patut disyukuri karena masih ada organisasi yang melaksanakannya, yaitu Perpamsi. Dihadiri oleh segenap undangan dari DPP Perpamsi, DPD Perpamsi seluruh Indonesia, Kementerian PU, Kem. Dalam Negeri, mitra perusahaan swasta dan para penulis yang tergabung di dalam kontributor MAM, acara digelar di ballroom lantai dua Hotel Grand Sahid Jaya pada 30 April 2025.

Dalam prosesinya ada beberapa sambutan dari perwakilan instansi pemerintah. Sambutan juga diberikan oleh Ketua Umum Perpamsi saat ini, yaitu bapak Ir. Arief Wisnu Cahyono, M.T dan hadir juga Sekretaris Umum Perpamsi Bapak Rino Indira Gusniawan, S.T., M.M. Juga ada pemberian sertifikat penghargaan untuk para sesepuh dan mantan Ketua Umum Perpamsi, para redaktur MAM, dan para kontributor. Di antaranya adalah sesepuh bapak Ir. Kumala Siregar, Ir. Rama Boedi, M.Si., ibu Ir. Sukmayeni, M.M, perwakilan keluarga Ir. Budiyati Abiyoga (almh), istri Ir. Eddy Akhirwan (alm). Semua insan air minum tersebut adalah alumni Teknik Penyehatan (Teknik Lingkungan) ITB.

Selain kepada Ketua Umum Perpamsi, saya berterima kasih kepada Direktur Eksekutif Perpamsi yang juga Pemimpin Redaksi MAM bapak Dr. Subekti, S.E., M.M. Beliau adalah Direktur Teknik di PDAM Kab, Tangerang pada waktu saya memberikan pelatihan Epanet di sana. Terima kasih juga kepada bapak Dwike Riantara, mantan Redaktur MAM yang sekarang menjadi Direktur Utama BUMD AM Jambi. Juga kepada Redaktur Pelaksana MAM bapak Ahmad Zazili, S.Sos yang kerapkali berkomunikasi dengan saya perihal artikel di MAM.

Ada juga bapak Gandjar Widodo, seorang ilustrator yang pernah bertugas di banyak majalah dan media massa bersama bapak Victor Sihite, seorang penulis kawakan selama empat zaman, sejak zaman Orde Lama. Saya salut kepada bapak Victor Sihite yang dalam usia 87 tahun beliau masih produktif menulis. Tulisannya sungguh bernas dengan pilihan kata yang kuat dan bertenaga. Luar biasa!

Hadir juga bapak Deni Arisandy, S.E dan banyak lagi yang lain di tim reporter/kontributor MAM. Terima kasih kepada semua insan MAM di semua bagian yang semangat menjaga eksistensi Majalah Air Minum, satu-satunya majalah bidang air minum dan air limbah di Indonesia. Sekali mengalir terus mengalir. Mengalirlah tiada henti. Terima kasih kepada Perpamsi yang memberikan fasilitas penginapan di Grand Sahid Jaya, sertifikat, dan bingkisan.


ReadMore »

21 April 2025

Hari Bumi 2025 Our Power, Our Future

Hari Bumi 2025 Our Power, Our Future

Oleh Gede H. Cahyana

Pengamat Air Minum dan Sanitasi, Universitas Kebangsaan RI

Planet Bumi sedang sakit. Hutannya semakin sempit, minyak bumi hampir habis, batubara menipis, sumber air tawar tercemar limbah, sampah dan limbah B3 terus bertambah. Tetapi upaya untuk menghidup-hidupkan planet ini sudah dimulai 55 tahun yang lalu. Pencetusnya adalah seorang politisi bernama Gaylord Nelson. Idenya dimulai tahun 1962, diinspirasi oleh The Silent Spring (Musim Semi yang Sepi), sebuah buku karya Rachel Carson dan berita-berita tentang kerusakan hutan, tambang dan pencemaran air. 


Pada November 1962 Senator Wisconsin tersebut menemui Presiden AS John F. Kennedy dengan membawa proposal tentang isu lingkungan dalam politik. Ia juga membahas proposal tersebut dengan Jaksa Agung Robert F. Kennedy. Keduanya setuju tetapi kondisi politik pada waktu itu belum berhasil menaikkan idenya menjadi isu nasional. Kemudian pada waktu terjadi protes anti perang Vietnam, Nelson berpidato di Seattle pada 1969. Ia mengajak masyarakat, akademisi, media massa, dan teknokrat untuk peduli Bumi. Tibalah hari Rabu, 22 April 1970, diikuti oleh sekitar 20 juta orang, Earth Day dideklarasikan. Isunya berfokus pada sumber daya air, tanah, udara, satwa liar, dan kesehatan manusia. 

Air dan Energi

Bumi berbentuk bulat pepat dengan luas permukaan kira-kira 510 juta km2, terdiri atas 148,5 juta km2 (29,12%) daratan dan 361,5 juta km2 (70,88%) lautan. Daratan yang bergunung berbukit, berpadang rumput dan berpadang pasir seluas 62,10 juta km2. Luas Kutub Utara dan Kutub Selatan kira-kira 12,5 juta km2. Luas daratan yang sudah dibudidayakan untuk permukiman, pertanian, perkebunan, perkotaan hanya 9,0 persen. Luas 29,12 persen daratan tersebut sudah termasuk luas badan-badan air tawar seperti sungai, danau, waduk, embung dan rawa. 

Adapun volume total sumber daya airnya kira-kira 1,4 miliar km3 yang terdistribusi di laut sekitar 97,75 persen, di Kutub Utara dan Kutub Selatan dan di puncak gunung sekitar 1,75 persen, di daratan 0,40 persen dan di awan 0,10 persen. Air yang di darat dan di awan itu sudah menumbuhkan pohon berkayu dengan diameter lebih dari 15 cm sebanyak 250.689.344.539.909 pohon (UNDP, 2008). Namun pohon tersebut terus berkurang akibat pembabatan hutan secara resmi, pembalakan liar, kebakaran hutan, banjir, dan longsor. 

Sumber daya alam berikutnya adalah energi, yaitu minyak mentah yang diolah menjadi minyak tanah, bensin, pertalite, pertamax, solar. Sumber energi lainnya adalah batubara. Kedua bahan bakar fosil tersebut mengakibatkan polusi udara, tanah, dan air. Teknologi remediasi belum mampu mengolah tanah tercemar menjadi bersih kembali. Bekas-bekas tambang batubara berubah menjadi cekungan air asam. Bekas tambang minyak dipenuhi oleh lumpur minyak dan puing-puing pompa angguk sisa eksploitasi. Selain merusak lahan di sekitarnya, kedua bahan bakar fosil tersebut menjadi penyebab utama pemanasan global. 

Besarnya dampak buruk bahan bakar fosil sudah dipahami oleh ahli energi dan lingkungan, pemilik industri dan pemerintah di seluruh dunia. Tetapi pemilik industri belum mau atau belum mampu lepas dari bahan bakar fosil. Ketergantungan ini mengakibatkan kenaikan temperatur rata-rata udara yang meluruhkan gletser dan pulau es di Arktik di sekitar Kutub Utara. Gletser sudah dijadikan tema peringatan Hari Air Dunia pada 22 Maret 2025. Pada 22 April 2025 ini peringatan Hari Bumi masih berkaitan dengan dampaknya pada gletser, yaitu penggunaan energi fosil sejak tahun 1870, awal revolusi industri kedua. 

Sejak revolusi industri kedua tersebut, 155 tahun yang lalu, energi fosil adalah penggerak utama industri. Namun hal buruk terjadi, yaitu kenaikan konsentrasi karbondioksida. Kebijakan perdagangan karbon atau karbon kredit belum berhasil menjadi solusi reduksi emisi gas rumah kaca. Pada tahun 2023 dari total emisi karbondioksida, Amerika Serikat melepaskan emisi karbondioksida 47% berasal dari minyak bumi dan 16% dari batubara. Uncle Sam adalah negara yang paling mencemari udara dalam seratus tahun terakhir, penimbul terbanyak gas rumah kaca. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan bahwa energi terbarukan dapat menguatkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesehatan. Polutan energi fosil dapat memperparah penyakit jantung, paru-paru, stroke, bronkitis, asma, dan kanker. Juga mengakibatkan stres dan kecemasan akibat polusi udara, polusi suara, perubahan iklim, dan bencana lingkungan. Apabila pemerintah dan pebisnis tidak serius meninggalkan energi fosil maka suramlah masa depan manusia akibat pencemaran udara, air dan tanah. “Telah tampak kerusakan (Bumi) di darat dan di laut akibat perbuatan manusia (Ar Ruum: 41).

Peluang BUMD AM

Energi terbarukan adalah solusi untuk menghentikan pemanasan global, kenaikan muka air laut, pelestarian hutan dan air. Ada enam jenis energi yang masuk kategori terbarukan, yaitu energi matahari, angin, biomassa (limbah organik), air (PLTA), pasang-surut air laut, dan geothermal (panas bumi). Polutan dari sumber-sumber energi tersebut sangat sedikit. Panas bumi misalnya, hanya melepaskan tiga persen senyawa penyebab hujan asam dan satu persen karbondioksida dibandingkan dengan energi fosil. 

Energi terbarukan diyakini dapat menghemat biaya operasional listrik BUMD AM. Tidak saja karena energinya yang terbarukan dan tersedia di banyak lokasi tetapi karena pelanggannya pun semakin banyak. BUMD AM berpeluang menambah cabang-cabangnya di setiap kecamatan terpencil meskipun belum ada jaringan listrik PLN. Pemanfaatan listrik dari energi surya, misalnya untuk pompa dan operasional unit operasi dan prosesnya di IPAM dapat dilaksanakan. Kendala besar saat ini adalah catu daya listrik di dekat sumber air kerapkali tidak ada. Bahan bakar solar untuk generator listrik sering habis sehingga operasional IPAM berhenti. 

Demikian pula distribusi airnya dapat menjangkau daerah perbukitan yang sekarang sulit dilayani akibat topografinya tinggi. Penambahan jumlah sambungan rumah terhalang oleh elevasi tinggi atau lokasinya jauh. Kehadiran energi setempat (on-site) dapat memperluas layanan BUMD AM. Banyak yang akan berlangganan air terutama di daerah yang sulit air minum tetapi tersedia mata air atau sungai di bawah permukiman warga. Keadaan alam yang berbukit ini dapat ditanggulangi oleh energi surya dan pompa. Andaipun pelanggan berumah di puncak bukit, apabila ada cahaya matahari dan sumber air maka pasar air minum tetap terbuka. 

Perihal biaya produksinya, pada saat ini energi terbarukan lebih mahal daripada energi fosil. Tetapi perkembangan teknologinya semakin efisien. Sebagai contoh, biaya pembuatan panel surya berkurang dalam satu dekade terakhir. Harga modul surya turun hingga 93% antara tahun 2010 - 2020. Panel surya sudah banyak digunakan untuk penerangan jalan umum di daerah yang belum ada jaringan listrik. Pada saatnya nanti akan lebih murah dibandingkan dengan energi fosil. Tidak hanya BUMD AM, sumber energi motor dan mobil listrik kelak berasal dari energi surya atau energi terbarukan lainnya. Optimistis ibarat oase di gurun pasir.*

File pdf-nya di sini.

ReadMore »

9 April 2025

Nuanu, Creative City di Tabanan Bali

Nuanu, Creative City di Tabanan Bali

Saya baru tahu lokasi wisata ini pada libur lebaran pekan pertama April 2025. Itu pun karena anak-anak yang ingin ke sana. Dalam perjalanan ke sana belum terbayang apa saja materi wisata yang akan dilihat di Nuanu. Nama ini pun terdengar aneh atau asing bagi saya. Anak-anak juga tidak bisa menjelaskan apa sesungguhnya Nuanu itu. Mereka hanya tahu lewat medsos atau Youtube. Sedangkan saya baru hari itu tahu nama Nuanu.


Arahnya ke Tanah Lot tetapi di jalan cagak tertentu, belok kanan ke arah Tanah Lot sedangkan lurus ke arah Pantai Nyanyi dan Nuanu. Tahun 2024 saya sempat ke Pantai Nyanyi, Kedungu, dan Cemagi, objek yang baru berkembang. Tetapi belum tahu objek Nuanu. Anak-anak juga belum tahu waktu itu. Baru libur tahun ini saja tahu perihal Nuanu. Saudara di Tabanan juga belum ada yang bercerita tentang Nuanu, objek wisata baru di Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan itu.

Makna Nuanu sempat saya baca di baliho di dekat gedung di sana, artinya in the process, masih dalam proses; Nu Anu. Di Nuanu ada panggung untuk tari kecak. Sore itu tema pertunjukannya adalah Rama dan Sinta. Dijelaskan dalam bahasa Indonesia. Ada Rahwana, raksasa yang menculik Sinta. Lalu Hanoman menolong Rama merebut kembali Dewi Sinta.



Objek lainnya adalah dua patung abstrak yang mirip kepala manusia dan disinari cahaya dari mesin yang ditaruh di telapak tangan patung tersebut. Seluruh bagian wajahnya bisa berubah-ubah warnanya dan pola garis-garisnya juga dinamis. Iringan musik pada malam hari menambah kesan kuat suasana hati penonton. Di lokasi ini banyak pengunjung yang membuat video trend velocity.


Ada juga Aurora yang dihiasi beragam anyaman bambu dan rotan. Dipasang juga beberapa kejutan berupa cahaya dan efek suara. Saya sempat kaget. Tidak tahu situasinya. Baru melangkah langsung dikejutkan oleh suara dan efek cahaya bergerak-gerak. Ada kolam dan genangan air, dihiasi bebatuan sehingga suasana malam menjadi menegangkan. Kalau sendiri, tanpa ditemani anak-anak dan istri mungkin merinding dan tidak berani melanjutkan petualangan malam di Aurora.



Ada juga objek Labirin, Luna Beach Club dan banyak lagi yang lain. Ada ruangan semacam acara seminar, pesertanya mayoritas bule. Bahasa yang terdengar juga bahasa Inggris. Tetapi saya belum sempat masuk ke semua objek. Belum semua objek selesai dibangun. Tampak alat-alat berat, crane dan peralatan konstruksi di lokasi. Beberapa objek masih dalam konstruksi.

Berikut dilampirkan peta lokasi yang sempat difoto. Peta lokasi objek dipajang di tepi jalan setapak tempat pengunjung mengantri. Pengunjung membayar Rp20 ribu per orang kemudian diantar dengan mobil listrik terbuka bersama dengan penumpang lainnya menuju titik turun (drop off) di dalam lokasi Nuanu. Pengunjung lantas bebas beraktivitas, mau masuk ke objek yang manapun yang diinginkannya.


Di spanduk dan keterangan yang dipajang diketahui bahwa objek ini disebut Creative City tepi pantai. Saya lantas mencari informasi di Google. Ternyata projek Nuanu ini mulai dibangun pada Oktober 2020, yaitu pada masa pandemi Covid-19. Mungkin sempat terhenti hingga pandemi Covid-19 dinyatakan menjadi endemi. Pada 31 Desember 2021 saya sempat pulang ke Tabanan. Lalu pada tanggal 1 atau 2 Januari 2022 sempat ke pantai Kuta. Kondisi lengang di sepanjang jalan. Sepi. Hanya ada beberapa orang perempuan paruh baya yang menawarkan jualannya.

Saya berkeliling ke objek wisata dengan naik bus TMD yang gratis pada waktu itu. Berjalan dari Sentral Parkir Kuta ke pantai Kuta sungguh lengang. Toko-toko tutup. Hotel sepi. Namun sejak dua tahun berselang sudah pulih lagi. Wisatawan asing dan domestik sudah banyak. Kemarin pas libur Nyepi dan lebaran, operasional bus TMD sempat dihentikan. Tetapi sepekan terakhir ini ada informasi baru bahwa akan diaktifkan lagi atas permintaan masyarakat. * 

ReadMore »

30 Maret 2025

Kabayan Menjadi Ustadz

Kabayan Menjadi Ustadz

Kyai, mubaligh, atau ustadz adalah profesi terhormat, apalagi di Indonesia. Usai ceramah, dakwah, tausiah senantiasa diberi “berkat”. Itu sebabnya, Kabayan ingin menjadi ustadz demi “berkat” yang dibagikan oleh jamaah. Setelah kursus singkat kepada Kyai Yusuf, lantas Kabayan berceramah atas undangan sejumlah kalangan. Menarik caranya bertutur karena diselipi humor-humor yang “masih di dalam rel normatif Islam”.

“Shaum atau shiyam adalah ibadah untuk Allah. Tapi bukan seperti orang saum yang ketika sahur menghabiskan bergentong-gentong nasi, lauk, sayur, susu, kurma, madu, dll. Juga tidak “balas dendam setelah Magrib..., “ kata Kabayan yang disambut senyum hadirin.

Karena disukai oleh jamaahnya, banyaklah undangan ceramah pada Ramadhan itu. Usai kuliah Shubuh, disambung ceramah Dhuha. Lantas “kultum” di masjid bakda Dhuhur. Bakda Asar mengisi pengajian ibu-ibu dan ceramah Tarawih pada malam hari. Jamaah pun menaruh hormat kepada Kabayan sehingga banyak yang mengirimkan “berkat” berupa nasi, lauk, sayur, beras, ubi, kelapa, cengkaleng, singkong, dll. Ada yang berupa bahan mentah, banyak juga yang sudah dimasak, siap disantap.

Keganjilan kemudian terjadi. Memasuki pekan ketiga Ramadhan, jamaah bertanya-tanya, kenapa Kabayan jarang shalat berjamaah di masjid. Beberapa warga menanyakan hal tersebut kepada Kyai Yusuf. Setelah menenangkan jamaahnya dan meminta mereka mendoakan Kabayan agar diberi kesehatan dan keberkahan, kyai lantas pergi. Kyai khawatir terjadi sesuatu yang “mencelakakan” Kabayan akibat aktivitas dakwahnya.

Benar saja. Kabayan sedang tidur di dipan dengan napas tersengal-sengal. Perutnya buncit. “Duh aduuh kyai, banyak sekali makanan yang dikirim ke sini. Saya takut makanan ini basi dan mubadzir. Jadi semuanya saya makan.”

“Inilah salah satu godaan menjadi ustadz, Kabayan! Melanggar apa yang diceramahkan kepada jamaah. Mereka tidak tahu ustadznya malah kekenyangan karena kalah melawan godaan makanan-minuman lezat. Apalagi dulu merasa sangat susah mendapatkan makanan-minuman selezat itu. Sekarang balas dendam.”

Kabayan terisak-isak, badannya bergetar, perutnya terguncang.  

“Sekarang istirahat saja, tapi besok harus ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih.”

“Tidak kyai, saya tidak mau menjadi ustadz lagi. Saya tidak sanggup. Lebih baik jadi orang biasa saja.

“Ya Kabayan.., tapi ingat..., orang biasa juga harus ke masjid.”

“Iya kyai, tapi tidak sebagai ustadz!”

“Jangan sedih Kabayan, pengalaman ini pun dialami banyak ustadz. Termasuk saya waktu nyantri dulu, sebelum kamu lahir.“

Isak Kabayan berhenti. Tatapannya lurus ke siluet kyai yang hilang di tikungan jalan. Krikan jangkrik mengisi tobatan Kabayan yang berwudhu di pancuran sebelah rumahnya. Dingin pun jatuh.

Esok lusa adalah hari-hari baru baginya. 

Kembali berbuka (ifthar) dan kembali fitrah, suci (fithrah). 

Selamat ‘Idul Fitri, 1 Syawal 1446.*

(Diadaptasi dari Si Kabayan Jadi Sufi, karya Yus R. Ismail).

ReadMore »