Ketika heboh parsel di Jakarta, Bandung dan kota-kota besar lainnya, di Bali aman-aman saja. Tak ada imbas sedikit pun. Malah dilaksanakan terang-terangan. Pasalnya, parsel khas a la Bali ini sudah terjadi puluhan tahun lalu, jauh mendahului budaya parsel di kota-kota besar. Apalagi pengiriman parsel jenis ini tidak berkaitan dengan budaya KKN yang membelit aparat dan rakyat tetapi sebagai penerus budaya toleransi di Bali.
Bedanya lagi, parsel ini diberikan bukan kepada pejabat atau atasan di kantor, melainkan diberikan kepada semua orang tanpa memandang taraf sosial-ekonominya. Orang kaya pun, misalnya seorang pengusaha, pasti dikirimi parsel tanpa ada udang di balik batu. Yang biasa terjadi adalah parsel dikirimkan kepada orang di luar agama mereka. Kalau orang Hindhu, maka parselnya dibagikan kepada orang Islam, Kristen, dll. Kalau muslim, maka penerimanya adalah orang Hindhu, Kristen, dll. Orang Bali menamai "parsel" khasnya ini dengan sebutan ngejot.
Ngejot memang sudah lumrah. Bentuknya tidak seperti parsel modern yang dibuat dari wadah rotan, kayu, dan dihias artistik. Selain berbeda motivasi pemberiannya, harganya pun bagai bumi dan langit. Ketika nilai parsel modern berjuta-juta rupiah, harga parsel tradisional Bali bisa dijangkau oleh semua lapisan ekonomi. Yang penting ikut berbagi dan filosofinya adalah berbagi kebahagiaan. Harga paling mahal sekarang tak lebih dari dua puluh ribu rupiah. Penerimanya adalah tetangga dalam lingkup satu RT/RW, banjar atau yang sudah akrab dikenal. Kenapa bisa semurah itu? Sebab, yang diparselkan adalah makanan berupa nasi, sayur dan lauk-pauknya. Kalau uangnya ada bisa juga ditambahi dengan kue kering.
Aktivitas ngejot itu dilakoni oleh umat Hindhu dan Islam. Seperti halnya Walisongo dalam meluaskan dakwahnya di Jawa, mereka berupaya memodifikasi kebiasaan penduduk asli. Maka, umat Islam di Bali pun memodifikasi kebiasaan orang Hindhu ketika menyambut hari raya Galungan dan Kuningan. Sebelum Galungan, hari raya yang selalu jatuh pada hari Rabu per 210 hari kalender Bali itu didahului oleh untaian prosesi. Yang pertama adalah pengejukan atau penangkapan babi. Berikutnya adalah penampahan (pemotongan babi). Potong babi ini dilaksanakan bersama-sama, baik antara tetangga maupun antara saudara sedarah seketurunan. Baru setelah itu dilaksanakan pengejotan. Karena tahu umat Islam tidak boleh makan babi maka yang dijot bianya kue dan buah-buahan. Kalaupun ada nasi, tapi lauk-pauknya dari daging ayam.
Setelah ngejot, kaum muslim siap-siap menyambut lebaran. Ada yang membuat kue-kue dengan mengerahkan anak-anak, cucu, kakek, nenek, dll. Mereka terus bekerja bahkan sampai ada yang rela tidak puasa demi memasak yang begitu banyak. Tepat pada hari lebaran, suasananya tidak seramai di Jawa dan Madura. Yang lebih ramai adalah di objek wisata karena banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik yang berlibur ke Bali. Bahkan dua hari sebelum lebaran banyak yang sudah tinggal di hotel dan melaksanakan salat Ied di sekitar hotel. Malah ada hotel yang jelas-jelas berpromosi bahwa akan diadakan shalat Ied di dekat hotel.
Namun demikian, di "kantong-kantong" Islam, katakanlah di Desa Pegayaman di Bali Utara, ada kekecualian. Desa yang letaknya di bukit Kecamatan Sukasada ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan diyakini seratus persen pemukimnya ber-KTP dengan keterangan Islam di baris agamanya. Dengan penduduk sekitar 5.000-an orang, Pegayaman adalah mikrokomunitas khas muslim. Mereka berasal dari keturunan prajurit Kerajaan Blambangan, Jawa Timur. Seperti muslim di daerah lain, mereka pun melaksanakan serial budaya seperti penampahan (potong ayam, kambing), dll.
Fenomena serupa terjadi juga di Desa Soka, di Selatan Gunung Batukaru, di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Desa di daerah dingin ini juga nyaris seratus persen penduduknya beragama Islam. Seperti Pegayaman, warga di sentra sayur-mayur ini (selain Desa Senganan: sebuah desa di kaki Gunung Batukaru dan masuk wilayah Kecamatan Penebel Tabanan) pun berinteraksi dengan orang-orang Hindhu. Bahkan prosesi budaya dalam menyambut lebaran sangat mirip dengan menyambut hari raya Galungan dan Kuningan. Hal demikian pun terjadi di kota Tabanan, sebuah kota kabupaten yang letaknya hanya 9 km dari pantai Selatan Yeh Gangga.
Demikianlah ngejot, budaya yang dilakoni oleh kaum muslim dan umat Hindhu dalam menyambut hari rayanya masing-masing dan mampu mempererat ikatan kekeluargaan sebagai sesama orang Indonesia atau sesama manusia.
Selamat Idulfitri, taqabbalallahu minna wa minkum. *
ReadMore »
Bedanya lagi, parsel ini diberikan bukan kepada pejabat atau atasan di kantor, melainkan diberikan kepada semua orang tanpa memandang taraf sosial-ekonominya. Orang kaya pun, misalnya seorang pengusaha, pasti dikirimi parsel tanpa ada udang di balik batu. Yang biasa terjadi adalah parsel dikirimkan kepada orang di luar agama mereka. Kalau orang Hindhu, maka parselnya dibagikan kepada orang Islam, Kristen, dll. Kalau muslim, maka penerimanya adalah orang Hindhu, Kristen, dll. Orang Bali menamai "parsel" khasnya ini dengan sebutan ngejot.
Ngejot memang sudah lumrah. Bentuknya tidak seperti parsel modern yang dibuat dari wadah rotan, kayu, dan dihias artistik. Selain berbeda motivasi pemberiannya, harganya pun bagai bumi dan langit. Ketika nilai parsel modern berjuta-juta rupiah, harga parsel tradisional Bali bisa dijangkau oleh semua lapisan ekonomi. Yang penting ikut berbagi dan filosofinya adalah berbagi kebahagiaan. Harga paling mahal sekarang tak lebih dari dua puluh ribu rupiah. Penerimanya adalah tetangga dalam lingkup satu RT/RW, banjar atau yang sudah akrab dikenal. Kenapa bisa semurah itu? Sebab, yang diparselkan adalah makanan berupa nasi, sayur dan lauk-pauknya. Kalau uangnya ada bisa juga ditambahi dengan kue kering.
Aktivitas ngejot itu dilakoni oleh umat Hindhu dan Islam. Seperti halnya Walisongo dalam meluaskan dakwahnya di Jawa, mereka berupaya memodifikasi kebiasaan penduduk asli. Maka, umat Islam di Bali pun memodifikasi kebiasaan orang Hindhu ketika menyambut hari raya Galungan dan Kuningan. Sebelum Galungan, hari raya yang selalu jatuh pada hari Rabu per 210 hari kalender Bali itu didahului oleh untaian prosesi. Yang pertama adalah pengejukan atau penangkapan babi. Berikutnya adalah penampahan (pemotongan babi). Potong babi ini dilaksanakan bersama-sama, baik antara tetangga maupun antara saudara sedarah seketurunan. Baru setelah itu dilaksanakan pengejotan. Karena tahu umat Islam tidak boleh makan babi maka yang dijot bianya kue dan buah-buahan. Kalaupun ada nasi, tapi lauk-pauknya dari daging ayam.
Setelah ngejot, kaum muslim siap-siap menyambut lebaran. Ada yang membuat kue-kue dengan mengerahkan anak-anak, cucu, kakek, nenek, dll. Mereka terus bekerja bahkan sampai ada yang rela tidak puasa demi memasak yang begitu banyak. Tepat pada hari lebaran, suasananya tidak seramai di Jawa dan Madura. Yang lebih ramai adalah di objek wisata karena banyak dikunjungi oleh wisatawan domestik yang berlibur ke Bali. Bahkan dua hari sebelum lebaran banyak yang sudah tinggal di hotel dan melaksanakan salat Ied di sekitar hotel. Malah ada hotel yang jelas-jelas berpromosi bahwa akan diadakan shalat Ied di dekat hotel.
Namun demikian, di "kantong-kantong" Islam, katakanlah di Desa Pegayaman di Bali Utara, ada kekecualian. Desa yang letaknya di bukit Kecamatan Sukasada ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan diyakini seratus persen pemukimnya ber-KTP dengan keterangan Islam di baris agamanya. Dengan penduduk sekitar 5.000-an orang, Pegayaman adalah mikrokomunitas khas muslim. Mereka berasal dari keturunan prajurit Kerajaan Blambangan, Jawa Timur. Seperti muslim di daerah lain, mereka pun melaksanakan serial budaya seperti penampahan (potong ayam, kambing), dll.
Fenomena serupa terjadi juga di Desa Soka, di Selatan Gunung Batukaru, di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Desa di daerah dingin ini juga nyaris seratus persen penduduknya beragama Islam. Seperti Pegayaman, warga di sentra sayur-mayur ini (selain Desa Senganan: sebuah desa di kaki Gunung Batukaru dan masuk wilayah Kecamatan Penebel Tabanan) pun berinteraksi dengan orang-orang Hindhu. Bahkan prosesi budaya dalam menyambut lebaran sangat mirip dengan menyambut hari raya Galungan dan Kuningan. Hal demikian pun terjadi di kota Tabanan, sebuah kota kabupaten yang letaknya hanya 9 km dari pantai Selatan Yeh Gangga.
Demikianlah ngejot, budaya yang dilakoni oleh kaum muslim dan umat Hindhu dalam menyambut hari rayanya masing-masing dan mampu mempererat ikatan kekeluargaan sebagai sesama orang Indonesia atau sesama manusia.
Selamat Idulfitri, taqabbalallahu minna wa minkum. *