Signifikansi Pendidikan Lingkungan Hidup
Yang di Pikiran Rakyat, 23 November 2006.
Pemerintah Kota Bandung, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Bandung, telah berketetapan untuk menjadikan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah di Kota Bandung. Berbagai pendapat pun lantas merebak, seperti biasa, yaitu ada yang pro dan kontra. Terlepas dari pro-kontra itu, seberapa pentingkah PLH bagi murid khususnya yang tinggal di Kota Bandung?
Interaksi alami
Sejatinya, semua murid atau dengan tandas dikatakan bahwa semua manusia, pasti perlu ilmu tentang lingkungan. Sebab, bicara lingkungan sebetulnya bicara tentang kehidupan manusia. Manusia hidup di dalam lingkungan dan berinteraksi dengan lingkungan. Manusia perlu air, perlu udara, perlu ruang hidup yang semuanya adalah komponen lingkungan. Manusia juga mengeluarkan limbah, baik padat, cair, maupun gas dan limbah ini pun masuk lagi ke lingkungannya. Artinya, langsung tak langsung, manusia mempengaruhi lingkungan dan dipengaruhi juga oleh lingkungannya.
Oleh sebab itu, kepedulian manusia pada lingkungan menjadi konsekuensi logis interaksi manusia dan lingkungan. Mau tak mau manusia harus akrab dengan lingkungannya. Sebelum mencapai taraf akrab itu, manusia harus tahu dan paham dulu tugasnya terhadap lingkungan. Jangan sampai manusia tidak tahu apa yang mesti dilakukannya atas lingkungan dan peran apa yang diembannya sebagai makhluk berakal yang mampu mempengaruhi kualitas lingkungan. Sebab, manusialah yang mampu merusak dan juga memperbaiki mutu lingkungan.
Hanya saja, tidak semua orang memahami lingkungannya. Jangankan paham, tahu saja pun tidak. Makin besar lagi keburukannya ketika kaum terdidik atau kalangan sekolah tidak tahu dan tidak paham tentang tugasnya sebagai pelestari fungsi lingkungan. Bahkan apa itu lingkungan pun masih banyak yang tidak tahu. Setiap bicara lingkungan selalu saja pikirannya mengarah kepada pohon, udara, dan air. Tidak salah memang. Tetapi masalah lingkungan jauh lebih kompleks daripada sekadar urusan pohon, air, dan udara saja.
Adakah alat yang dapat digunakan untuk meluaskan peran dan paham masyarakat terhadap pelestarian fungsi lingkungan? Secara kelembagaan, pemerintah memang memiliki lembaga dan/atau badan yang mengurusi bidang lingkungan. Tak perlu disebut di sini apa saja lembaga dan/atau badan itu. Tetapi faktanya, lembaga dan/atau badan ini belum mampu berfungsi optimal untuk meluaskan pemahaman masyarakat atas lingkungan. Malah cenderung lembaga dan/atau badan ini bertugas sendiri-sendiri dan terlepas dari perannya sebagai agen pemberdaya masyarakat dalam hal lingkungan.
Maka, ketika Dinas Pendidikan Kota Bandung mencanangkan program PLH di sekolah-sekolah, hal ini seakan-akan menjadi mata air segar bagi pencinta lingkungan. Seakan-akan program ini menjadi jalan tol untuk meluaskan ilmu, wawasan, dan pemahaman masyarakat atas masalah lingkungan. Apalagi program ini dibasiskan di sekolah sehingga besar sekali pengaruh dan kesempatannya untuk berkembang dan membentuk kebiasaan baik yang berkaitan dengan lingkungan.
Praktis, bukan teoretis
Taraf signifikansi PLH adalah pada porsi praktis-teoretisnya. Pelaksanaan PLH ini hendaklah tidak berkutat di ranah teoretis. Jika hanya teoretis maka hasilnya takkan terasa dan seolah-olah murid-murid berbilang ilmu lingkungan tetapi perilakunya tak berubah. Jangan sampai PLH ini sekadar penambah beban belajar siswa. Apalagi ada banyak pendapat kontra bahwa tak perlulah PLH lantaran murid sudah dianggap memperolehnya dari pelajaran yang lain. Tak dapat dimungkiri bahwa ada pelajaran yang membahas secara implisit soal lingkungan. Tetapi patut pula diakui bahwa kupasannya tidak menyentuh unsur utama lingkungan, yaitu pelestarian fungsi atau sustainability dan cederung menjadi lekatan dan tempelan belaka. Efeknya tidak tampak pada perubahan perilaku guru-gurunya apalagi murid-muridnya.
Oleh sebab itu, PLH harus dititikberatkan pada sisi afektif - psikomotorik sehingga siswa tak hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Mampu "melebur" dengan lingkungannya. Misalnya, siswa melihat bagaimana proses polusi air dan apa dampaknya bagi kesehatan, lalu tahu cara mencegah dan mengolah polusi itu menjadi air yang tak tercemar. Ketika melihat sampah, yang ada di dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PLH harus mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari solusi, bukan sang penimbul masalah.
Materi PLH itu pun hendaklah dibatasi agar tak terlalu meluas sehingga menjadi persoalan biologi dan mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari. Sebab, telah dipahami bersama bahwa lingkungan itu sangat luas dan semua orang bisa bicara soal lingkungan sesuai dengan persepsi dan latar belakang ilmunya. Kalau tidak dibatasi atau tidak didefinisikan sejak awal, maka wacana ini akan meluas dan di luar kendali sehingga tujuan PLH menjadi tidak fokus atau bahkan difus (menyimpang jauh) sehingga tidak praktis dan tidak aplikatif.
Makanya definisi atau "pagar-pagar"-nya harus sudah dibuat terlebih dulu agar PLH berhasil menjadi pendidikan lingkungan yang erat dengan kehidupan praktis keseharian guru dan murid. Misalnya berkaitan dengan air minum, air limbah, sampah, polusi udara, kesehatan, penyakit menular lewat air, udara, makanan, tanah, dll. Juga upaya sanitasi dan kesehatan lingkungan yang wajib diketahui pada tingkat dasar dan tindakan preventif-kuratif apa saja yang mesti diambil dalam suatu kasus penyakit tertentu misalnya. Inilah PLH yang implementatif dan berpeluang membentuk perilaku guru dan murid yang berkarib dengan lingkungan, environmentaly friendly, sehingga tak sekadar berwawasan lingkungan.
PLH ini hendaklah dilaksanakan secara bergradasi, mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMA. Tentu saja harus ada perluasan materi yang diberikan meskipun pokoknya tetap sama. Misalnya, bahasan tentang air. Di kelas satu dan dua yang perlu diberikan hanya sebatas beda air jernih, air bersih, dan air limbah atau air kotor. Di kelas yang lebih tinggi, mulai dikenalkan pada parameter kualitasnya secara sambil lalu. Di kelas yang lebih tinggi lagi bisa dikenalkan pada teknologi tradisional-konvensional, selanjutnya masuk ke teknologi madya hingga ke teknologi lanjut. Begitu pun yang berkaitan dengan sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll.
Yang juga penting adalah rasio waktu belajarnya. Belajar tak hanya di kelas, tetapi juga di lapangan. Misalnya, pergi ke sungai, ke kolam, ke waduk, atau ke tanah lapang sambil melihat-lihat selokan. Siswa langsung melaksanakan pengamatan lapangan. Mereka pasti senang bereksperimen dan mengeksplorasi kemampuan dirinya di alam bebas. Itu sebabnya, pembagian 30% teori dan 70% praktik menjadi jalan tengah. Guru dan murid akan lebih banyak belajar di luar kelas dan berdiskusi. Guru harus betul-betul siap pada semua kemungkinan pertanyaan yang muncul dan jangan marah apabila belum bisa memberikan penjelasan yang logis dan berterima. Artinya, guru harus terus belajar dan belajar terus.
Bagaimana hasilnya? Tentu saja tak bisa instan. Hasilnya baru akan tampak setelah sekian tahun kemudian dan ini membutuhkan proses, butuh waktu untuk pembentukan perilakunya, yaitu perilaku manusia cinta lingkungan, manusia yang peduli pada pembangunan berkawan lingkungan. Istilah umumnya adalah pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable development).
Semoga PLH yang dicanangkan itu betul-betul berjalan di atas rel idealismenya dan menjadi the avant-garde pembangunan lingkungan di Indonesia. Dan itu dimulai dari Kota Bandung, der bloem der indische bergsteiden.
Bagaimana kabupaten dan kota lainnya?
Selanjutnya:
EDUCATION for Sus. Dev
EKOSISTEM AKUATIK.