Idulfitri telah berlalu. Seperti tahun-tahun lalu, Idulfitri atau lebaran selalu saja datang dan pergi. Dalam kronika waktu, yakni rotasi Bumi dan edar Bulan, lebaran seperti tidak peduli. Ia datang dengan penampakan hilal, lalu makin terang dan berbentuk bulat saat purnama, selanjutnya menyabit (menjadi Bulan sabit) dan kembali hilang. Lantas, ia datang lagi. Begitu berkali-kali, seolah-olah tak peduli pada manusia yang kerapkali berbeda pendapat dalam menetapkan satu Syawal.
Lebaran usai sudah. Bagaimana dampaknya pada perilaku kita? Ada empat kelompok karakter orang dalam berlebaran. Yang pertama, kelompok gembira. Gembira karena tuntas puasanya sebulan penuh. Selain ibadah ritual seperti shalat wajib dan sunnah terutama tarawih atau tahajjud, ibadah sosial pun ditunaikan. Tak hanya zakat fitrah senilai Rp 12.500 per orang tetapi juga infak sunnah dan sedekah. Berhari-hari selama sebulan itu mereka giat berbuat saleh. Minimal mengisi kencleng masjid.
Yang kedua adalah kelompok bahagia. Mereka bahagia lantaran mampu mengisi bulan Ramadhan dengan ibadah ritual dan sosial sebanyak-banyaknya. Namun mereka pun merasa sedih dalam bahagia karena Ramadhan berlalu dan merasa takut tidak bisa bertemu bulan suci itu lagi tahun depan. Dalam kebahagiaannya ada kesedihan. Itu sebabnya, mereka berupaya menjadikan hari-hari pasca-Lebaran sebagai hari-hari Lebaran dan hari-hari “puasa”. “Puasa” dari perbuatan nista. Kelompok ini menjadikan 11 bulan berikutnya sebagai Lebaran hakiki. Ramadhan dijadikan bulan latihan dan hasilnya diterapkan pada bulan setelahnya.
Yang ketiga, kelompok netral. Bagi kelompok ini, ada atau tidak ada lebaran disikapi dengan biasa-biasa saja atau malah acuh tak acuh. Ibadahnya berlubang-lubang, kadang-kadang puasa kadang-kadang tidak. Ada juga yang puasa tetapi tidak shalat. Ada yang ikut tarawih keliling tetapi tidak puasa. Kalaupun puasa tetapi mereka tidak shalat. Ada yang malah tidak puasa, tidak shalat wajib tetapi ikut shalat Idulfitri, berbaju baru dan berpenampilan baru pula. Semuanya serba hedonis dan menampakkan minat besar pada simbol-simbol kenikmatan dunia, seperti harta dan tahta (jabatan). Malah tampak jauh lebih ekspersif merayakan Lebaran ketimbang dua kelompok sebelumnya. Tampak berlomba-lomba dalam “pamernya”.
Selain ketiga kelompok di atas, ada satu lagi, yaitu kelompok sedih. Inilah fenomena lain di tengah gembira dan bahagia yang dirasakan oleh orang-orang berpuasa dan mampu ekonominya, punya kekuatan finansial. Kelompok keempat ini diisi oleh kaum marjinal, orang-orang yang terpinggirkan oleh sejarahnya, juga oleh kompetisi ekonomi, sosial-kultural. Jumlahnya signifikan, mencapai 39,5 juta orang. Karena berada di bawah garis kemiskinan, tak mampulah mereka berpuasa secara ritual karena nyaris setiap hari berpuasa lantaran tak punya makanan. Mereka puasa tanpa kepastian berbuka dan “mungkin” tanpa kepastian pahala karena tidak betul-betul puasa dalam arti tidak makan-minum dari Subuh sampai Magrib. Kelompok ini, ketika menemukan remah-remah roti di bak sampah akan langsung menyantapnya dan puasa lagi sampai menemukan makanan bekas di bak sampah lainnya.
Pada hari Lebaran, ketika kaum muslimin membelah ketupat dan menyendok opor ayam, kelompok fakir miskin ini terseok-seok menanti sedekah. Sambil mengiba dengan telapak tangan tertadah ke atas, mereka menanti uluran tangan kaum muslimin yang “lulus” puasa dan merayakan “kelulusannya” dengan ber-Lebaran. Simbol tradisionalnya adalah membelah ketupat. Ketika muslimin berbagi amplop angpao kepada keponakannya, mereka menggamit anak-anaknya di sela-sela desakan rekan sesama pengemis, berebut meminta sekeping dua keping atau selembar dua lembar uang seribuan.
Sejatinya, Lebaran bukanlah akhir puasa. Lebaran justru awal puasa, yaitu puasa dari penistaan diri, puasa dari perilaku KKN atau MKKN (manipulasi, korupsi, kolusi, nepotisme). Lebaran adalah titik tolak hari baru, menjadi orang baru. Bukan sekadar polesan baru yang sifatnya duniawi seperti baju baru, sepatu-sandal baru, tas baru, dll.
Lebaran adalah harinya orang-orang berhati baru, bermental baru yang bermuara pada kebenaran. Lebaran adalah pengikis karakter “tikus” yang bercokol, mengerati, dan menggerogoti hati. Negara ini butuh orang-orang baru, orang-orang bermoral baru. Selamat Lebaran sepanjang waktu.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar