Bagai dihipnotis, kaum muslim bergerak serentak ke kampung kelahirannya. Ada yang dari Jakarta ke daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ada yang dari Yogyakarta ke Garut dan Tasik, ada yang dari Surabaya ke Lampung dan Sumatera lainnya. Tepat pada hari Lebaran, mereka membelah ketupat dan menikmati opor ayam. Tak hanya bapak-ibu dan anak-anak yang menyantapnya, tapi juga tamu, rekan kerja dan tetangganya.
Itulah “ritual” yang terjadi setiap tahun dengan prosesi yang nyaris tak berubah. Dimulai dari sepekan sebelum hari H, para ibu dan anak-anaknya mulai menyiapkan kue dan penganan lainnya. Aktivitas ini terjadi di semua lapisan sosial ekonomi. Jenis kue dan hidangannya relatif sama. Bedanya hanyalah banyak sedikitnya dan kualitas bahannya. Juga mungkin ada racikan baru yang dicoba oleh ibu-ibu. Tapi semuanya bermuara pada satu kata, yaitu ketupat dan opor ayam. Tanpa makanan ini, Lebaran terasa tidak lengkap. Begitulah anggapan sebagian masyarakat kita.
Betapa fenomenalnya ketupat dan opor ayam. Betapa besar cinta orang kepadanya. Adakah pelajaran yang bisa diambil daripadanya? Ada cita-cita begini. Dapatkah momen Lebaran dijadikan titik tolak meluaskan cakrawala ilmu, cinta baca dan cinta buku bagi masyarakat? Bagaimana kalau ketupat dan opor pada setiap Lebaran itu diganti dengan buku? Katakanlah semacam “ketupat-opor” buku. Ini pun hakikatnya makanan, tetapi makanan ruhani. Malah taraf kepentingannya sejatinya jauh di atas makanan jasmani. Apalagi makanan jasmani ini sudah menjadi santapan sehari-hari, sudah sangat lumrah, tak hanya pada masa Lebaran. Tentu masih layak jika kita sematkan satu hari saja, yaitu pada saat Lebaran sebagai hari makan bagi ruhani kita.
Semangatkah kita mewujudkan Lebaran sebagai pesta “ketupat-opor” buku? Ketika gerakan “ketupat-opor” buku ini dilaksanakan, kaum muslim akan berpesta buku dalam ujud diskusi kecil-kecilan di setiap rumah. Buku apa saja boleh tetapi pada tahap awal sebaiknya buku yang berkaitan dengan hikmah Idulfitri. Bukunya yang tipis-tipis saja dulu. Misalnya tentang hal-hal yang harus dikerjakan pasca-Ramadhan agar hidup ini kaya manfaat. Perihal ibadah sosial perlu juga diketengahkan agar kita makin banyak melaksanakan ibadah ini selain ibadah ritual yang rutin minimal lima kali sehari. Kalau shalat saja bisa, kenapa zakat dan yang lainnya tidak bisa? Adakah “mimpi” pesta “ketupat-opor” buku ini bakal terwujud?
Tak mudah, memang, mewujudkan mimpi. Tetapi gerakan ini dimulai saja, minimal dalam skala rumah tangga atau orang per orang. Jika sudah ada yang bergerak meskipun lambat, maka lambat laun akan meluas juga. Apalagi kalau didukung oleh media massa, pasti gerakan ini akan kian dikenal masyarakat. Kalau sudah berjalan walau pelan, maka kemungkinan tercapainya pun kian besar. Rintangannya bukan tidak ada. Nada mencibir bisa muncul dari mana saja, dari siapa saja, dan tuduhan sinis berhamburan secepat kilat. Boleh jadi ada yang menuduh sebagai “aneh-aneh saja”, divonis dan dinyinyiri sebagai orang “gila” dan dianggap kurang kerjaan. Semuanya bisa terjadi. Tapi teruslah bergerak demi meliterasikan bangsa ini, demi perbaikan ranking Indeks Pembangunan SDM kita yang pernah bercokol di angka memalukan, yaitu 112.
Apapun tanggapan dan anggapan orang patutlah diperhatikan tapi janganlah menyurutkan niat yang sudah tertanam di hati. Sekeras apapun tentangan orang, sekuat apapun badai menghantam, gerakan “ketupat-opor” buku selayaknya terus digemakan dan dihidup-hidupkan. Sebagai gerakan budaya yang melawan arus tradisi pasti mendapat resistensi dari pendukung tradisionalnya. Ini biasa. Nabi Muhammad pun dilawan keras oleh kaum penyembah tradisi Arab pada masa itu dan bahkan sangat keras perlawanannya. Kalau saja Muhammad menyerah dan tidak yakin akan kemenangannya, niscaya kejahilan itu tetap merajalela sampai sekarang. Kita pun, mungkin, tak bakal kenal dan tak ber-Islam.
Dengan berbekal kata iqra (bacalah; padahal Muhammad buta huruf) lantas satu per satu orang-orang Mekkah memeluk Islam. Sementara itu, pintu permusuhan kian dibuka lebar oleh kaum Quraisy karena mengancam tradisi terutama eksistensi mereka sebagai kaum priyayi Arab. Tak hendak mereka disetarakan apalagi disamakan dengan orang-orang biasa, dengan rakyat dan budaknya. Mereka tak rela pada Islam karena mengajarkan persamaan hak dan yang paling mulia di depan Allah hanyalah yang paling takwa. Prinsip “benci baca” alias pembodohan ini pun telah diterapkan oleh kolonial Belanda ketika menjajah kita dengan menjauhkan umat Islam dari kitab sucinya.
Begitulah tantangan keras terhadap gerakan baru, gerakan literasi. Kalau tidak dimulai dari sekarang, minimal dari diri sendiri, maka takkan ada gerakan pembaruan pola pikir masyarakat. Mari pinjam 3M yang dipopulerkan Aa Gym dari Pontren Daarut Tauhiid, yaitu mulai dari diri sendiri, mulai dari hal kecil, dan mulai sekarang juga. Jangan tunggu hari H Lebaran tahun depan. Bergeraklah sejak detik ini.
Selamat menikmati “ketupat-opor” buku sambil berdiskusi dan menyantap ketupat.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar