SUASANA Lebaran di Bali tampaknya bisa disaksikan di sebuah desa bernama Pegayaman. Memang, sulit rasanya dimengerti bila melihat kehidupan masyarakat Pegayaman, Sukasada, Buleleng Bali ini. Sebab, ditengah-tengah bergulirnya arus kemajuan zaman, ada anggota masyarakat yang seolah terpaku pada pola hidup lama. Konon hal itu merupakan warisan dari leluhurnya asal Blambangan, Banyuwangi Jawa Timur, dan dipadukan dengan budaya Hindu Bali.
Desa Pegayaman ini berpenduduk 1000 Kepala Keluarga atau 5.000 jiwa. Lokasinya di ketinggian bukit dan dikelilingi pepohonan rindang, sawah, dan ladang. Semua warganya memeluk agama Islam. Tatkala Lebaran, mereka merayakannya namun bernuansa masyarakat Hindu. Hiasan rumah dan tata cara berpakaian dan aksesoris, juga tak terlepas dari masyarakat Hindu.
Tak hanya itu, bahkan nama-nama pengurus masjid dan umat Islam setempat, juga bernuansa Hindu. Ya, itulah uniknya. Yang membedakan hanya nama belakangnya, yang mencerminkan nama Muslim. Misalnya, Wayan Hasan dan Made Imam, nama untuk pria. Sementara untuk nama wanitanya, Ni Nyoman Siti atau Ni Made Fatima.
Paduan nama antara Muslim-Hindu Bali tersebut sudah melekat seolah sulit dipisahkan. Sehingga, tak sedikit tampak ada semacam rasa minder muncul diraut wajah mereka. Dalam pergaulan sehari-hari dengan warga Bali lain, mereka pun tak memperlihatkan adanya jarak. Bahkan penduduk Pegayaman justru sangat erat hubungan dengan puri Buleleng di Kota Singaraja.
Lantas apa yang melatarbelakangi kehidupan warga Desa Pegayaman tersebut sehingga tanah Bali mereka anggap sebagai kampung leluhurnya ?
Sejarah mencatat sekira abad ke-16 ketika terjadi peperangan antara kerajaan Buleleng melawan Kerajaan Blambangan, sekelompok laskar Blambangan yang membantu Raja Buleleng, usai peperangan itu, diajak ke Bali. Mereka kemudian ditempatkan di wilayah bukit berhutan gatep (bahasa Bali).
Selain sebagai pengawal puri juga menjadi desa benteng seandainya musuh kembali menyerang. Karena pada masa itu, antara Buleleng-Mengwi bermusuhan. Di Alas Gatep itulah para laskar Blambangan tersebut bertempat tinggal dan menggarap lahan pertanian.
Lama-kelamaan hutan gatep menjadi kian langka seiring dengan warga pleset menyebutnya "gayam" artinya buah gatep. Sebutan inilah digunakan sampai sekarang dengan menambah awalan dan akhiran, sehingga menjadi kata Pegayaman.
Menariknya lagi, warga Desa Pegayaman pun tak peduli akan hal tersebut. Justru yang mereka banggakan adalah leluhurnya merupakan laskar Blambangan dan mereka merupakan keturunan kerabat puri Buleleng.
Kerabat yang sudah dijalin kental sejak dulu itu tetap berlaku sampai sekarang. Sehingga, apa pun kegiatan di puri Buleleng, pasti melibatkan pula warga Desa Pegayaman
* *
LALU, bagaimana warga Pegayaman mempertahankan budaya asli leluhurnya dan selaku Muslim yang taat?
Berceritalah Imam Desa Pegayaman, Nengah Syaiful Zakaria al Anzhori, ketika ditemui baru-baru ini. Sebagai umat Islam, mereka pun menjalankan ibadah puasa. Ketika masuk H-3 hingga H-1 lebaran, mereka juga mengenal istilah penapean (membuat tape), penyajaan (membuat jajan), dan penampahan (menyembelih ternak peliharaan untuk dimakan dagingnya saat hari raya). Tradisi ini dikenal masyarakat Bali setiap merayakan hari raya Galungan dan Kuningan untuk umat Hindu.
Kendati tidak diatur dalam Alquran, namun tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan warga Pegayaman. "Kami sesuaikan dengan adat sekitar lingkungan," ujarnya.
Lebih dari itu, adat lain yang disebut ngejot (memberi jajan atau makanan kepada kerabat dan tetangga) juga dilakukan karena telah menjadi tradisi masyarakat setempat. Begitu pula sehari menjelang hari raya lebaran atau oleh umat Hindu disebut penampahan yakni warga mnyembelih sapi untuk kepentingan hari raya dan dilakukan berkelompok maupun sendiri-sendiri.
Hanya bedanya, warga Muslim Desa Pegayaman masih memiliki perbedaan dengan muslim lain di Bali selama bulan suci Ramadan. Muslim di Desa Pegayaman melakukan salat Tarawih menjelang malam pukul 22.00 WITA. Alasannya, salat Tarawih dilakukan menjelang tengah malam ini demi memberi kesempatan lebih awal pada kaum wanita yang memiliki banyak kesibukan.
Selain itu, letak tempat tinggal antarwarga yang berjauhan satu sama lain. Selesai salat Tarawih, dilanjutkan dengan tadarus Alquran, yang biasanya dimulai dari pukul 23.00 WITA
Semuanya ini, demikian Imam Nengah Syaiful Zakaria, sudah dilaksanakan sesuai ajaran Alquran dan Hadis Nabi. Warga Desa Pegayaman pun tak pernah mempersoalkannya. Termasuk, soal ketetapan bersama bahwa di desa unik Muslim asal Blambangan ini, tetap berdiri hanya satu masjid. Masjid Safi Natussalam, sebagai lambang pemersatu umat dan masyarakat di sekitarnya. Bagi siapa pun yang ingin mendirikan tempat ibadah, silahkan tapi cukup setingkat bangunan musala dalam ukuran kecil saja. (Jos Larantukan/"PR")***
Tulisan tersebut diambil dari Pikiran Rakyat, tapi waktunya entah kapan.
ReadMore »
Desa Pegayaman ini berpenduduk 1000 Kepala Keluarga atau 5.000 jiwa. Lokasinya di ketinggian bukit dan dikelilingi pepohonan rindang, sawah, dan ladang. Semua warganya memeluk agama Islam. Tatkala Lebaran, mereka merayakannya namun bernuansa masyarakat Hindu. Hiasan rumah dan tata cara berpakaian dan aksesoris, juga tak terlepas dari masyarakat Hindu.
Tak hanya itu, bahkan nama-nama pengurus masjid dan umat Islam setempat, juga bernuansa Hindu. Ya, itulah uniknya. Yang membedakan hanya nama belakangnya, yang mencerminkan nama Muslim. Misalnya, Wayan Hasan dan Made Imam, nama untuk pria. Sementara untuk nama wanitanya, Ni Nyoman Siti atau Ni Made Fatima.
Paduan nama antara Muslim-Hindu Bali tersebut sudah melekat seolah sulit dipisahkan. Sehingga, tak sedikit tampak ada semacam rasa minder muncul diraut wajah mereka. Dalam pergaulan sehari-hari dengan warga Bali lain, mereka pun tak memperlihatkan adanya jarak. Bahkan penduduk Pegayaman justru sangat erat hubungan dengan puri Buleleng di Kota Singaraja.
Lantas apa yang melatarbelakangi kehidupan warga Desa Pegayaman tersebut sehingga tanah Bali mereka anggap sebagai kampung leluhurnya ?
Sejarah mencatat sekira abad ke-16 ketika terjadi peperangan antara kerajaan Buleleng melawan Kerajaan Blambangan, sekelompok laskar Blambangan yang membantu Raja Buleleng, usai peperangan itu, diajak ke Bali. Mereka kemudian ditempatkan di wilayah bukit berhutan gatep (bahasa Bali).
Selain sebagai pengawal puri juga menjadi desa benteng seandainya musuh kembali menyerang. Karena pada masa itu, antara Buleleng-Mengwi bermusuhan. Di Alas Gatep itulah para laskar Blambangan tersebut bertempat tinggal dan menggarap lahan pertanian.
Lama-kelamaan hutan gatep menjadi kian langka seiring dengan warga pleset menyebutnya "gayam" artinya buah gatep. Sebutan inilah digunakan sampai sekarang dengan menambah awalan dan akhiran, sehingga menjadi kata Pegayaman.
Menariknya lagi, warga Desa Pegayaman pun tak peduli akan hal tersebut. Justru yang mereka banggakan adalah leluhurnya merupakan laskar Blambangan dan mereka merupakan keturunan kerabat puri Buleleng.
Kerabat yang sudah dijalin kental sejak dulu itu tetap berlaku sampai sekarang. Sehingga, apa pun kegiatan di puri Buleleng, pasti melibatkan pula warga Desa Pegayaman
* *
LALU, bagaimana warga Pegayaman mempertahankan budaya asli leluhurnya dan selaku Muslim yang taat?
Berceritalah Imam Desa Pegayaman, Nengah Syaiful Zakaria al Anzhori, ketika ditemui baru-baru ini. Sebagai umat Islam, mereka pun menjalankan ibadah puasa. Ketika masuk H-3 hingga H-1 lebaran, mereka juga mengenal istilah penapean (membuat tape), penyajaan (membuat jajan), dan penampahan (menyembelih ternak peliharaan untuk dimakan dagingnya saat hari raya). Tradisi ini dikenal masyarakat Bali setiap merayakan hari raya Galungan dan Kuningan untuk umat Hindu.
Kendati tidak diatur dalam Alquran, namun tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan warga Pegayaman. "Kami sesuaikan dengan adat sekitar lingkungan," ujarnya.
Lebih dari itu, adat lain yang disebut ngejot (memberi jajan atau makanan kepada kerabat dan tetangga) juga dilakukan karena telah menjadi tradisi masyarakat setempat. Begitu pula sehari menjelang hari raya lebaran atau oleh umat Hindu disebut penampahan yakni warga mnyembelih sapi untuk kepentingan hari raya dan dilakukan berkelompok maupun sendiri-sendiri.
Hanya bedanya, warga Muslim Desa Pegayaman masih memiliki perbedaan dengan muslim lain di Bali selama bulan suci Ramadan. Muslim di Desa Pegayaman melakukan salat Tarawih menjelang malam pukul 22.00 WITA. Alasannya, salat Tarawih dilakukan menjelang tengah malam ini demi memberi kesempatan lebih awal pada kaum wanita yang memiliki banyak kesibukan.
Selain itu, letak tempat tinggal antarwarga yang berjauhan satu sama lain. Selesai salat Tarawih, dilanjutkan dengan tadarus Alquran, yang biasanya dimulai dari pukul 23.00 WITA
Semuanya ini, demikian Imam Nengah Syaiful Zakaria, sudah dilaksanakan sesuai ajaran Alquran dan Hadis Nabi. Warga Desa Pegayaman pun tak pernah mempersoalkannya. Termasuk, soal ketetapan bersama bahwa di desa unik Muslim asal Blambangan ini, tetap berdiri hanya satu masjid. Masjid Safi Natussalam, sebagai lambang pemersatu umat dan masyarakat di sekitarnya. Bagi siapa pun yang ingin mendirikan tempat ibadah, silahkan tapi cukup setingkat bangunan musala dalam ukuran kecil saja. (Jos Larantukan/"PR")***